Tiap kali mendengar kabar tentang pernikahan seseorang, atau tiap kali menerima undangan pernikahan dari seorang teman, tak dapat disangkal aku langsung terhenyak. Detik terasa berhenti sejenak, membawa ingatanku kembali ke saat di mana aku menghadapi pernikahanku sendiri.
Begitu juga ketika mendengar kisah atau menemui pasangan pengantin baru yang sedang dimabuk asmara. Kadang merasa geli sendiri. Kadang merasa sinis dan skeptis. Kadang merasa cemburu. Ya, kalau mau jujur pada diri sendiri, sering sekali aku merasa cemburu pada mereka. Cemburu pada kebahagiaan dan binar-binar cinta mereka yang menguar sampai ke mana-mana.
Kehidupan pernikahanku sendiri baru berjalan dua tahun tiga bulan. Namun di usianya yang baru seumur jagung itu, aku merasakan pernikahanku telah bertumbuh, telah mencapai fase yang berbeda. It’s a great thing to know that it grows with us.
Dulu rasanya dunia hanya milik berdua saja. Aku tak lengkap dan merasa tak berdaya tanpanya. Merinduinya sepanjang waktu. Memujanya habis-habisan. Agak kekanak-kanakan mungkin, tapi ini tipikal khas orang yang jatuh cinta :D
Kini? Hmm, rasanya lebih dewasa dan lebih rasional. Juga lebih realistis dalam memandang kehidupan. Mimpi tentang masa depan tak lagi berbuih-buih seperti awal pernikahan dulu, karena sudah mengalami sendiri perbedaan antara “apa yang kita inginkan” dan “apa yang kita dapatkan”. Dua insan yang dulu dimabuk asmara—sampai lautan rela diseberangi dan gunung rela didaki, kata orang—kini lebih kental sebagai dua orang yang saling bersahabat dan dua orang yang saling melengkapi. Kalau si dia sedang jauh, perasaanku tak lagi dipenuhi oleh rasa tak berdaya seperti dulu. Hidup masih berlanjut, meski terasa pincang—yah, namanya juga manusia normal. Tapi lama-lama aku berhasil deal with it. Alih-alih nangis bombay, aku lebih suka mengalihkannya untuk sesuatu yang lebih produktif.
Aku rasa kata-kata Desi benar adanya. Setiap kehidupan pernikahan—milik siapapun itu—punya plus minusnya sendiri, punya riak-riaknya sendiri. Kehidupan pernikahanku yang tidak ideal akibat terpisahnya kami ternyata memiliki sisi positif tersendiri. Kalau mengutip kata-kata Desi: LDR has made our relationship grow in a special way that a normal couple might not have it, which I can then say that these hard time worth. Seiring dengan lahirnya Hanif dan berjalannya waktu, kemandirianku menjadi jauh lebih kuat. Mentalku juga lebih tahan banting dan tidak se-melankolis dulu. Aktualisasi diri kami terpenuhi secara bebas, dan kami juga punya lebih banyak waktu untuk diri sendiri (me-time).
Meskipun demikian, still... nothing can be better than having him besides you. Namanya juga pernikahan, idealnya memang harus dilalui seatap bersama. Kadang-kadang rindu sekali diri ini pada labuhan asa tempat menumpahkan segala curhat dan penat, atau sekedar teman ngobrol melewatkan malam. Rindu sekali diri ini pada sosok mitra bertukar pikiran dan merancang masa depan. Karena ketika bertemu setiap akhir pekan, waktu yang tercipta di antara kami selalu hanya berpusat pada Hanif—aku maklum, kalau sudah ada anak, si istri biasanya terlupakan :p (lebih-lebih karena si dia memang jarang bertemu Hanif).
Melewati dua tahun pernikahan, detil-detil kecil yang manis seperti kecupan, pelukan, colekan nakal, kerlingan genit, dan sebangsanya, sudah jauh berkurang. Entah terlupakan, entah tak lagi dianggap penting (terutama olehnya *sigh*). Wajar kalau aku sering merasa cemburu pada pasangan pengantin baru, karena pada mereka, biasanya detil-detil kecil yang manis ini sangat melimpah. Pertemuan akhir pekan yang singkat kadang tak memberi ruang untuk curhat dan diskusi panjang, karena perhatian terlanjur habis untuk Hanif. Seandainya kami bisa bertemu lebih sering, sehingga perhatian untukku juga seimbang dengan perhatian untuk Hanif.
Ah, hidup terlalu indah untuk dihabiskan dengan berandai-andai. Maka kusyukuri saja semuanya. Ketika akhir pekan tiba, dan kuberikan waktu sepuasnya bagi Hanif untuk berinteraksi dengan ayahnya, aku menyibukkan diri dengan my me-time. Kapan lagi aku bisa menulis, membaca buku, online, pergi senam, atau ke salon dengan nikmat tanpa diganggu Hanif? Alhamdulillah, there’s always a silver lining in every clouds.
Sekali lagi, pernikahanku baru seumur jagung. Masih panjang jalan terbentang, masih banyak tugas yang harus dikerjakan, masih banyak tanggung jawab yang harus ditunaikan. Ini baru permulaan. Hidup tak pernah sempurna, begitu juga kita, pasangan, dan pernikahan kita. Dalam hidup, kita tak selalu mendapatkan apa yang kita inginkan, maka syukuri saja apa yang sudah kita miliki. Menikah itu gampang. Menjaganya tetap utuh dan seimbang—seimbang lahir-batin, seimbang dunia-akhirat… itu yang susah.
