[dipersembahkan untuk Hanif]
Sebagai orang tua yang dikaruniai anak, adalah hal yang (kadang terasa) otomatis untuk membandingkan anak kita dengan anak orang lain. Sayangnya kita sering terlupa bahwa meskipun hal itu lazim, tapi ia tidak sewajarnya dilakukan.
Ketika Hanif beranjak besar, beberapa kali diri ini melirik anak orang lain yang “sudah bisa tengkurap”, “sudah bisa merangkak”, “sudah bisa berjalan”, dan sederet “sudah bisa” lainnya. Lalu diri ini langsung tersadar ketika menoleh kembali kepada Hanif dan mendapatinya sehat, lincah, ceria, cerdas, tak kurang suatu apa. Aku paham, setiap anak punya waktunya sendiri.
Namun tak urung hati ini sebal juga kalau ada yang bertanya, “anaknya belum bisa jalan ya?” atau “anaknya belum bisa ngomong ya?”. Apalagi kalau usil berkomentar seperti “wah, nggak berhasil ASI eksklusif ya?”, “kok Hanif belum bisa ini itu…”, atau “wah, kalau anakku sih udah bisa begini begitu…”. Ingin menampar saja orang seperti ini, grrrr.
Membandingkan dengan anak lain itu (bisa jadi) wajar karena kita tak bisa tahu pencapaian kita tanpa pembanding, sepanjang hal ini dilakukan dalam batas normal, misal: untuk pengontrolan panjang dan berat badan yang sehat. Namun kalau pembandingan ini melangkah kepada pembandingan kemampuan dan perkembangan, kok rasanya agak terlalu usil ya. Bukankah setiap anak diciptakan dengan bakat dan minat tersendiri, termasuk tahapan perkembangannya? Bukankah tidak setiap anak seragam waktu tumbuh giginya, atau waktu berjalan dan berbicaranya, sebagai contoh?
Lebih jauh lagi, lihatlah masyarakat kita sekarang. Para orang tua berlomba-lomba mengajari anak mereka membaca dan berhitung serta memaksakan mereka bisa sebelum usia tertentu. Yang lainnya ramai-ramai memasukkan anak mereka ke tempat-tempat les bahasa asing, musik, balet, dan lain-lain. Kalau itu atas keinginan si anak sih tidak masalah, tapi bagaimana kalau itu hanya demi memuaskan obsesi orang tua yang ingin anaknya serba bisa? Apalagi demi memuaskan ego orang tua yang tak mau malu ketika membandingkan (kemampuan atau prestasi) anak mereka dengan anak-anak lain. Duh!
Aku selalu menganggap Hanif adalah mukjizat dan anugrah luar biasa. Sekaligus amanah yang harus dijaga baik-baik. Aku tak ingin membuatnya terluka dengan membanding-bandingkan minusnya dengan anak lain, toh ia juga dikaruniai plus yang lebih banyak. Setiap anak yang dititipkan pada kita adalah pribadi unik yang tak ada duanya, maka berhentilah membanding-bandingkan anak kita dengan anak lain, dan selalu bersyukur kita masih diamanahi karunia yang luar biasa.
Sebagai orang tua yang dikaruniai anak, adalah hal yang (kadang terasa) otomatis untuk membandingkan anak kita dengan anak orang lain. Sayangnya kita sering terlupa bahwa meskipun hal itu lazim, tapi ia tidak sewajarnya dilakukan.
Ketika Hanif beranjak besar, beberapa kali diri ini melirik anak orang lain yang “sudah bisa tengkurap”, “sudah bisa merangkak”, “sudah bisa berjalan”, dan sederet “sudah bisa” lainnya. Lalu diri ini langsung tersadar ketika menoleh kembali kepada Hanif dan mendapatinya sehat, lincah, ceria, cerdas, tak kurang suatu apa. Aku paham, setiap anak punya waktunya sendiri.
Namun tak urung hati ini sebal juga kalau ada yang bertanya, “anaknya belum bisa jalan ya?” atau “anaknya belum bisa ngomong ya?”. Apalagi kalau usil berkomentar seperti “wah, nggak berhasil ASI eksklusif ya?”, “kok Hanif belum bisa ini itu…”, atau “wah, kalau anakku sih udah bisa begini begitu…”. Ingin menampar saja orang seperti ini, grrrr.
Membandingkan dengan anak lain itu (bisa jadi) wajar karena kita tak bisa tahu pencapaian kita tanpa pembanding, sepanjang hal ini dilakukan dalam batas normal, misal: untuk pengontrolan panjang dan berat badan yang sehat. Namun kalau pembandingan ini melangkah kepada pembandingan kemampuan dan perkembangan, kok rasanya agak terlalu usil ya. Bukankah setiap anak diciptakan dengan bakat dan minat tersendiri, termasuk tahapan perkembangannya? Bukankah tidak setiap anak seragam waktu tumbuh giginya, atau waktu berjalan dan berbicaranya, sebagai contoh?
Lebih jauh lagi, lihatlah masyarakat kita sekarang. Para orang tua berlomba-lomba mengajari anak mereka membaca dan berhitung serta memaksakan mereka bisa sebelum usia tertentu. Yang lainnya ramai-ramai memasukkan anak mereka ke tempat-tempat les bahasa asing, musik, balet, dan lain-lain. Kalau itu atas keinginan si anak sih tidak masalah, tapi bagaimana kalau itu hanya demi memuaskan obsesi orang tua yang ingin anaknya serba bisa? Apalagi demi memuaskan ego orang tua yang tak mau malu ketika membandingkan (kemampuan atau prestasi) anak mereka dengan anak-anak lain. Duh!
Aku selalu menganggap Hanif adalah mukjizat dan anugrah luar biasa. Sekaligus amanah yang harus dijaga baik-baik. Aku tak ingin membuatnya terluka dengan membanding-bandingkan minusnya dengan anak lain, toh ia juga dikaruniai plus yang lebih banyak. Setiap anak yang dititipkan pada kita adalah pribadi unik yang tak ada duanya, maka berhentilah membanding-bandingkan anak kita dengan anak lain, dan selalu bersyukur kita masih diamanahi karunia yang luar biasa.
Setuju banget....
ReplyDeletePengalaman yang umumnya dialami oleh ibu2, terutama ibu muda.
Saya pun pernah mengalami. Dan rasanya kurang begitu nyaman. Akhirnya daripada perasaan itu timbul dan ketidaknyamanan itu tertuju pada buah hati saya, akhirnya pembicaraan yang terkait pembanding-bandingan atau yang akan menjurus ke arah itu, sebisa mungkin saya alihkan. Bukannya tidak pede dengan anak sendiri sih, cuma nggak nyaman aja. Kalo kebetulan anak sendiri kemampuannya lebih dari anak lawan bicara, maka yang merasa nggak nyaman pasti lawan bicara. Begitu pula sebaliknya. jadi fair-lah... hehehe...kalo pas ingin tau step2 perkembangan anak, baru baca buku2. nggak cuma satu sumber, tapi banyak sumber...jadi utk well-informed nggak dari sumber yang sepihak saja.
salam,