Monday, April 19, 2021

Ibuku

Ibuku orang Jawa tulen. Pengaruh kejawaan dari kedua orang tuanya sangat kental karena Eyang Putri masih memiliki garis keturunan Sultan Hamengkubuwono I, tapi kejawaan Ibu termasuk yang moderat. Jika Eyang Kakung masih memegang teguh pusaka adat dan ritual adat, Ibu justru menolaknya dengan halus. Kata Ibu, beliau menolaknya karena faktor kepraktisan, tapi jauh dalam hati aku tahu jika sebenarnya Ibu tidak setuju dengan praktik-praktik adat yang jauh dari Islam.

Dibesarkan dalam keluarga yang kurang mampu sebagai sulung dari sembilan bersaudara membuat masa muda Ibu tidak pernah mudah. Eyang Kakung tidak pernah punya rumah. Semasa menjadi pegawai PJKA, Eyang Kakung sekeluarga tinggal di rumah dinas. Setelah Eyang Kakung pensiun, mereka hanya mampu mengontrak rumah petak di tengah kampung. Bahkan Ibu pernah bercerita jika gorden penutup jendela saja mereka tidak punya. Ketika sudah bekerja dan menikah, Ibu masih harus membesarkan dan membiayai sekolah adik-adiknya.

Tidak heran Ibu tumbuh menjadi seseorang yang keras, tegas, tegar, mandiri, soliter, dan sangat koleris. Semasa kecil Ibu tidak pernah diajari ilmu agama oleh Eyang. Ibu belajar agama dari lingkungannya, salah satunya dengan cara ikut-ikutan temannya mengaji di surau. Faktor ketidakcukupan materi membuat masa remajanya akrab dengan minder dan depresi. Alhamdulillah Ibu mampu bangkit dan sedikit demi sedikit mencoba mencari uang sendiri dengan membantu temannya berjualan.

Ibu adalah sosok wanita karir yang cukup sibuk selama masa produktifnya. Sejak aku kecil, aku ingat selalu ditinggal Ibu bekerja. Meskipun statusnya cuma sebagai guru, Ibu juga memiliki aktivitas sosial yang menuntutnya selalu sibuk. Aku kerap merasa kesal karena merasa masa kecilku sering terlewatkan oleh Ibu. Jika ditanya alasan mengapa beliau bersibuk-sibuk di luar rumah, beliau cuma menjawab agar anak-anaknya berkecukupan dengan uang yang beliau hasilkan. Ibu tidak mau anak-anaknya punya masa kecil yang sama dengan beliau.

Begitulah ibuku. Semenjak aku lulus kuliah, beliau sering menanamkan pesan supaya aku lekas bekerja demi punya penghasilan yang bisa mencukupi keluarga dan untuk berjaga-jaga bila terjadi sesuatu dengan suami. Pesan Ibu selalu kuingat sebagai nasihat yang sarat dengan spirit mandiri dan aktualisasi diri.

Di sisi lain, sosok Ibu yang cenderung keras menyebabkan komunikasi kami sering tidak nyambung. Aku yang sensitif dan gampang merajuk, kadang-kadang menangis menghadapi Ibu. Menurut beliau, aku ini anaknya yang paling sering membantah sehingga harus diperlakukan dengan keras. Aku membutuhkan waktu yang tidak sebentar untuk memperbaiki hubungan dengan Ibu. Hubungan kami yang seperti ini juga membuatku bertekad: kelak aku ingin dekat dengan anak-anakku. Aku ingin bisa menjadi sahabat mereka, tempat berbagi apa pun dan kapan pun, serta selalu ada bila mereka butuh. Aku tidak ingin memiliki hubungan yang berjarak dengan anak-anakku.

Terlepas dari semua itu, aku sangat bangga dengan Ibu. Tak bisa kupungkiri, Ibu memiliki andil besar dalam hidupku. Kalau tidak ada Ibu, mungkin aku bakal lebih cengeng daripada sekarang. Ibu mengajariku tentang nilai-nilai kehidupan, terutama tentang bagaimana seorang perempuan menjadi mandiri sehingga tidak dipandang remeh oleh orang lain. Ketika aku kecil dan remaja, beliau memaksaku untuk belajar mengendarai sepeda dan sepeda motor supaya aku bisa pergi ke mana-mana sendiri dan tidak menjadi beban bagi orang lain. Masih teringat jelas perkataan beliau, “Dadi wong wedok kuwi ojo dadi gawene wong lanang.”

Sejak pandemi aku belum berkesempatan menjumpai Ibu kembali. Sudah enam belas bulan berselang tanpa aku bisa memeluk Ibu dan mencium tangannya dengan takzim. Ah, tak bisa kulukiskan seperti apa rasanya rindu ini. Di sini aku terus berdoa: semoga Allah senantiasa memberi Ibu berkah dan kesehatan, serta memberi kami kesempatan untuk dapat kembali bertemu dalam keadaan sehat dan bahagia.

No comments:

Post a Comment