Sunday, September 04, 2022

Belajar Memahami Anak dengan Bijak

Pernahkah Anda membaca buku Totto-chan: Gadis Cilik di Jendela yang ditulis oleh Tetsuko Kuroyanagi? Buku ini bagus untuk dibaca para orang tua dan praktisi pendidikan anak. Meskipun dikemas dengan bahasa sederhana, sesungguhnya ia sarat akan pesan-pesan parenting. Aku membaca buku ini puluhan tahun lalu bahkan ketika aku belum punya anak, tetapi pesan mendalam yang kutangkap waktu itu begitu membekas dan berhasil membentuk gambaran ideal di benakku tentang bagaimana seharusnya hubungan orang dewasa dengan anak terjalin. Pesan-pesan parenting-nya sungguh tak lekang oleh waktu dan tetap relevan hingga kini meskipun latar belakang buku ini adalah kondisi di Jepang  sebelum Perang Dunia II.

Totto dalam novel ini digambarkan sebagai seorang anak yang polos, punya rasa ingin tahu besar, selalu antusias dengan hal-hal baru, penuh imajinasi, dan selalu bersemangat sehingga sering menguji kesabaran gurunya. Dia dikeluarkan dari sekolah karena dianggap nakal dan susah diatur. Ibunya kemudian mencarikannya sekolah baru hingga akhirnya dia bertemu dengan Pak Kobayashi, kepala sekolah yang sangat sabar, hangat, penuh kepedulian dan kasih sayang, serta begitu memahami karakter anak-anak didiknya.

Bicara soal karakter unik Totto-chan, kita perlu memahami baiknya perlakuan membesarkan hati anak sehingga anak tidak merasa dirinya buruk. Ada dua kemungkinan penyebab anak dianggap bandel. Kemungkinan pertama, anak tersebut memang bermasalah. Kemungkinan kedua, anak tersebut adalah anak pandai yang kreativitasnya dibatasi rutinitas. Kebanyakan orang dewasa menganggap tipe anak kedua sama saja dengan tipe anak pertama karena orang dewasa tidak mau menggali apa sebenarnya yang dirasakan oleh si anak, padahal tipe anak kedua bukanlah tipe anak bandel. Ia hanya seorang anak dengan rasa ingin tahu yang sangat besar, yang berusaha memahami dunia di sekelilingnya dengan pengetahuan yang dibangun berdasarkan kehidupan sehari-hari, bukan berdasarkan tugas-tugas rutin sekolah yang membosankan.

Sekolah yang menyenangkan adalah sekolah yang membebaskan. Anak bebas menyerap pengetahuan dengan cara menyenangkan sehingga pengetahuan membekas pada jiwa dan dapat menghasilkan sesuatu yang konkret untuk kehidupan. Namun, kebebasan yang dimaksud tentu bukan kebebasan yang murni. Aturan dan tanggung jawab tetap diperlukan dalam kebebasan berekspresi karena berkaitan erat dengan adab, etika, sopan santun, dan kewajiban. Dalam sebuah sistem sekolah yang menyenangkan, pemberian tugas tidak ditiadakan sama sekali. Tugas tetap diberikan, tetapi tugas bukan segalanya. Dalam sebuah sistem sekolah yang baik, anak merasa dirinya diterima sekaligus merasa aman dan rileks untuk berbuat (berpendapat, belajar, bermain, dsb.) karena anak mempunyai fitrah untuk dicintai, dihargai, dipahami, dan diakui.

Seorang anak yang mempunyai rasa ingin tahu yang besar seharusnya tidak dianggap sebagai anak yang merepotkan. Keingintahuan adalah dasar untuk mencari ilmu pengetahuan. Seorang pendidik memiliki tugas untuk mengarahkan keingintahuan si anak menjadi keingintahuan yang produktif dengan sistem belajar mengajar yang bebas, menyenangkan, tetapi bertanggung jawab.

Seorang pendidik yang baik juga harus mempunyai kelebihan untuk melakukan pendekatan yang konkret kepada anak, misalnya dengan menjadi pendengar yang baik sehingga anak merasa dihargai, atau dengan melontarkan kalimat-kalimat positif untuk menumbuhkan sikap optimisme anak. Dua hal ini dicontohkan secara gamblang oleh buku Totto-chan, seperti ketika Kepala Sekolah Kobayashi mau mendengarkan cerita Totto-chan selama empat jam penuh, atau kenyataan bahwa Kepala Sekolah Kobayashi sering menyebut Totto-chan sebagai anak baik untuk menanamkan rasa percaya dirinya.

Dalam menerapkan kebebasan anak, kita tetap perlu mengajarkan kepada anak tentang mana yang boleh dan mana yang tidak boleh. Dengan demikian, anak tetap dilatih untuk berpikir kritis dalam kebebasannya sehingga ia memiliki self control yang baik. Terkait dengan pengajaran tentang tanggung jawab, hukuman tetap diperlukan. Hanya saja kita tidak boleh menghukum anak sebelum ia mengerti aturan dan kesalahannya. Hukuman tidak identik dengan pemberian penderitaan karena ia adalah penyadaran akan tanggung jawab dengan cara pemberian konsekuensi. Dalam buku Totto-chan, Kepala Sekolah Kobayashi “hanya” memberikan konsekuensi untuk membersihkan kembali apa yang telah Totto-chan jadikan berantakan karena konsekuensi tersebut sudah menjadi hukuman yang pantas untuknya.

Dalam usaha mewujudkan sistem belajar mengajar yang baik dan efektif, selain penyesuaian kurikulum dengan tahapan proses perkembangan anak berdasarkan usia, interaksi anak dengan pendidik harus baik. Hal itu antara lain bisa dibangun lewat kemampuan pendidik untuk berempati, mengenali anak, dan menerima anak apa adanya. Dengan demikian, anak akan merasa senang untuk belajar ilmu pengetahuan dan bersosialisasi sehingga ia siap terjun ke masyarakat di kemudian hari.

No comments:

Post a Comment