Ketika Hanif dirawat inap, seperti biasa aku menyuapi Hanif sarapan sambil membawanya jalan-jalan. Sebagai anak yang eksploratif, terkungkung di kamar sungguh terasa membosankan. Jalan-jalannya pun tidak cukup cuma di bangsal dan lorongnya, melainkan sampai keluar bangsal, ke ruang tunggu melihat akuarium, sampai minta diantar naik turun lift dari lantai satu hingga enam >_<
Saat di lift itulah, kami bertemu dengan dua staf rumah sakit. Tampaknya seorang perawat dan seorang dokter. Mereka menyapa kami ramah. Wanita yang berpenampilan seperti perawat berkata, “Wah, lagi jalan-jalan ya...”
Lalu wanita yang berpenampilan seperti dokter menimpali sambil memandangku, “Tapi Ibu telaten ya nyuapin sambil jalan-jalan. Kalau anakku makannya susah, udah aja kuserahin ke pembantu. Pembantuku lebih tahu gimana caranya, sambil ngajak anakku main-main.”
Aku langsung speechless. Mengapa bukan dia saja yang berusaha menyuapi anaknya sambil mengajak bermain? Alasan “tidak telaten” atau “tidak tahu caranya” aku rasa cuma omong kosong. Masa iya pembantunya lebih tahu soal anak daripada ibunya sendiri? Kecuali kalau memang sehari-hari si ibu tidak pernah mengurusi anaknya.
Sikap seperti inilah yang membuat profesi wanita karir menjadi tercoreng. Berjaya di karir, tetapi urusan anak terabaikan. Padahal untuk siapa sih sebenarnya kita bekerja? Untuk anak juga, bukan? Ingin rasanya aku berkata, “Punya anak memang repot. Siapa suruh punya anak? Kalau nggak mau repot, ya nggak usah punya anak.”
Dalam hati aku beristighfar. Ya Allah, semoga urusan di luar rumah tidak membuatku lalai akan anakku. Semoga berepot-repot mengurusi anak masih lebih mengasyikkan daripada menyibukkan diri dengan urusan lain.
Saat di lift itulah, kami bertemu dengan dua staf rumah sakit. Tampaknya seorang perawat dan seorang dokter. Mereka menyapa kami ramah. Wanita yang berpenampilan seperti perawat berkata, “Wah, lagi jalan-jalan ya...”
Lalu wanita yang berpenampilan seperti dokter menimpali sambil memandangku, “Tapi Ibu telaten ya nyuapin sambil jalan-jalan. Kalau anakku makannya susah, udah aja kuserahin ke pembantu. Pembantuku lebih tahu gimana caranya, sambil ngajak anakku main-main.”
Aku langsung speechless. Mengapa bukan dia saja yang berusaha menyuapi anaknya sambil mengajak bermain? Alasan “tidak telaten” atau “tidak tahu caranya” aku rasa cuma omong kosong. Masa iya pembantunya lebih tahu soal anak daripada ibunya sendiri? Kecuali kalau memang sehari-hari si ibu tidak pernah mengurusi anaknya.
Sikap seperti inilah yang membuat profesi wanita karir menjadi tercoreng. Berjaya di karir, tetapi urusan anak terabaikan. Padahal untuk siapa sih sebenarnya kita bekerja? Untuk anak juga, bukan? Ingin rasanya aku berkata, “Punya anak memang repot. Siapa suruh punya anak? Kalau nggak mau repot, ya nggak usah punya anak.”
Dalam hati aku beristighfar. Ya Allah, semoga urusan di luar rumah tidak membuatku lalai akan anakku. Semoga berepot-repot mengurusi anak masih lebih mengasyikkan daripada menyibukkan diri dengan urusan lain.
No comments:
Post a Comment