Tuesday, June 10, 2014

Destinasi Lombok Hari II: Wisata Budaya

Jumat, 30 Mei 2014


Hari kedua di Lombok dimulai dengan bangun siang-siang, hehe. Maklum masih terbiasa dengan jam WIB. Lalu aku, Mas Catur, dan Dek Abi berjalan-jalan pagi mengeksplorasi sudut-sudut hotel yang asri. Matahari sudah tinggi ketika kami sampai di kolam renang. Kolam renangnya bagus, luas, dan nyaman. Takjub kami memandang ke belakang kolam renang. Ternyata antara hotel dengan pantai Senggigi hanya dibatasi pagar pendek setinggi pinggang orang dewasa. Ada dua pintu gerbang kecil di situ. Keluar pagar sudah langsung bisa menginjak pasir pantai. Di sepanjang pagar rendah itu ada trotoar yang bisa digunakan untuk berjalan-jalan menyusuri pantai. Banyak penjaja kaos murah, suvenir, juga penjaja jasa henna langsung menyambut begitu kami keluar pagar. Dari dulu aku tertarik dengan henna. Setelah tawar-menawar harga, akhirnya tanganku dilukis dengan henna seharga Rp 20 ribu saja. Cantik sekali hasilnya, aku sangat puas. Di sini Mas Catur membeli beberapa kaos dan celana pendek, karena setelah kericuhan hari sebelumnya, ternyata dia tidak membawa cukup baju ganti untuk liburan kali ini.

Kiri: dilukis henna. Tengah: sesaat setelah dilukis, masih basah. Kanan: setelah tiba di Bandung.

Kolam renang hotel yang berbatasan langsung dengan Pantai Senggigi

Berjalan sedikit ke arah pantai, kami mendapati sebuah dermaga kecil menjulur ke laut. Dari dermaga itu para turis bisa menyeberang ke Gili Trawangan dengan speed boat selama 1-1,5 jam. Meskipun waktu baru menunjukkan angka 7.30, matahari sudah terasa terik sekali. Foto-foto di dermaga dilakukan sambil kepanasan karena menghadap ke arah matahari muncul. Hanif yang bangun belakangan kemudian menyusul ke pantai, dia langsung bermain pasir dan air. Anak yang dulu takut air ini sekarang menjelma jadi anak yang memuja pantai, hehehe. Sementara Dek Abi masih takut air seperti biasa. Main air kemudian dilanjutkan di kolam renang hotel, sebelum akhirnya kami menyantap sarapan.

Pantai Senggigi

Sudut hotel yang asri

Pukul 10.00 kami keluar dari hotel, siap mengikuti tur keliling Lombok yang dipandu oleh Pak Iskandar. Sementara rombongan teman-teman Mas Catur dari Jakarta rencananya baru akan tiba siang itu, jadi kami mendahului mengeksplorasi Lombok dengan mobil sewaan.

Gambar diambil dari sini

Mutiara Lombok


Dari Senggigi, mobil meluncur ke arah selatan melewati Ampenan, sampai ke Kota Mataram. Pak Iskandar menghentikan mobil di salah satu toko yang menjual beraneka perhiasan mutiara. Lombok dikenal dengan budidaya mutiara Laut Selatan. Peternakan mutiara Lombok terletak di pantai bagian barat laut, di sebelah barat kota Sekotong Timur, Sekotong Tengah, dan Lembar. Peternakan mutiara di Lombok terletak di dalam rantai sepuluh pulau-pulau (Gili) di sepanjang sisi utara semenanjung Sekotong, antara Sekotong Timur dan Bangko Bangko di ujung barat. Selain mutiara Laut Selatan, Lombok juga dikenal dengan budidaya mutiara air tawar. Mereka hampir sama cantik dan populernya dengan mutiara alam atau mutiara air asin. Maka tak heran toko-toko perhiasan mutiara tersebar di seantero Lombok. Penjaja suvenir di tepi-tepi jalan juga banyak yang menjual perhiasan mutiara, tapi konon yang mereka jual adalah mutiara palsu. Cara membedakan mutiara asli dengan palsu bisa dilihat di sini. (sumber dari sini)

