“Jadikan menulis itu nafas.”
Rabu sore, 12 Oktober 2004, saya dan seorang teman berkesempatan untuk bertemu dengan sastrawan Seno Gumira Ajidarma, tepat sehari setelah ia menerima Penghargaan Sastra Khatulistiwa 2004. Suatu kesempatan yang saya nantikan (lagi) sebenarnya, dapat berbincang-bincang sejenak dengan sastrawan kelas nasional, setelah sebelumnya saya pernah bertemu dengan Helvy Tiana Rosa dan Dewi “Dee” Lestari.
Saya sedikit terlambat menjemput teman saya dari kantornya sehingga sesampainya saya di Common Room —tempat diadakannya acara— bangku-bangku sudah penuh. Ups, tampaknya memang harus berdiri nih, kata saya dalam hati. Sembari menyusup-nyusup mencari tempat strategis, saya memandang berkeliling. Semua mata yang hadir tampak menatap ke satu titik yang menjadi center point di ruangan kecil itu. Setengah celingak-celinguk, akhirnya saya berhasil menempatkan diri sebagai audience yang baik (eh, benarkah?). Perhatian saya langsung terpaku pada sosok eksentrik yang duduk di bagian depan audience. Oh, jadi ini Mas Seno itu, pikir saya. Segera saya larut dalam bincang-bincang santai dan sharing kepenulisan yang sore itu berlangsung dengan penuh guyon.
Beberapa pertanyaan yang diajukan berkaitan dengan 'kegemaran' Mas Seno mengangkat tema 'senja' dalam tulisan-tulisannya. Banyak di antara audience yang menanyakan, mengapa harus senja? Dengan ringan Mas Seno menjawab, "Saya malah heran kalau ada orang yang tidak menyukai senja. Betapa tidak, senja itu kan sebuah keindahan yang sempurna (sambil menarik nafas). Tapi dengan keindahan yang sempurna itu, senja tidak bertahan lama. Dia dengan niscaya akan menghilang, akan menggelap. Dan itu sebuah inspirasi besar buat saya."
Mas Seno juga menyisipkan beberapa tips menulis. Bagi penulis pemula, it's okay kalau mereka menerapkan proses imitasi dalam awal proses kreatif mereka sebagai penulis. Semua penulis pada awalnya pasti seperti itu, tak terkecuali Mas Seno sendiri. Dulu sekali, ketika awal-awal menulis puisi, Mas Seno melakukan proses imitasi terhadap karya-karya Sapardi Djoko Damono. Namun, mungkin karena saking berbakatnya Mas Seno, proses imitasi itu hanya sebatas proses kreatif saja. Bahkan ketika hal tersebut dikonfirmasi ke Sapardi sendiri, ia dengan terang-terangan mengatakan bahwa puisi-puisi Mas Seno berbeda dengan karyanya :)
Ada satu pertanyaan dari audience yang menarik perhatian saya. Seseorang bertanya, mengapa karya-karya sastra Mas Seno begitu susah dipahami, alias harus dibaca berulang-ulang untuk bisa mengerti. Pesan penulis sebenarnya seperti apa? Jawaban Mas Seno begitu simpel. Katanya, saat sebuah karya selesai dibuat, maka saat itulah pengarangnya mati. Maksudnya, ketika seorang pembaca membacanya, maka ia bebas menafsirkan bagaimana pesan penulis dalam karya tersebut. Bebas sebebasnya, dan si pengarang tidak 'berwenang' mencampuri interpretasi pembaca terhadap karyanya. Untuk memahami karya sastra yang tidak mudah dipahami, memang diperlukan kemampuan lebih. Dan itu yang membuat kita menjadi seorang pembaca yang bermutu. Tidak sebatas membaca hal-hal yang ringan saja. Jadi jika kita tidak berhasil memahami karya sastra semacam itu, berarti kita belum berhasil menjadi pembaca yang bermutu (ups, kesindir nih :p)
Mas Seno berkata, untuk menjadi penulis yang baik, kita harus menjadi pembaca yang baik terlebih dahulu (oh ya, tentu saja). Baca apa saja yang bisa menambah wawasan kita. Mengembara dalam wacana, istilahnya. Tanamkan dalam pola pikir kita, bagaimana caranya kita dapat terus menulis. Cari inspirasi tentang apa saja. Jadikan menulis itu nafas.
Sepulang saya dari Common Room, saya jadi terpikir untuk membeli buku Negeri Senja-nya Mas Seno :)
No comments:
Post a Comment