Thursday, June 30, 2022

Sehari dalam Hidupku

Nulis Kompakan Mamah Gajah Ngeblog” bulan Juni 2022 mengambil tema “Rutinitas Harian Mamah”. Beberapa mamah merasa khawatir tulisan mereka akan membosankan jika bercerita tentang kegiatan sehari-hari. Ummm, sebenarnya hal itu juga menjadi kekhawatiranku hahaha. Namun, konon katanya rutinitas itu membentuk struktur. Orang yang kesehariannya terstruktur dan tersistematis, katanya cenderung lebih berhasil dalam mencapai tujuan hidup. Jadi, baiklah … mari kita tuliskan saja. Siapa tahu mengandung hal yang bermanfaat serta membawa kebaikan bagi yang menulis dan membaca.

Gambar diambil dari sini

Pagi yang Rusuh

Sebagai ibu dari empat anak yang tiga di antaranya bersekolah, bagaimana aku memulai hari tentu sudah bisa dibayangkan. Aku bukan tipe morning person, melainkan tipe night owl. Jadi, jangan berpikir aku bangun di pagi buta, menyiapkan segalanya, lalu baru membangunkan anak-anak. Seringnya justru aku bangun ketika azan subuh sudah berkumandang beberapa menit sebelumnya, kriyep-kriyep sebentar sambil menggeliat, barulah berjalan ke kamar anak-anak untuk membangunkan mereka.

Grasak-grusuk ini akan lebih terasa hebohnya ketika aku bangun kesiangan dan anak-anak terlampau susah untuk dibangunkan. Sebagai pekerja kantoran yang mengejar jam masuk kerja sekaligus jam masuk sekolah anak-anak, hal ini menjadi tantangan tersendiri. Dulu semasa kami tinggal di Bandung, hal ini tidak pernah menjadi masalah. Anak-anak berangkat dengan mobil jemputan, jadi aku tinggal mengurusi diriku sendiri. Aku bahkan masih sempat jogging sejenak sebelum berangkat kerja, mengingat jarak rumah-kantor yang cukup dekat dan bisa ditempuh hanya dalam waktu lima belas menit memakai motor.

Kini … jangan harap. Kami harus berangkat pagi-pagi sekali untuk menghindari kemacetan. Apalagi kondisi PPKM sudah melonggar dan anak-anak sekolah sudah hadir secara tatap muka. Untungnya aku tidak harus sibuk berkutat dengan urusan dapur. Soal sarapan, ada Mbak ART yang bertugas mempersiapkan. Aku memang tidak bisa dan tidak suka memasak sehingga opsi berlangganan katering adalah opsi yang aku pilih untuk membuatku tetap waras.

Ciuman Sebelum Pergi

Sebelum pandemi melanda, aku dan suamiku sudah menjalani long distance marriage selama tiga belas tahun. Aku dan anak-anak pindah ke Tangerang Selatan tahun lalu sehingga bisa tinggal seatap dengan suami. Semenjak itu, ada satu rutinitas kecil yang selalu kami lakukan sebelum aku dan suamiku berpisah untuk berangkat ke tempat kerja masing-masing, yaitu ciuman sayang di punggung tangan dan di pipi.

We embrace every moment, we don’t take it for granted … karena kami tahu betul hal itu tak bisa kami lakukan ketika kemarin-kemarin kami menjalani LDM. Oleh karena itu, menguluk salam sambil mencium tangan dan pipi sebelum pergi menjadi semacam hal wajib sekarang. Kalau tidak dilakukan, rasanya ada yang kurang, seperti misalnya kalau salah satu dari kami sudah rusuh harus berangkat sementara yang satu masih di kamar mandi, hahaha.

Pergi Bekerja

Setelah mengantar anak-anak ke sekolah mereka, aku lanjut menyetir ke tempat kerja. Aku bekerja di unit Quality Assurance pada sebuah instalasi nuklir. Dulu ketika di Bandung, instalasi nuklir itu berupa reaktor nuklir. Sekarang aku ditempatkan di instalasi pengelolaan limbah radioaktif.

Sebagai QA, tugasku memastikan penerapan dan pemenuhan terhadap standar, regulasi, dan persyaratan-persyaratan dari proses/kegiatan yang berlangsung di instalasi, mulai dari aspek keselamatan, keamanan, K3, lingkungan, hingga safeguard (keamanan sumber radioaktif dan bahan nuklir). Hari-hari yang sibuk biasanya hadir jika ada audit, inspeksi, atau pemeriksaan dari pihak yang berwenang. Pada hari-hari seperti itu, aku bisa mondar-mandir berkali-kali melayani pemeriksaan dari satu area ke area lain.