Toko tempat mobil kami berhenti, menjual mutiara air laut dan mutiara air tawar asli. Bros mutiara air tawar dijual seharga Rp 60-80 ribu, sementara bros mutiara air laut harganya ratusan ribu: ada yang Rp 500 ribu, bahkan Rp 800 ribu. Beberapa bros mutiara air laut yang dibuat dari emas harganya malah Rp 3-5 juta *pingsan*. Toko ini juga menjual mutiara yang belum dirangkai, masih dalam bentuk butiran-butiran warna-warni. Kalau tak salah ingat, harganya Rp 250 ribu per gram.

Display mutiara air laut asli di etalase toko

Mutiara dari Lombok Barat termasuk yang paling elok di Indonesia, karena mutiara ini dibudidayakan secara alami. Banyak investor asing yang tertarik menanamkan modal di industri itu. Di tengah air laut yang tenang, ratusan bola pelampung berwarna biru dan hitam mengapung di sepetak keramba yang “berenang” 100 meter dari bibir pantai. Di bawah pelampung-pelampung itulah ratusan indukan kerang diikat dalam jaring-jaring khusus. Setelah 40 hari dirawat di bak-bak khusus dalam laboratorium, kerang-kerang penghasil mutiara itu memang harus “ditanam” di laut lepas. Biasanya di kedalaman 5 meter atau 10 meter. Di situlah kerang-kerang tersebut dibiarkan hidup dan tumbuh dengan makanan plankton-plankton yang ada.

Setelah umur kerang mencapai dua tahun, peternak biasanya melakukan proses operasi yaitu proses injeksi nukleus ke dalam organ seksual kerang. Tujuannya, nukleus bisa diselimuti selubung-selubung alamiah dari kerang. Karena itu, pembudidayaan kerang secara alami bisa memakan waktu hingga empat tahun atau lebih. Besarnya kerang yang siap panen pun bervariasi. Namun, kerang yang dihasilkan perairan Indonesia rata-rata berdiameter 10-11 milimeter. Mutiara yang baik harganya memang selangit. Mutiara berdiameter 18 milimeter, misalnya, dibanderol Rp 24 juta per biji. Untuk ukuran 16 milimeter dihargai Rp 18 juta, sedangkan yang 14 milimeter berharga Rp 10 juta. (sumber dari sini).

Sentra Perajin Gerabah di Desa Banyumulek


Setelah puas melihat-lihat mutiara, kami kembali naik mobil. Tujuan berikutnya adalah sentra perajin gerabah di Desa Banyumulek, Kecamatan Kediri, Kabupaten Lombok Barat. Banyumulek adalah salah satu desa wisata di Pulau Lombok yang berjarak sekitar 14 kilometer dari Kota Mataram, atau sekitar 45 menit dari kawasan Senggigi. Sebagian besar penduduk di desa ini bermata pencaharian sebagai perajin gerabah. Di desa ini banyak terlahir tangan-tangan terampil dan cekatan pembuat gerabah berkualitas ekspor. Awalnya jenis gerabah yang dihasilkan digunakan untuk kebutuhan sehari-hari, misalnya gentong yang berfungsi sebagai tempat air, kendi yang berfungsi sebagai tempat minum, tong sampah yang berfungsi untuk tempat pembuangan sampah, dan lain-lain. Namun seiring berjalannya waktu serta berkembangnya pariwisata di Pulau Lombok, terjadi pergeseran nilai yang lebih mengarah ke elemen dekorasi, dalam artian gerabah yang dihasilkan digunakan untuk dekorasi, misalnya penghias taman, ruangan hotel, atau rumah. (sumber dari sini)