Tulisan terkait:
Begitu juga ketika mendengar kisah atau menemui pasangan pengantin baru yang sedang dimabuk asmara. Kadang merasa geli sendiri. Kadang merasa sinis dan skeptis. Kadang merasa cemburu. Ya, kalau mau jujur pada diri sendiri, sering sekali aku merasa cemburu pada mereka. Cemburu pada kebahagiaan dan binar-binar cinta mereka yang menguar sampai ke mana-mana.
Kehidupan pernikahanku sendiri baru berjalan dua tahun tiga bulan. Namun di usianya yang baru seumur jagung itu, aku merasakan pernikahanku telah bertumbuh, telah mencapai fase yang berbeda. It’s a great thing to know that it grows with us.
Dulu rasanya dunia hanya milik berdua saja. Aku tak lengkap dan merasa tak berdaya tanpanya. Merinduinya sepanjang waktu. Memujanya habis-habisan. Agak kekanak-kanakan mungkin, tapi ini tipikal khas orang yang jatuh cinta :D
Kini? Hmm, rasanya lebih dewasa dan lebih rasional. Juga lebih realistis dalam memandang kehidupan. Mimpi tentang masa depan tak lagi berbuih-buih seperti awal pernikahan dulu, karena sudah mengalami sendiri perbedaan antara “apa yang kita inginkan” dan “apa yang kita dapatkan”. Dua insan yang dulu dimabuk asmara—sampai lautan rela diseberangi dan gunung rela didaki, kata orang—kini lebih kental sebagai dua orang yang saling bersahabat dan dua orang yang saling melengkapi. Kalau si dia sedang jauh, perasaanku tak lagi dipenuhi oleh rasa tak berdaya seperti dulu. Hidup masih berlanjut, meski terasa pincang—yah, namanya juga manusia normal. Tapi lama-lama aku berhasil deal with it. Alih-alih nangis bombay, aku lebih suka mengalihkannya untuk sesuatu yang lebih produktif.
Just a word of advice, don't do such LDR if you can. Although it has made our relationship grow in a special way that a normal couple might not have it, which I can then say that these hard time worth, still... nothing can be better than having him besides you. (Desiree)
Aku rasa kata-kata Desi benar adanya. Setiap kehidupan pernikahan—milik siapapun itu—punya plus minusnya sendiri, punya riak-riaknya sendiri. Kehidupan pernikahanku yang tidak ideal akibat terpisahnya kami ternyata memiliki sisi positif tersendiri. Kalau mengutip kata-kata Desi: LDR has made our relationship grow in a special way that a normal couple might not have it, which I can then say that these hard time worth. Seiring dengan lahirnya Hanif dan berjalannya waktu, kemandirianku menjadi jauh lebih kuat. Mentalku juga lebih tahan banting dan tidak se-melankolis dulu. Aktualisasi diri kami terpenuhi secara bebas, dan kami juga punya lebih banyak waktu untuk diri sendiri (me-time).
Meskipun demikian, still... nothing can be better than having him besides you. Namanya juga pernikahan, idealnya memang harus dilalui seatap bersama. Kadang-kadang rindu sekali diri ini pada labuhan asa tempat menumpahkan segala curhat dan penat, atau sekedar teman ngobrol melewatkan malam. Rindu sekali diri ini pada sosok mitra bertukar pikiran dan merancang masa depan. Karena ketika bertemu setiap akhir pekan, waktu yang tercipta di antara kami selalu hanya berpusat pada Hanif—aku maklum, kalau sudah ada anak, si istri biasanya terlupakan :p (lebih-lebih karena si dia memang jarang bertemu Hanif).
Melewati dua tahun pernikahan, detil-detil kecil yang manis seperti kecupan, pelukan, colekan nakal, kerlingan genit, dan sebangsanya, sudah jauh berkurang. Entah terlupakan, entah tak lagi dianggap penting (terutama olehnya *sigh*). Wajar kalau aku sering merasa cemburu pada pasangan pengantin baru, karena pada mereka, biasanya detil-detil kecil yang manis ini sangat melimpah. Pertemuan akhir pekan yang singkat kadang tak memberi ruang untuk curhat dan diskusi panjang, karena perhatian terlanjur habis untuk Hanif. Seandainya kami bisa bertemu lebih sering, sehingga perhatian untukku juga seimbang dengan perhatian untuk Hanif.
Ah, hidup terlalu indah untuk dihabiskan dengan berandai-andai. Maka kusyukuri saja semuanya. Ketika akhir pekan tiba, dan kuberikan waktu sepuasnya bagi Hanif untuk berinteraksi dengan ayahnya, aku menyibukkan diri dengan my me-time. Kapan lagi aku bisa menulis, membaca buku, online, pergi senam, atau ke salon dengan nikmat tanpa diganggu Hanif? Alhamdulillah, there’s always a silver lining in every clouds.
Sekali lagi, pernikahanku baru seumur jagung. Masih panjang jalan terbentang, masih banyak tugas yang harus dikerjakan, masih banyak tanggung jawab yang harus ditunaikan. Ini baru permulaan. Hidup tak pernah sempurna, begitu juga kita, pasangan, dan pernikahan kita. Dalam hidup, kita tak selalu mendapatkan apa yang kita inginkan, maka syukuri saja apa yang sudah kita miliki. Menikah itu gampang. Menjaganya tetap utuh dan seimbang—seimbang lahir-batin, seimbang dunia-akhirat… itu yang susah.
Tulisan terkait:
No comments:
Post a Comment