Pada hari-hari yang lebih santai, aku dan rekan kerja kadang melakukan botram, olahraga bersama, atau sekedar ngopi bareng di ruang kerja. Tak dapat dipungkiri, rekan-rekan kerja itu sudah seperti saudara. Sepertiga waktu dalam sehari dihabiskan bersama mereka. Merekalah yang bisa diandalkan dalam bermitra kerja, atau bila suatu saat terjadi kedaruratan–na’udzubillahi min dzalik. Kehangatan dan kekeluargaan itu bagiku sangat berpengaruh terhadap kenyamanan di tempat kerja.

Pulang Kerja

Sepulang dari kantor aku selalu menyempatkan diri untuk berolahraga. Karena pagi hari selalu rusuh, aku menempatkan slot waktu berolahraga pada sore hari. Kadang hal itu menjadi motivasiku untuk berangkat kerja, karena aku tahu setelah seharian bekerja aku akan menutup hari dengan mereguk endorfin dari aktivitas olahraga.

Dulu ketika di Bandung, olahraga yang kulakukan bervariasi antara senam aerobik, yoga, berlari, strength training, dan berenang. Di Tangerang Selatan aku belum menemukan studio dan gym yang cocok sehingga aku lebih banyak berlari sekarang. Jika menu lari hari itu di bawah 7 km, aku berlari di Perumahan Puspiptek dekat kantor yang relatif pendek jarak looping-nya. Namun, jika menu larinya di atas 7 km, aku memilih berlari di trek panjang Binloop–yang satu loop-nya sekitar 12 km di sepanjang boulevard Bintaro Jaya.

Jalanan Perumahan Puspiptek yang enak buat lari

Trek lari di sepanjang boulevard Bintaro Jaya


Malam Hari

Selepas petang biasanya aku baru sampai di rumah. Waktu-waktu setelah itu adalah family time. Aku mendampingi anak-anak menyantap makan malam, bermain, belajar, atau menonton televisi. Setelah anak-anak tidur, baru aku beralih ke me time.

Gambar diambil dari sini

Sambil menunggu suami pulang, aku mengerjakan hal-hal yang terkait dengan porsi pribadi. Biasanya aku membaca, menulis, atau mengaji di waktu-waktu ini. Kadang aktivitas tersebut baru selesai jauh lewat tengah malam. Yah, mau bagaimana lagi, hidup baru bisa terasa tenang jika anak-anak sudah tidur, hahaha.

Buku-buku antologiku, sebagian besar tulisannya dihasilkan di malam hari


Penutup

Sesibuk apa pun seorang ibu dalam keseharian, jangan sampai melewatkan waktu untuk menunaikan me time. Aktivitas ini bisa sangat beragam bentuknya, tergantung aktivitas apa yang paling pas untuk me-refresh mind, body, and soul.

Jika seorang ibu tidak sehat, entah itu fisik atau mentalnya, kehidupan sebuah keluarga akan menjadi timpang. Jika kondisi ibu tidak prima, bagaimana dia bisa mengurus keluarga dengan baik? Seorang ibu yang bahagia akan menghasilkan keluarga yang bahagia. Oleh karena itu, self care is not selfish. Waktu seorang ibu untuk menyeimbangkan dirinya menjadi sebuah kebutuhan. Dengan kewarasan inilah seorang ibu bisa mengutuhkan dirinya sehingga bisa memberi dengan maksimal untuk keluarga dan masyarakat.

Sunday, June 26, 2022

Manusia-Manusia Kuat

Peristiwa berpulangnya Eril akhir bulan lalu menyisakan banyak hal untuk diambil hikmahnya. Bukan hanya tentang keindahan kepribadiannya yang meninggalkan banyak kesan bagi orang-orang–baik yang mengenalnya maupun tidak–melainkan juga tentang keikhlasan, kekuatan, dan ketabahan yang ditunjukkan oleh kedua orang tuanya.

Siang tadi aku juga habis bertakziah ke rumah seorang sahabat dekat yang ditinggal berpulang pasangannya. Mereka selama ini hanya tinggal berdua karena anak tunggalnya telah meninggal bertahun-tahun silam karena sakit. Kami berpelukan lama sekali ketika aku tiba. Di balik air mata yang kadang membayang ketika kami berbincang, kurasakan kegetiran akibat kepergian suaminya yang begitu mendadak. Kejadian itu begitu berat, tetapi senyuman sudah mulai tersungging di bibirnya sedikit demi sedikit. Kurasa aku juga mulai melihat keikhlasan terpancar dari raut wajahnya.