Memasuki desa ini, kita akan melihat berbagai barang hasil kerajinan gerabah, seperti pot bunga, pajangan, genteng, interior taman dan ruangan, hingga asbak. Proses pembuatan gerabah di Desa Banyumulek diawali oleh para pria yang mengambil tanah liat di Gunung Sasak. Tanah liat di sini begitu khas dan bagus untuk pembuatan gerabah, konon tanahnya bahkan sampai dikirim ke luar kawasan untuk pembuatan gerabah di tempat lain. Tanah liat itu dikeringkan lalu diinjak-injak agar halus. Kemudian, tanah dicampur dengan pasir dan disaring. Jika sudah cukup halus, tanah liat itu dicampur air secukupnya kemudian dipakai sebagai bahan dasar membuat gerabah. (sumber dari sini)
 
Atas: display gerabah di salah satu toko setempat. Kiri bawah: gerabah yang belum dihias dan kulit telur sebagai penghiasnya. Kanan bawah: berfoto di workshop.

Proses membuat gerabah dikerjakan oleh para perempuan Banyumulek. Mereka hanya mengandalkan tangan, sebuah sikat, talenan, amplas, seember air untuk meratakan permukaan tanah liat, dan kain untuk menghaluskan. Setelah selesai, lantas produk diangin-anginkan sehari. Setelah itu barulah dilakukan pembakaran. Proses pembakaran biasanya dilakukan sekitar 1-2 jam. Bila membakar menggunakan sekam maka hasilnya akan berwarna hitam. Jika menggunakan kayu, hasilnya berwarna merah. Faktor panas api betul-betul diperhatikan agar pembakaran merata. Selanjutnya proses mempercantik produk pun dilakukan dengan menggunakan rotan, kulit telur, dan sebagainya (sumber dari sini)

Para perajin wanita di Desa Banyumulek (gambar diambil dari sini)

Produk gerabah unik yang menarik perhatian wisatawan adalah kendi maling. Bentuknya seperti kendi biasa, yakni sebagai tempat menyimpan air untuk diminum. Yang unik adalah cara mengisi air ke dalam kendi tersebut. Kendi biasa diisi air tentu dari atas, di mana kendi paling atas berlubang sebagai tempat memasukkan air. Nah, kendi maling ini diisi dari bagian bawah. Ajaibnya, air di dalam kendinya tidak tumpah dan masih bisa diminum. Kendi tersebut dibuat berdasarkan sistem kerucut di dalamnya. Jadi, air minum dimasukkan dari bagian bawah kendi yang dibalik. Lalu ketika dikembalikan ke posisi semula, air kendi tersebut tidak tumpah. Air dari kendi bisa dituang ke dalam gelas dan diminum.

Kendi maling (gambar diambil dari sini)

Selepas dari Banyumulek, kami mampir makan siang di RM “Ujung Landasan”. Rumah makan ini memang terletak di jalan utama yang menuju ke arah Bandara Lombok Praya. Makanannya lumayan enak, meskipun tidak terlalu istimewa. Udara Lombok yang panas membuatku memesan es leci dan salad buah segar, sementara Mas Catur memesan burung puyuh goreng dan anak-anak makan soto. Di sini ada pelaminan berornamen yang kami jadikan tempat berfoto. Sebenarnya ada playground juga, tapi siang yang terik membuat kami enggan bermain lama-lama.

RM "Ujung Landasan"

Sentra Perajin Tenun di Desa Sukarara


Perhentian berikutnya adalah sentra perajin tenun di Desa Sukarara, Kecamatan Jonggat, Kabupaten Lombok Tengah. Dari Mataram, perjalanan menuju Sukarara sepanjang 20 kilometer ke arah selatan ditempuh dalam waktu sekitar 30 menit. Jalur yang ditempuh adalah jalur Mataram-Cakranegara-Kediri-Sukarara. Dari Jalan Raya Praya, satu-satunya jalan raya besar yang mengarah ke Sukarara, kami berbelok dan masuk ke gang yang kondisi jalannya beraspal seadanya. Suasana desa sebagai sentra tenun langsung terasa demi melihat rumah-rumah di sepanjang jalan desa yang menyediakan kain tenun.

