Monday, June 15, 2009

Sosialisasi

Masalah klasik yang selalu hadir dalam keseharian seorang ibu muda adalah sulitnya bergaul atau hang out dengan teman. Maklum, anak masih kecil dan masih suka bergelung di pelukan bundanya. Atau kalau tidak, bundanya yang sering kangen dan tidak tahan meninggalkan si kecil lama-lama.

Aku tipe yang senang main dan jalan-jalan. Apalagi kalau teman-teman yang ikut cukup banyak. Sebelum menikah, tak pernah terbayangkan bahwa kehidupan sosial di luar rumah akan “terkorbankan” seperti ini. Pastinya kesadaran tentang itu tetap ada. Hanya tak pernah berpikir bahwa hal ini akan menjadi masalah.

Yah, sebetulnya bukan masalah yang gawat juga sih. Sempat merenung sejenak soal ini ketika beberapa waktu lalu suami mengeluh bahwa kehidupan sosialnya dengan teman-teman sekantor tidak berjalan seperti yang ia harapkan. Pasalnya, tiap akhir pekan ia mesti ke Bandung menyambangi anak istrinya, sementara biasanya justru di akhir pekan teman-temannya mengadakan acara. Sebut saja acara pernikahan, sebagai contoh. Untuk itu ia harus memilih, absen dari acara itu atau absen dari anak istrinya. Bukan pilihan yang menyenangkan kalau ia harus terus-terusan absen dari acara pernikahan teman-temannya.

Bagaimana dengan aku? Sama saja. Akhir pekan seperti jadi harga mati untuk berada di rumah, karena saat itu suami datang. Bisa ditebak, akhir pekan bakal full untuk anak dan suami, dan terpaksa harus menepis ajakan teman-teman untuk sekedar bertemu atau jalan-jalan.

Masalahnya tak akan jadi pelik kalau teman-teman sejawat juga sudah sama-sama punya anak. Jadi kan bisa seperti family gathering. Sayangnya sebagian besar belum menikah, dan acara hang out selalu identik dengan gaulnya kaum lajang. Tak enak juga kalau dalam acara-acara seperti itu kita sendiri yang mengajak anak dan suami.

Pernah suatu kali aku tak diajak dalam acara kumpul-kumpul. Entah karena aku yang terlalu sering menolak ajakan sejenis—karena alasan yang sudah aku ungkapkan di atas—atau memang karena kuota sudah terlalu banyak, yang jelas: ada sebersit rasa tak dianggap. Mungkin aku sedang agak sensitif juga sih waktu itu.

Pernah juga suatu kali aku ikut acara karaoke selepas maghrib hingga malam. Meskipun hati agak tak tenang karena sudah seharian meninggalkan Hanif di rumah, aku ikut juga karena ingin berpartisipasi dalam acara hang out teman-teman, dan supaya kejadian “tak dianggap” di atas tidak terulang. Sedikit memaksakan diri dan merasa bersalah setelahnya. Duh…

Sebenarnya kalau dipikir-pikir, hanya aku di kantor ini yang notabene seorang ibu muda namun tetap eksis di acaranya kaum lajang kantor. Ibu-ibu muda yang lain lebih memilih untuk cepat-cepat pulang menjumpai anak. Bukannya aku tak sayang anak. Ini lebih kepada upaya untuk tetap eksis dalam dunia sosialisasi kantor. Tak dapat kupungkiri, aku masih mencari formula yang tepat untuk memposisikan diri di antara rumah dan luar rumah. So, any suggestion?

No comments:

Post a Comment