Dalam kehidupan, seorang muslim adakalanya mengalami kondisi pelik ketika ia dihadapkan pada ujian berat, salah satunya adalah peristiwa kehilangan. Pada kondisi seperti itu, seorang muslim yang berpegang pada tali keimanan insyaallah akan merasa ikhlas dan sabar. Secara literal, ikhlas berasal dari bahasa Arab yang artinya murni, jernih, dan tanpa campuran apa pun. Sementara itu, sabar dalam bahasa Arab artinya menahan diri dari keluh-kesah. Orang yang sabar tidak gampang marah, kuat dan tabah menghadapi ujian, serta tidak mengeluh ketika menghadapi situasi sulit.

Memang tidak mudah menghibur seseorang yang sedang berduka. Kita semua akan berada pada posisi itu karena kematian adalah suatu keniscayaan yang waktunya sudah tertulis di Lauh Mahfuzh. Dengan meyakini bahwa kita tak kuasa menolak kematian, insyaallah rasa ikhlas dan sabar akan berhasil dihadirkan. Allah menjanjikan pahala dan berkah yang banyak kepada hamba-Nya yang sabar dalam menjalani kehidupan, terutama ketika mendapat musibah atau sedang dalam masa-masa yang sulit.

“Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar.” (Q.S. Al-Baqarah: 155)

“Dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda: ‘Allah Ta'ala berfirman: Tidak ada balasan yang sesuai di sisi-Ku bagi hamba-Ku yang beriman, jika aku mencabut nyawa orang yang dicintainya di dunia, kemudian ia rela dan bersabar kecuali surga.’” (H.R. Bukhari)

Kita tidak meminta kepada Allah supaya ujian diringankan–karena bisa jadi ujian itu adalah cara kita untuk naik kelas–tetapi kita memohon supaya pundak kita dikuatkan dalam menghadapinya. Semoga kita menjadi salah satu hamba Allah yang selalu sabar dalam menghadapi setiap cobaan dan ujian dalam kehidupan. Aamiin.

Sunday, June 12, 2022

Hidup yang Berkah

Kebahagiaan itu erat kaitannya dengan keberkahan. Namun, pernahkah kita bertanya, apakah sebenarnya yang dimaksud dengan keberkahan itu? Bagaimana cara memperolehnya?

Menurut KBBI, berkah adalah karunia Tuhan yang mendatangkan kebaikan bagi kehidupan manusia. Secara bahasa, al-barakah berarti berkembang, bertambah, atau kebahagiaan. Imam An-Nawawi rahimahullah berkata, “Asal makna keberkahan ialah kebaikan yang banyak dan abadi”.

“Andaikata penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka keberkahan dari langit dan bumi. Tetapi, mereka mendustakan (ayat-ayat Kami), maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya.” (Q.S. Al-A’raf: 96)

Beriman dan bertakwa adalah rumus hidup bahagia dan berkah. Salah satu cara untuk memperkuat keimanan dan mengejar ketakwaan adalah memperbanyak amal ibadah dan amal saleh. Lantas bagaimana korelasi antara amal saleh dengan cinta dan keberkahan? Jadi, ketika seseorang beriman dan beramal saleh, Allah akan mendatangkan rasa cinta sebagaimana firman Allah dan hadis Rasulullah berikut ini.

“Sungguh, orang-orang yang beriman dan mengerjakan kebajikan, kelak (Allah) Yang Maha Pengasih akan menanamkan rasa kasih sayang (dalam hati mereka).” (Q.S. Maryam: 96)

“Apabila Allah mencintai seorang hamba maka Dia akan memanggil Jibril, ‘Sesungguhnya Allah mencintai fulan maka cintailah ia.’ Lalu Jibril mencintainya lalu Jibril berseru di kalangan penduduk langit, ‘Sesungguhnya Allah mencintai fulan maka cintailah ia.’ Penduduk langit pun mencintainya lalu diletakkan penerimaan untuknya di bumi.” (HR. Al-Bukhari no. 6040 dan Muslim no. 2637)

Rasa cinta atau rasa kasih sayang itu ditafsirkan sebagai berikut:

“Dia menjadikan untuk mereka rasa cinta di hati orang-orang mukmin.” (Zâdul Masîr fî Ilmit Tafsîr (III/148) oleh al-Hafizh Ibnul Jauzi)

“Rasa cinta di kalangan manusia di dunia.” (Tafsîr Ibnu Katsîr V/269)

Keimanan dan amal saleh seseorang akan menjadikannya disukai dan diridai Allah. Makin kuat imannya, makin besar pula cinta Allah kepadanya. Ketika Allah sudah mencintainya, Allah menyuruh Jibril agar mencintainya dan menyuruhnya mengumumkan itu kepada penduduk langit. Kemudian penduduk langit mencintainya, diikuti dengan penduduk bumi turut mencintainya pula.