Para penduduk Sukarara, terutama para perempuan wajib belajar menenun. Sejak usia kanak-kanak, sekitar 9-10 tahun, para perempuan tersebut sudah diajari menenun. Kewajiban perempuan Desa Sukarara bisa menenun menjadi aturan yang masih berlaku hingga sekarang ini. Menurut adat, perempuan yang belum bisa menenun tidak boleh menikah. Perempuan Desa Sukarara yang belum bisa menenun tapi berani menikah bisa terkena denda. Dendanya berupa uang, padi, atau beras. Keterampilan menenun menjadi satu pegangan hidup bagi perempuan Sukarara. Barangkali aturan ini memang dibuat untuk para perempuan itu sendiri agar bisa mandiri dan menghidupi dirinya. Di Sukarara, pemberdayaan perempuan sudah mulai sejak zaman dulu.

Aturan soal kewajiban tenun ini tidak berlaku bagi kaum lelaki, meski ada pula lelaki yang bekerja sebagai penenun kain ikat. Terdapat sebuah mitos bahwa apabila kaum lelaki mengerjakan tenunan songket, pria tersebut akan mandul. Biasanya, para pria mengerjakan tenunan ikat, sementara kaum perempuan mengerjakan tenunan songket.

Lombok memiliki dua jenis tenun yaitu songket dan ikat. Tenun songket hanya dibuat oleh para perempuan dengan alat manual. Tenun ikat dibuat oleh para lelaki dengan Alat Tenun Bukan Mesin (ATBM). Kain songket biasa digunakan oleh para perempuan. Ciri khasnya, kain songket ini memiliki sisi depan dan sisi belakang. Songket biasanya menggunakan benang emas sebagai campuran dari bahan katun yang biasa dipakai. Paling sulit dari pembuatan songket ini terletak pada penentuan motif. Pengerjaannya yang manual membuat waktu tenun menjadi lama. Para perempuan yang bekerja menenun songket dari pukul 08.00 hingga 17.00 biasanya hanya bisa menenun minimal 10 sentimeter hingga maksimal 15 sentimeter. Salah satu perempuan yang mengajariku menenun mengatakan bahwa untuk durasi kerja 9 jam itu mereka hanya diupah Rp 10 ribu per hari. Duh, sedihnya.

Biasanya para perempuan menenun songket dengan lebar 60 sentimeter dan panjang 4 meter. Setelah selesai, songket itu akan dipotong dan disambungkan sehingga menjadi kain dengan panjang 2 meter dan lebar 120 sentimeter. Sambungan untuk menyatukan dua kain itu berada di tengah. Penyambungan kain itu tentu saja dilakukan oleh penjahit yang terampil agar motif dua belahan kain ini bisa menyatu sempurna. Untuk menenun satu helai kain, rata-rata diperlukan waktu dua minggu hingga satu bulan. Harga jual tenun songket Lombok bervariasi mulai dari angka Rp 200 ribu hingga Rp 5 juta per lembar.

Adapun tenun ikat memiliki waktu produksi yang lebih singkat. Penenun ikat bisa menyelesaikan hingga panjang 3 meter tenun ikat per hari dengan ATBM. Tenun ikat memiliki motif bolak-balik sehingga tidak dibedakan antara bagian depan dan bagian belakang. Tenun ikat hanya menggunakan bahan dari kain katun saja. Proses awalnya dimulai dari pemintalan benang. Setelah benang dipintal, benang-benang itu digambar motif dengan pensil. Motif tersebut lalu diikat dengan tali rafia untuk kemudian dicelupkan pada pewarna untuk dasarnya. Kain ikat biasanya dipakai untuk bahan selimut, seprai, atau bahan pakaian. Harga tenun ikat ini mulai dari Rp 100 ribu per meter untuk tenun ikat katun dengan warna kimia, dan Rp 150 ribu per meter untuk tenun ikat dengan pewarna alam. (sumber dari sini)


Di Sukarara, Mas Catur membeli dua helai sarung untuk sholat seharga Rp 200 ribu per buah. Aku juga ditawari kain songket seharga Rp 400 ribu, sudah termasuk selendangnya. Tapi aku menolak dengan halus, karena sebelumnya di sebelah toko mutiara pagi harinya, aku sudah membeli satu stel kain songket yang harganya cuma Rp 100 ribu. Hmm, jadi curiga kain songket yang sudah kubeli itu dibuat dengan mesin karena harganya yang murah. Di rumah tenun tempat kami mampir di Sukarara, semua kain tenunnya memang dibuat dengan alat tenun manual, mungkin karena itu harganya menjadi mahal.

