Satu hal yang amat kukagumi dari suamiku adalah kemurahan hatinya. Dibesarkan dalam keluarga yang mengerti benar tentang arti kesederhanaan, ia tidak lantas bersikap eman terhadap miliknya. Suka sekali ia memberi, terutama terhadap orang-orang yang memang layak menerima.
Sore itu, kami termangu di lobi BIP, memandangi hujan yang turun dengan lebatnya. Parkir motor ada di seberang jalan, dan kami sama sekali tidak membawa payung. Di pinggir jalan, cukup ramai orang menawarkan ojek payung.
”Kita nekat saja yuk. Kasihan Hanif nunggu di rumah. Kita ke motor pake ojek payung, sekalian ngasih rejeki,” kata suamiku seraya meraih payung yang dipegang ojek payung di depannya, yang adalah seorang anak kecil. Ya, anak kecil. Dari obrolan selintas lalu, dia baru kelas 3 SD. Suamiku memilihnya karena ia lebih layak menerima dibanding ojek-ojek payung yang lain, yang rata-rata lebih dewasa.
Di parkir motor, suamiku menyuruhku memberi anak itu lebih dari dua kali lipat tarif ojek payung yang normal. Terus terang kami lebih suka memberi dengan cara seperti ini daripada memberi kepada peminta-minta. Memberi dengan cara ini bagai memberi kail, bukan ikan. Memberi dengan cara ini mengajari orang berusaha, bukan meminta-minta. Dan tentu, memberi lebih daripada yang ia layak terima adalah kebahagiaan tersendiri.
Subhanallah, satu momen lagi dalam hidupku, aku diajari suamiku arti memberi. Binar mata dan ucapan terima kasih anak itu lebih dari cukup untuk membuat hatiku berdesir haru sore itu. Hmm, begini rasanya: bahagia karena memberi. Alhamdulillah masih diberi-Nya kesempatan untuk merasakan bahagia versi ini.
No comments:
Post a Comment