Amal ibadah dan amal saleh mencerminkan manifestasi hubungan vertikal dengan Allah dan hubungan sosial dengan sesama makhluk Allah. Ketika dua dimensi ini dilakukan seutuhnya dalam kehidupan, seseorang tidak hanya menuai kebaikan di dunia, tetapi juga kebaikan di akhirat. Allah akan menumpahkan keberkahan untuknya dari langit dan bumi sehingga insyaallah kebaikan yang banyak akan tercurah baginya secara abadi.

Sunday, June 05, 2022

Kecintaan pada Allah dan Kecintaan pada Buku

Kalau bicara soal parenting, sebenarnya aku malu dan merasa tidak pantas karena aku merasa belum jadi orang tua yang baik untuk anak-anakku. Aku masih sering marah-marah, membentak, atau kurang sabar menghadapi mereka. I’m not a good parent actually, hiks.

Meskipun demikian, aku selalu berusaha melakukan yang terbaik dan selalu berusaha membekali mereka dengan ilmu dan kapasitas semampu yang aku bisa. Ada dua hal yang selalu ingin aku tanamkan pada mereka: kecintaan pada Allah dan kecintaan pada buku.

Kecintaan pada Allah

Kecintaan pada Allah adalah dasar bagi keimanan. Keimanan itu seperti benih yang tertanam menjadi tumbuhan, akarnya kuat tertanam, batangnya menjulang tinggi. Ia bukan hasil penanaman doktrin, melainkan terhunjam dalam hati karena memiliki keyakinan akan bukti yang susah terganti.

“Tidakkah kamu memperhatikan bagaimana Allah telah membuat perumpamaan kalimat yang baik seperti pohon yang baik, akarnya kuat dan cabangnya (menjulang) ke langit, (pohon) itu menghasilkan buahnya pada setiap waktu dengan seizin Tuhannya. Dan Allah membuat perumpamaan itu untuk manusia agar mereka selalu ingat.” (Q.S. Ibrahim: 24-25)

Salah satu ciri dari keimanan yang mengakar: keimanan itu memunculkan manfaat yang tersebar ke sekelilingnya. Jika seseorang memiliki keimanan yang berasal dari cinta pada Allah, akan mudah baginya untuk mencintai agama-Nya, Rasulullah, Al-Qur’an, dan segenap hal-hal yang terkait dengan itu.

Nah, masalahnya … konsep ketuhanan ini merupakan persoalan yang abstrak untuk dipahami anak-anak, maka cara menanamkan kecintaan pada Allah kami kemas dengan bahasa anak melalui pendekatan sehari-hari. Misalnya, ketika melihat hujan turun, kami ajak anak-anak untuk memanjatkan doa turun hujan, lalu mengajak mereka berdiskusi tentang manfaat hujan dan betapa sayangnya Allah karena telah menurunkan rezeki hujan untuk makhluk-Nya.

Untuk memahamkan mereka akan konsep Allah sebagai Tuhan, kami ajak mereka untuk mengamati hasil ciptaan-Nya. Misalnya, untuk anakku yang kini sudah kelas 4 SD dan sudah mulai belajar tentang tata surya, pemahaman bahwa alam semesta ini begitu dahsyat kami gunakan sebagai kesempatan berdiskusi tentang pencipta alam semesta. Melihat alam yang luar biasa seperti itu dapat memberikan “data” bahwa Allah itu seperti apa, lalu Dia juga memiliki karakteristik yang seperti apa. Dengan memahami bahwa ciptaan Allah itu ternyata memiliki keterbatasan, anak jadi paham bahwa ciptaan itu bergantung pada Dzat yang bisa mengurus mekanismenya sedemikian rupa tanpa Dia sendiri bergantung pada sesuatu.

Tiga kaidah berpikir logis:

  • Adanya sesuatu menunjukkan adanya pembuat sesuatu.
  • Apa yang dibuat mencirikan siapa pembuatnya.
  • Tidak ada sesuatu yang sama dengan pembuatnya.