Oh iya, di sini aku juga mencoba belajar menenun: memasukkan benang motif ke kolom-kolom benang utama, lalu menghentakkan kayu kuat-kuat agar benang-benang tersusun rapat. Lumayan capek juga kalau harus seharian mengerjakannya. Kami juga ditawari untuk berfoto ala suku Sasak dengan didandani menggunakan kain tenun ini, tapi kami menolaknya karena masih ada dua lagi destinasi wisata yang akan kami kunjungi.

Dusun Adat Sade


Selanjutnya kami melanjutkan perjalanan ke arah selatan menuju Dusun Sade, yang terletak di Desa Rembitan, Kecamatan Pujut, Kabupaten Lombok Tengah, sekitar 30 kilometer dari Kota Mataram. Dusun Sade dikenal sebagai dusun yang mempertahankan adat suku Sasak. Sebagai desa wisata, Sade punya keunikan tersendiri. Meski terletak persis di samping jalan raya Praya-Kuta yang beraspal nan mulus, penduduk Sade masih berpegang teguh menjaga keaslian desa.

Pertama kali kami memasuki gerbang Sade, kami melihat ada sebuah meja kecil di sebelah kiri. Meja itu difungsikan sebagai meja resepsionis, lengkap dengan penjaga, buku tamu, dan kotak kecil untuk memberi bantuan dana seadanya. Setiap kali ada tamu datang ke Sade, beberapa pemuda setempat akan menyambut dan menawarkan jasa sebagai pemandu wisata. Mereka dibayar seikhlasnya, rata-rata 20-50 ribu untuk mengantarkan kita berkeliling sambil memperkenalkan budaya lokal.

Bisa dibilang, Sade adalah cerminan suku asli Sasak Lombok. Walaupun listrik dan Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) dari pemerintah sudah masuk ke sana, Dusun Sade masih menyuguhkan suasana perkampungan asli pribumi Lombok. Hal itu bisa dilihat dari bangunan rumah yang terkesan sangat tradisional. Rumah-rumah di Sade dibangun berbaris, atapnya dari ijuk, daun rumbia, atau daun alang-alang kering, kuda-kuda atapnya memakai bambu tanpa paku, tembok dari anyaman bambu, dan langsung beralaskan tanah. Jalan-jalannya terdiri dari gang-gang sempit yang berundak-undak sehingga cara untuk bisa melihat-lihat keadaan sekitar kampung ini adalah dengan berjalan kaki.

