Sepanjang ingatanku menjalani masa kecil sebagai perempuan, ada satu kata yang kerap membersamaiku saat itu: insecure. Mungkin aku bisa dibilang cukup cemerlang dalam hal prestasi, tapi sesungguhnya ada banyak hal yang membuatku merasa tidak aman. Aku sering merasa khawatir tidak memiliki teman. Saat kecil aku sungguh pemalu. Terhadap orang yang tak dikenal, aku cenderung menarik diri dan tertutup. Beberapa orang kawan yang cukup dekat denganku membuatku merasa ditinggalkan ketika akhirnya mereka dekat dan bersahabat akrab dengan kawan yang lain. Sebagai seorang gadis kecil, tidak memiliki teman dekat adalah sesuatu yang menyedihkan.
Beranjak remaja dan duduk di bangku sekolah unggulan, aku melihat teman-teman perempuan banyak yang membentuk geng. Tanpa sengaja aku terlibat akrab dengan salah satu geng di kelas. Peer pressure sangat terasa dalam interaksi sehari-hari. Aku dianggap gaul jika mengikuti standar mereka, dan aku sering dicibir bila menolak ajakan hang out karena aku harus buru-buru pulang untuk menjaga adikku. Sampai suatu ketika aku didepak keluar dari geng itu dengan cara yang mungkin buat mereka biasa, tapi buatku terasa sangat menyakitkan. Hingga hari ini aku tidak tahu alasannya. Dugaanku: karena aku sering berbeda pendapat dan kerap menolak ajakan hang out mereka, sehingga bagi mereka mungkin aku bukan teman yang asyik.
Peristiwa itu menorehkan luka teramat dalam, sampai-sampai
aku bertekad untuk tak akan pernah lagi bersahabat dekat dengan sesama
perempuan. Perjalanan mencari teman membawaku pada satu kesimpulan bahwa lebih
baik sendirian daripada merasa tersakiti oleh sahabat. Maka ketika aku duduk di
bangku SMA, aku mulai menyibukkan diri dengan kegiatan organisasi dan berteman
dengan banyak teman laki-laki. Bahkan beberapa kali aku berpacaran dan merasa
bisa menjalani hari-hari tanpa sahabat perempuan.
Kenangan-kenangan di masa lalu berperan besar membentuk
kepribadianku. Hingga sekarang aku lebih nyaman bepergian seorang diri tanpa
teman. Zaman kuliah aku sampai kenyang mendapat pertanyaan “Sendirian aja, Yus?”
ketika pergi ke mana-mana. Bahkan saat ibu-ibu di kantor pergi beramai-ramai ke
mal ketika jam istirahat, aku merasa lebih nyaman pergi sendiri dalam diam.
Melihat kenyataan hidup di sekeliling saat ini, sering
sekali kita dapati perempuan satu dengan yang lain saling menjatuhkan. Di
kalangan ibu-ibu, sudah jamak terjadi mom war dalam berbagai hal, mulai dari
ASI versus susu formula, ibu bekerja versus ibu di rumah, melahirkan normal
versus melahirkan C-section, dan masih banyak lagi. Seolah pengalaman masa
kecilku belumlah cukup, aku merasa sangat lelah melihatnya.
Perempuan harus saling mendukung satu sama lain. Seorang
perempuan bisa memberdayakan perempuan lain dan hal itu tak akan pernah
mengecilkan peran dan makna dirinya
sendiri. Di dunia yang keras ini, kita harus memberangus kebencian,
kecemburuan, atau perasaan iri antara sesama perempuan.
Sebuah penelitian oleh Harvard Business Review mengatakan
bahwa perempuan yang memiliki inner circle sesama perempuan cenderung dapat menempati
posisi eksekutif dengan otoritas yang lebih besar dan gaji yang lebih tinggi,
bila dibandingkan dengan laki-laki yang memiliki inner circle yang sama. Hal
ini dikarenakan perempuan yang memiliki hubungan dekat dengan kelompok
perempuan yang mendukungnya, akan lebih mudah menghadapi berbagai rintangan melalui
berbagi pengalaman dengan perempuan lain yang pernah menghadapi situasi dan
kesulitan yang sama.
Andai saja sejak kecil kita diajari untuk saling mendukung
satu sama lain sebagai perempuan, mungkin tidak perlu ada gadis-gadis lain yang mengalami nasib sama denganku. Tak perlu ada persaingan saling
menjatuhkan, tak perlu ada perundungan, tak perlu adu debat meskipun berbeda
pendapat.
No comments:
Post a Comment