Kalau bicara soal parenting, sebenarnya aku malu dan merasa tidak pantas karena aku merasa belum jadi orang tua yang baik untuk anak-anakku. Aku masih sering marah-marah, membentak, atau kurang sabar menghadapi mereka. I’m not a good parent actually, hiks.
Meskipun demikian, aku selalu berusaha melakukan yang terbaik dan selalu berusaha membekali mereka dengan ilmu dan kapasitas semampu yang aku bisa. Ada dua hal yang selalu ingin aku tanamkan pada mereka: kecintaan pada Allah dan kecintaan pada buku.
Kecintaan pada Allah
Kecintaan pada Allah adalah dasar bagi keimanan. Keimanan itu seperti benih yang tertanam menjadi tumbuhan, akarnya kuat tertanam, batangnya menjulang tinggi. Ia bukan hasil penanaman doktrin, melainkan terhunjam dalam hati karena memiliki keyakinan akan bukti yang susah terganti.
“Tidakkah kamu memperhatikan bagaimana Allah telah membuat perumpamaan kalimat yang baik seperti pohon yang baik, akarnya kuat dan cabangnya (menjulang) ke langit, (pohon) itu menghasilkan buahnya pada setiap waktu dengan seizin Tuhannya. Dan Allah membuat perumpamaan itu untuk manusia agar mereka selalu ingat.” (Q.S. Ibrahim: 24-25)
Salah satu ciri dari keimanan yang mengakar: keimanan itu memunculkan manfaat yang tersebar ke sekelilingnya. Jika seseorang memiliki keimanan yang berasal dari cinta pada Allah, akan mudah baginya untuk mencintai agama-Nya, Rasulullah, Al-Qur’an, dan segenap hal-hal yang terkait dengan itu.
Nah, masalahnya … konsep ketuhanan ini merupakan persoalan yang abstrak untuk dipahami anak-anak, maka cara menanamkan kecintaan pada Allah kami kemas dengan bahasa anak melalui pendekatan sehari-hari. Misalnya, ketika melihat hujan turun, kami ajak anak-anak untuk memanjatkan doa turun hujan, lalu mengajak mereka berdiskusi tentang manfaat hujan dan betapa sayangnya Allah karena telah menurunkan rezeki hujan untuk makhluk-Nya.
Untuk memahamkan mereka akan konsep Allah sebagai Tuhan, kami ajak mereka untuk mengamati hasil ciptaan-Nya. Misalnya, untuk anakku yang kini sudah kelas 4 SD dan sudah mulai belajar tentang tata surya, pemahaman bahwa alam semesta ini begitu dahsyat kami gunakan sebagai kesempatan berdiskusi tentang pencipta alam semesta. Melihat alam yang luar biasa seperti itu dapat memberikan “data” bahwa Allah itu seperti apa, lalu Dia juga memiliki karakteristik yang seperti apa. Dengan memahami bahwa ciptaan Allah itu ternyata memiliki keterbatasan, anak jadi paham bahwa ciptaan itu bergantung pada Dzat yang bisa mengurus mekanismenya sedemikian rupa tanpa Dia sendiri bergantung pada sesuatu.
Tiga kaidah berpikir logis:
- Adanya sesuatu menunjukkan adanya pembuat sesuatu.
- Apa yang dibuat mencirikan siapa pembuatnya.
- Tidak ada sesuatu yang sama dengan pembuatnya.
Sebagai orang-orang yang dibesarkan dengan sistem pendidikan sekolah negeri mulai dari TK hingga perguruan tinggi, aku dan suamiku merasa ada yang kurang dalam hal pendidikan agama. Bukan berarti sekolah negeri tidak baik, hanya saja kurang pas dalam memenuhi visi dan misi keluarga kami. Oleh karena itu, sejak anak-anak PG hingga SMP, mereka kami sekolahkan di institusi pendidikan yang memiliki titik tekan pada islamic character building dan leadership sebagai salah satu tujuan pembelajaran. Aspek kognitif bisa dikejar karena alhamdulillah kemampuan akademik mereka bisa dibilang bagus, tetapi pembentukan karakter akan susah dikejar jika tidak ditanamkan sejak dini. Harapan kami, jika nilai-nilai sebagai seorang muslim ini tertanam sebagai pondasi yang kuat, ke depannya mereka akan lebih tangguh memegang nilai-nilai agama dalam keseharian.
Selain ikhtiar memilihkan pendidikan yang menurut kami terbaik buat mereka, tak lupa kami juga menitipkan anak-anak kepada Sang Empunya. Allah-lah sebaik-baik penjaga dan pelindung yang akan membimbing mereka untuk tetap lurus di jalan-Nya. Kami tahu sebagai orang tua kami tidak bisa mendampingi anak-anak 24/7. Oleh karena itu, jika anak-anak paham dan sadar bahwa Allah Maha Melihat, mudah-mudahan mereka tidak terombang-ambing oleh dunia dan tetap berpegang teguh pada orientasi akhirat.
Kecintaan pada Buku
Sejak aku kecil, membaca sudah menjadi duniaku. Aku tak ingat persisnya mulai usia berapa aku gemar membaca. Namun, aku ingat jelas: masa kecilku kuhabiskan dengan menekuri lembar demi lembar majalah Bobo; komik bergambar macam Nina, Tintin, Asterix, atau Steven Sterk; komik Jepang semisal Candy Candy, Pansy, Mari-chan, atau Doraemon; novel seperti Lima Sekawan, Trio Detektif, Stop, atau Malory Towers; bahkan novel detektif karya Agatha Christie.