Dusun Sade

Orang Sasak Sade menamakan bangunan sebagai “bale”. Ada delapan bale yaitu Bale Tani, Jajar Sekenam, Bonter, Beleq, Berugag, Tajuk dan Bencingah. Bale-bale itu dibedakan berdasarkan fungsinya.
  • Yang paling menonjol dan khas Lombok adalah lumbung yang didirikan di atas empat tumpukan kayu dengan atap berbentuk topi terbuat dari alang-alang atau rumput gajah. Lumbung ini biasa digunakan sebagai tempat menyimpan padi, hasil panen, atau untuk menyimpan segala kebutuhan, yang dimasukkan melalui jendela terbuka. Pada bagian bawah lumbung terdapat bale-bale tempat penduduk berinteraksi sekaligus menjaga lumbung.
  • Bale Tani adalah bangunan yang dipergunakan sebagai tempat tinggal. Bale Tani terbagi menjadi dua bagian yaitu Bale Dalam dan Bale Luar. Ruangan Bale Dalam biasanya diperuntukkan bagi anggota keluarga wanita, yang sekaligus merangkap sebagai kamar dan dapur. Sedangkan ruangan Bale Luar diperuntukkan bagi anggota keluarga lainnya, dan juga berfungsi sebagai ruang tamu. Antara Bale Dalam dan Bale Luar ini dipisahkan dengan pintu geser dan anak tangga, untuk memasuki Bale Dalam kita harus melewati pintu kayu yang berukuran kecil dengan tinggi sekitar 150 cm dan berbentuk oval. Di dalam ruangan Bale Dalam terdapat dua buah tungku yang menyatu dengan lantai terbuat dari tanah liat yang digunakan untuk memasak. Masyarakat di perkampungan Sade biasanya memasak dengan menggunakan kayu sebagai bahan bakarnya. Bale Dalam tidak memiliki jendela dan hanya memiliki satu buah pintu yang terletak di bagian depan sebagai jalan untuk keluar-masuk.
  • Berugag adalah balai desa atau ruang upacara yang berdiri di atas enam pilar dan atapnya juga terbuat dari  rumput gajah, memberikan suasana sejuk ketika cuaca terik dan hangat pada malam hari yang dingin. (sumber dari sini dan sini)

Mata pencaharian penduduk di Sade adalah bertani dan pekerjaan menenun adalah pekerjaan sambilan kaum wanita di sini setelah selesai bekerja di sawah. Mereka menenun dengan hanya menggunakan alat tenun tradisional yang sangat sederhana. Hasil tenunan mereka beraneka ragam seperti taplak meja, kain sarung, kain songket, selendang, dan lain-lain. Sarung tenun di sini dibanderol seharga Rp 100 ribu—lebih murah daripada sarung tenun Sukarara. Meskipun demikian, sarung tenun Sukarara jauh lebih halus buatannya. Ada sekitar 200 Kepala Keluarga (KK) di Sade. Dulu penduduknya banyak yang menganut Islam Wektu Telu (hanya tiga kali sholat dalam sehari). Namun sekarang, banyak penduduk Sade sudah meninggalkan Wektu Telu dan memeluk Islam sepenuhnya. (sumber dari sini)

Menurut pemandu kami, warga desa memiliki kebiasaan unik yaitu mengepel lantai menggunakan kotoran kerbau. Zaman dahulu ketika belum ada plester semen, orang Sasak Sade mengoleskan kotoran kerbau di alas rumah. Sekarang setelah sebagian dari mereka sudah membuat plester semen, kotoran kerbau itu tetap dioleskan di atasnya. Konon, dengan cara begitu lantai rumah dipercaya tetap hangat di musim hujan dan tetap sejuk di musim panas, serta dijauhi nyamuk.

Pantai Kuta


Perjalanan ke selatan berakhir di Pantai Kuta. Pantai ini terletak di Desa Kuta, Kabupaten Lombok Tengah, sekitar 56 kilometer dari Kota Mataram. Saat kami tiba, air laut sedang surut sehingga tepian air jaraknya cukup jauh dari garis pasir. Mentari sore masih bersinar terik, padahal waktu sudah menunjukkan pukul 16.15. Sebelum kami turun, Pak Iskandar memperingatkan kami supaya berhati-hati terhadap pedagang suvenir keliling. Mereka jauh lebih agresif dibanding pedagang suvenir pada umumnya. Jika kita tidak berniat membeli, jangan coba-coba untuk menanggapi apalagi bertanya. Sekali kita bertanya, kita akan susah untuk menghindari bujukan mereka, salah-salah bahkan bisa dipaksa membeli barang yang mereka jajakan.

Pantai Kuta, Lombok. Kanan bawah: konon bongkahan batu itu adalah tempat Putri Mandalika menceburkan diri ke laut.

