Berjalan di selasar kampus diiringi rintik gerimis, aku tercenung. Telah begitu banyak hal terjadi, melintas-lintas dalam benak bagai tercerabut satu-satu meloncati waktu, tak putus-putus. Beberapa saat sebelumnya, aku baru saja keluar dari kompleks Masjid Salman setelah rutinitas menunggu usainya shalat Jumat, sambil berbincang seru dengan dua orang teman. Berbincang seru tentang banyak hal, tentang pengingatan.
Pengingatan itu… Betapa kerdilnya jiwa ini. Jiwa ini tahu tentang pengabdian tertinggi, tapi masih juga sibuk sendiri. Justifikasi bertebaran berusaha menghibur depresi yang membelit diri akibat akademik yang menekan. Lalu segala hal menghablur, menciptakan sebuah ruang yang hanya cukup untuk jiwa ini seorang. Berbincang sendiri, berkontemplasi sendiri, menangis sendiri, tertawa sendiri, menjerit sendiri… Hingga tiba suatu masa saat asa tak lagi ada, jiwa terbang merana tanpa peduli sesiapa.
Orientasi serasa sia-sia karena realitas bermusuhan dengan ekspektasi. Tangan-tangan terentang yang berbingkai ukhuwah tak sepenuhnya nyata. Mereka bahkan sering semu. Orang-orang terlalu sibuk dengan dunianya sendiri. Lalu, salahkah aku bila kini aku juga sibuk dalam duniaku sendiri, berusaha menimbun waktu dengan aktivitas-aktivitasku sendiri?
Di luar sana, banyak orang bicara tentang idealisme, karir, dan masa depan cerah. Ah, sesuatu di ujung jalan. Punyakah aku? Dan kala bersentuhan dengan jiwa-jiwa langit, jiwaku berontak tak nyaman. Tentu saja, aku tidak hidup di langit: aku tinggal di bumi. Lalu, manakah sayang yang dulu mereka agung-agungkan? Manakah senyum yang katanya menyejukkan? Mana…?
Ia tetap jiwaku. Hanya ia yang membelaiku dengan sayang teramat dalam. Hanya ia yang ada di sana sepanjang hari. Maka ketika sekat-sekat itu kian menyempit, menghimpit asa hingga makin sekarat, setidaknya aku masih bisa tersenyum: aku masih punya jiwaku. Pada masa yang kian kabur, aku dan jiwaku masih tetap ada di sana. Ya, hanya aku dan jiwaku. Berdua.
No comments:
Post a Comment