Anak yang minat bacanya tinggi cenderung lebih gampang menerima informasi. Tentu pengetahuan mereka juga lebih banyak. Untuk menulis, mereka tidak akan menemui kesulitan yang berarti karena perbendaharaan kata sudah beragam. Bahkan aku pernah membaca—entah di mana aku lupa—anak yang suka membaca lebih pandai dan lebih kritis, terutama dalam diskusi, dibanding dengan yang tidak suka membaca.
Karena menyadari hal-hal tersebut di atas, aku bertekad ingin selalu menimbulkan minat baca pada anak. Sejak anak sulungku berusia enam bulan, kami rutin membelikan softbook, boardbook, dan buku-buku bergambar yang lebih beraneka ragam. Aku, suami, dan pengasuh sering mengadakan sesi membaca buku. Rata-rata ketika anak-anakku berusia dua tahun, mereka sudah mulai bisa memahami jalan cerita. Biasanya setelah bercerita, kami mengajukan beberapa pertanyaan untuk menguji seberapa jauh pemahaman mereka. Kadang-kadang kami menyuruh mereka bercerita dengan kalimat mereka sendiri.
Kebiasaan membaca sudah mulai menjadi kebiasaan yang tertanam pada diri anak-anak, terutama anak sulungku yang kelihatannya paling gemar membaca dibanding adik-adiknya. Sesaat sebelum naik ke tempat tidur di malam hari, mereka akan memastikan barang-barang favoritnya sudah dibawa serta, seperti mainan kesukaan dan buku pilihan untuk malam itu. Dengan gembira mereka akan membuka-buka buku lalu bercerita tentang halaman tertentu dengan antusias. Jika minta dibacakan, mereka akan duduk manis di pangkuanku setelah sebelumnya menyodorkan buku padaku. Hmm … buah dari usahaku selama ini untuk menjadikan mereka suka membaca, alhamdulillah sudah mulai terlihat sedikit demi sedikit.
“A reader lives a thousand lives before he dies, said Jojen. The man who never reads lives only one.” ― George R.R. Martin, A Dance with Dragons
Penutup
Mudah-mudahan bekal dari kami yang sedikit ini dapat meringankan langkah mereka dalam menghadapi masa depan. Pada akhirnya, pendidikan anak adalah proses untuk menjadikan mereka siap menjadi pribadi yang mandiri dan tangguh saat berpisah dengan kita, baik karena mereka keluar rumah (misalnya karena menikah, kuliah, merantau) atau karena kematian kita.
"Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan di belakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. Oleh sebab itu hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar." (Q.S. An-Nisa': 9)
Tulisan ini diikutsertakan dalam Tantangan Blogging Mamah Gajah Ngeblog bulan Juni yang bertema "Mamah dan Parenting".
Sepakat ini cinta kepada Illahi Rabbi dan cinta buku. Teh Tika keren ini ajak anak-anak kenal ayat-ayat kauniah. Barakallah ...
ReplyDeleteBarakallahu fii umrik. Nuhun udah mampir membaca
Deletemasya Allah... dua basic yang keren banget, cinta Allah, cinta buku. Semoga ikhtiar sebagai orang tua berbuah pahala teh aamiin
ReplyDeleteAamiin. Masih banyak belajar ini, nuhun doanya
DeleteYa ampun Mamah Yustika, saya kok seneng banget ya membaca tulisan Teteh yang ini. Kecintaan pada Allah dan buku, dua hal yang merupakan pondasi kuat untuk manusia menghadapi dunia.
ReplyDeleteDan saya sukaaa sekali dengan pemaparan Teh Yustika mengenai bagaimana cara 'meriilkan' ketuhanan dengan mengenalkan dan mengajak mengamati alam dan seluruh ciptaanNya.
Setuju sekali, Teh Yustika... :)
Duh Teteh, aku masih harus banyak belajar ini jadi ortu yang baik hiks. Nuhun apresiasinya
DeleteBagus. 👍. Meski minat baca anak akan berbeda, tapi lingkungan dan pembiasaan itu memang penting untuk pembentukan karakter.
ReplyDeleteYes indeed. Terima kasih sudah mampir, Teh.
DeleteMasya Allah... Sepakat dengan pendekatan konsep ketuhanannya teh. Apalagi anak sekarang lebih cerdas dan lebih kritis ketimbang generasi kita. Eh, generasi saya deng... 😁🤗😘
ReplyDeleteIya Teh betul, anak sekarang lebih kritis karena digempur informasi dari berbagai sisi. Terima kasih ya apresiasinya.
Deletemarah-marah, membentak dan tidak sabar bukan membuat kita sebagai orang jahat atau orang tua yang tidak baik. Itu semua karena kitapun belajar jadi orang tua yang lebih sabar. Kalau menurut saya (mungkin ini membela diri sendiri juga), selama kita tidak berniat buruk ke anak, semua itu bukan membuat kita auto jahat. Tapi memang akan lebih baik kalau bisa lebih sabar ke depannya.
ReplyDeleteGak ada panduan menjadi orang tua sabar, anak-anakpun ga ada panduan menjadi anak yang auto patuh. Saya pernah baca buku screamfree parenting yang hasilnya malah bikin saya tambah frustasi.
Tapi memang mengenalkan ke Tuhan dan kecintaan kepada buku, mudah-mudahan bisa membuat anak-anak juga belajar seperti kita belajar apa yang baik untuk hari ke depannya.
Iya Teh, insyaallah lagi terus belajar untuk sabar ini. Nuhun udah mampir baca.
Delete