Yoga on the beach :)

Suasana Pantai Kuta ini sangat tenang, setenang ombaknya yang memecah karang di kejauhan. Wisatawan yang saat itu berkunjung tak banyak, para bule yang berjemur pun jumlahnya hanya segelintir. Pantai ini memang terbilang sepi dari pengunjung, apalagi di hari kerja seperti saat itu. Pasir putih di Pantai Kuta terbentang di perairan yang berhadapan dengan Samudera Hindia. Area pantai yang dangkal terbilang cukup luas. Air lautnya masih tampak bersih dan jernih. Wilayah pantai juga aman untuk mandi dan berenang. Kabarnya kita bisa menikmati sejumlah rekreasi dan olahraga air seperti banana boat, windsurfer, atau jetski, namun sejauh pandangan mataku saat itu, aku tak mendapatinya. Mungkin wahana air tersebut letaknya ada di sisi pantai yang berlainan. Di pantai ini juga terdapat deretan bukit-bukit yang menjorok ke laut. Perpaduan antara bukit, laut, serta butiran pasirnya yang seperti merica, membuat pantai ini terlihat semakin memikat.

Butiran pasir Pantai Kuta yang seperti merica (gambar diambil dari sini)

Selain keindahan alam yang dapat dinikmati, satu kali dalam setahun diadakan upacara adat Sasak di pantai ini. Dalam upacara yang disebut upacara Bau Nyale ini para pelaut mencari cacing Nyale di laut. Bau Nyale dilaksanakan setiap tanggal 20 pada bulan ke-10 berdasarkan penanggalan masyarakat Sasak, biasanya sekitar bulan Februari atau Maret. Kata “bau” artinya menangkap, sedangkan “nyale” merupakan jenis cacing laut yang hidup di dasar laut, seperti di lubang batu karang. Cacing laut ini muncul di sepanjang pantai selatan Kabupaten Lombok Tengah, tetapi lokasi yang paling ramai didatangi oleh pengunjung adalah Pantai Kuta dan Pantai Seger yang letaknya berdekatan.

Tradisi Bau Nyale didasarkan pada legenda Putri Mandalika yang telah dipercayai oleh masyarakat Sasak secara turun-temurun. Menurut cerita, dahulu kala ada seorang putri kerajaan bernama Putri Mandalika yang sangat cantik, banyak pangeran dan pemuda yang ingin menikah dengannya. Karena ia tidak dapat mengambil keputusan, dan karena ia tidak ingin ada pertumpahan darah bila ia memilih salah satu dari pemuda tersebut, maka ia terjun ke laut. Ia berjanji sebelumnya bahwa ia akan datang kembali satu kali dalam setahun. Rambutnya yang panjang kemudian menjadi cacing Nyale tersebut. Berdasarkan kepercayaan masyarakat Sasak, cacing laut ini diyakini membawa kesejahteraan dan keselamatan. Mereka percaya bahwa cacing ini bisa menyuburkan tanah sehingga bisa mendapatkan hasil panen yang memuaskan. Biasanya cacing yang ditangkap ini akan ditaburkan di sawah, atau disantap sebagai lauk.

Pemandangan saat festival Bau Nyale berlangsung (gambar diambil dari sini dan sini)

Makan Malam


Setelah sekitar setengah jam bermain-main di Pantai Kuta, mobil bergegas menderu menuju Kota Mataram. Kami berjanji bertemu dengan rombongan teman-teman Mas Catur untuk makan malam di RM “Taliwang Irama” tepat pukul 18.00 WITA. Dalam perjalanan kami sempat berbelok ke mal untuk membeli buah, serta sandal jepit untuk persiapan ke Gili Trawangan esok harinya.

RM “Taliwang Irama” terletak di Jln. Ade Irma Suryani nomor 10, Cakranegara. Saat kami tiba, listrik sedang padam. Hmm, rupanya di Lombok sering mati lampu ya. Malam sebelumnya kami juga sempat mengalami mati lampu di hotel, untungnya pihak hotel memiliki cadangan sumber listrik sendiri. Pada jam-jam makan, RM “Taliwang Irama” selalu penuh. Kerja sama tak tertulis antara pengelola rumah makan dengan perusahaan jasa perjalanan menjadi pengantar konsumen yang berkesinambungan untuk tempat ini. Sampai-sampai tempat parkir yang tak luas itu, penuh dengan mobil-mobil travel dan bus. Kabarnya kalau jam istirahat kantor tiba, seisi ruangan juga penuh diisi oleh karyawan-karyawan kantor yang mencari makan siang. Makan malam untuk rombongan kami disajikan secara prasmanan. Beberapa menu khas Lombok yang kuingat disajikan malam itu adalah plecing kangkung, ayam bakar taliwang, serta sup iga bebalung.