Sebagai orang-orang yang dibesarkan dengan sistem pendidikan sekolah negeri mulai dari TK hingga perguruan tinggi, aku dan suamiku merasa ada yang kurang dalam hal pendidikan agama. Bukan berarti sekolah negeri tidak baik, hanya saja kurang pas dalam memenuhi visi dan misi keluarga kami. Oleh karena itu, sejak anak-anak PG hingga SMP, mereka kami sekolahkan di institusi pendidikan yang memiliki titik tekan pada islamic character building dan leadership sebagai salah satu tujuan pembelajaran. Aspek kognitif bisa dikejar karena alhamdulillah kemampuan akademik mereka bisa dibilang bagus, tetapi pembentukan karakter akan susah dikejar jika tidak ditanamkan sejak dini. Harapan kami, jika nilai-nilai sebagai seorang muslim ini tertanam sebagai pondasi yang kuat, ke depannya mereka akan lebih tangguh memegang nilai-nilai agama dalam keseharian.

Selain ikhtiar memilihkan pendidikan yang menurut kami terbaik buat mereka, tak lupa kami juga menitipkan anak-anak kepada Sang Empunya. Allah-lah sebaik-baik penjaga dan pelindung yang akan membimbing mereka untuk tetap lurus di jalan-Nya. Kami tahu sebagai orang tua kami tidak bisa mendampingi anak-anak 24/7. Oleh karena itu, jika anak-anak paham dan sadar bahwa Allah Maha Melihat, mudah-mudahan mereka tidak terombang-ambing oleh dunia dan tetap berpegang teguh pada orientasi akhirat.

Kecintaan pada Buku

Sejak aku kecil, membaca sudah menjadi duniaku. Aku tak ingat persisnya mulai usia berapa aku gemar membaca. Namun, aku ingat jelas: masa kecilku kuhabiskan dengan menekuri lembar demi lembar majalah Bobo; komik bergambar macam Nina, Tintin, Asterix, atau Steven Sterk; komik Jepang semisal Candy Candy, Pansy, Mari-chan, atau Doraemon; novel seperti Lima Sekawan, Trio Detektif, Stop, atau Malory Towers; bahkan novel detektif karya Agatha Christie.

Anak yang minat bacanya tinggi cenderung lebih gampang menerima informasi. Tentu pengetahuan mereka juga lebih banyak. Untuk menulis, mereka tidak akan menemui kesulitan yang berarti karena perbendaharaan kata sudah beragam. Bahkan aku pernah membaca—entah di mana aku lupa—anak yang suka membaca lebih pandai dan lebih kritis, terutama dalam diskusi, dibanding dengan yang tidak suka membaca.

Karena menyadari hal-hal tersebut di atas, aku bertekad ingin selalu menimbulkan minat baca pada anak. Sejak anak sulungku berusia enam bulan, kami rutin membelikan softbook, boardbook, dan buku-buku bergambar yang lebih beraneka ragam. Aku, suami, dan pengasuh sering mengadakan sesi membaca buku. Rata-rata ketika anak-anakku berusia dua tahun, mereka sudah mulai bisa memahami jalan cerita. Biasanya setelah bercerita, kami mengajukan beberapa pertanyaan untuk menguji seberapa jauh pemahaman mereka. Kadang-kadang kami menyuruh mereka bercerita dengan kalimat mereka sendiri.

Kebiasaan membaca sudah mulai menjadi kebiasaan yang tertanam pada diri anak-anak, terutama anak sulungku yang kelihatannya paling gemar membaca dibanding adik-adiknya. Sesaat sebelum naik ke tempat tidur di malam hari, mereka akan memastikan barang-barang favoritnya sudah dibawa serta, seperti mainan kesukaan dan buku pilihan untuk malam itu. Dengan gembira mereka akan membuka-buka buku lalu bercerita tentang halaman tertentu dengan antusias. Jika minta dibacakan, mereka akan duduk manis di pangkuanku setelah sebelumnya menyodorkan buku padaku. Hmm … buah dari usahaku selama ini untuk menjadikan mereka suka membaca, alhamdulillah sudah mulai terlihat sedikit demi sedikit.

A reader lives a thousand lives before he dies, said Jojen. The man who never reads lives only one.” ― George R.R. Martin, A Dance with Dragons

Penutup

Mudah-mudahan bekal dari kami yang sedikit ini dapat meringankan langkah mereka dalam menghadapi masa depan. Pada akhirnya, pendidikan anak adalah proses untuk menjadikan mereka siap menjadi pribadi yang mandiri dan tangguh saat berpisah dengan kita, baik karena mereka keluar rumah (misalnya karena menikah, kuliah, merantau) atau karena kematian kita.

"Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan di belakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. Oleh sebab itu hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar." (Q.S. An-Nisa': 9)

Tulisan ini diikutsertakan dalam Tantangan Blogging Mamah Gajah Ngeblog bulan Juni yang bertema "Mamah dan Parenting".