Menu di RM “Taliwang Irama” (gambar diambil dari sini)

Ayam bakar taliwang tak hanya mengacu pada kota Taliwang di Sumbawa Barat, tetapi lebih berasosiasi pada ayam bakar muda yang berkecap manis dan pedas. Ayam bakar taliwang biasanya disajikan dalam ukuran ekor, bukan potong. Selain itu, yang menjadi penanda paling khas ayam bakar taliwang adalah diolah dari ayam kampung liar berusia 4-5 bulan. Kriteria muda dan liar ini penting untuk menjaga kualitas rasa. Ayam muda memberi rasa manis pada daging dan liar menambahkannya dengan tekstur daging yang sedikit kenyal. Kalau bukan ayam liar, daging akan lembek dan cenderung hancur. Syarat menggunakan ayam berusia muda itu membuat ukuran ayam taliwang tak lebih besar dari kepalan orang dewasa.

Paduan manis dan kenyal ayam taliwang ini diberi bumbu pelalah yang pedas. Bumbu pelalah diracik dari bahan-bahan seperti kemiri, cabai kering, terasi, bawang putih, dan santan. Minyak dalam bumbu setengah cair ini berasal dari kemiri dan santan. Saat bersantap, daging ayam bisa dicolekkan pada bumbu atau seluruh bumbu dilumurkan pada ayam. (sumber dari sini)

Sedangkan sup iga bebalung merupakan sup berbahan tulang iga sapi yang dicampur dengan racikan bumbu, yang terdiri dari garam, cabe rawit, bawang putih, bawang merah, lengkuas, kunyit, ditambah jahe. Walaupun mirip sup daging pada umumnya, sup bebalung ini memiliki kekhasan tersendiri seperti penggunaan asam jawa dalam kuah kaldunya. Racikan bumbu semacam ini oleh masyarakat Sasak disebut sebagai ragi rajang. Cara membuatnya pun sangat sederhana. Tulang iga dipotong sesuai selera. Setelah dibersihkan dan direbus hingga matang dan dagingnya empuk, barulah dicampur dengan racikan bumbu yang telah dihaluskan dan ditumis. Bumbu dan bahan baku bebalung yang telah matang ini direbus kembali sekitar 30 menit agar bumbunya meresap ke dalam daging. Keistimewaan bebalung adalah dagingnya sangat lunak sehingga tanpa gigitan yang kuat, dagingnya mudah lepas dari tulang. (sumber dari sini)

Selesai makan, kami kembali ke hotel dengan bus rombongan. Berdasar kesepakatan awal, Pak Iskandar memang hanya mengiringi traveling kami hari itu sampai RM “Taliwang Irama” saja. Biaya sewa mobil biasanya berkisar Rp 350-450 ribu per hari. Setelah menunggu proses check in sambil beramah-tamah dengan teman-teman Mas Catur beserta keluarga mereka, akhirnya kami masuk kamar. Kamar kami berbeda dengan malam sebelumnya, kali ini kami mendapat jatah dua kamar yang bersebelahan. Gedung kamarnya terletak di area hotel bagian barat, sedikit lebih jauh dari lobi jika dibanding kamar kami sebelumnya. Tapi sinyal seluler di kamar baru ini jauh lebih kencang, syukurlah hehehe. Tur wisata budaya hari kedua lumayan menyisakan kepenatan, saatnya istirahat. Siap-siap ke Gili Trawangan esok hari, yippiii...

...bersambung...

Catatan: Foto-foto lengkap ada di sini (di-set “friends only”).

Baca juga:


No comments:

Post a Comment