Thursday, June 05, 2014

Destinasi Lombok Hari I: Rush Hour!

Kamis, 29 Mei 2014


Akhirnya kesampaian juga pergi ke Lombok, meskipun judul aslinya bukan liburan keluarga tapi family gathering teman-teman kuliah Mas Catur. Acara ini sudah direncanakan sejak Maret lalu, jadi sudah selama itu pula kami mengantongi tiket pesawat. Dari awal kami mengira berangkat hari Jumat, 30 Mei 2014 sesuai itinerary rombongan. Padahal sebenarnya, tanggal yang tertera di tiket adalah tanggal 29 Mei 2014. Aku tak tahu mengapa Mas Catur membeli tiket sehari lebih awal, mungkin saat booking dia tidak sadar kalau jadwalnya berbeda dengan keberangkatan teman-teman lain dari Jakarta.

Pagi itu aku selesai mengajar senam, sedang leyeh-leyeh sambil menyusui Dek Abi. Mas Catur sedang tidur ketika telepon Wiwiek, teman Mas Catur yang jadi panitia, masuk.

“Kamu berangkat hari ini?” tanya dia.
“Besok kok,” jawab Mas Catur yakin.
“Tanggal 29 apa 30? Kok kamu kemarin bilang tanggal 29?” tanya Wiwiek lagi.
“Eh? Bentar aku cek tiket dulu.”
Sedetik kemudian Mas Catur berteriak ke orang rumah, “Eh iyaaaa.. kita berangkat sekaraang!”

Weleh. Sontak seisi rumah langsung panik semua, berhubung jadwal pesawat pukul 10.20 dan saat itu sudah pukul 9.25. Anak-anak sudah mandi dan sarapan sih, tapi yang lain belum mandi. Belum packing pula, belum menyiapkan apapun, lha wong dikira berangkat keesokan harinya. Untuk pertama kalinya dalam hidupku, aku packing koper hanya dalam waktu 5 menit. Baju-baju sudah tak karuan bentuknya karena cuma dilempar-lempari masuk koper. Setiap orang berlarian ke sana kemari, sibuk mengambil ini itu. Kehebohan ditambah dengan menangisnya Dek Abi karena meminta sesuatu. Chaos! Hahaha.

Pukul 9.43 kami ngebut ke bandara. Untungnya ini Bandung, dalam 20 menit kami sudah tiba. Kekisruhan belum berakhir, jalan masuk ke bandara macet total. Pikir kami mungkin banyak orang yang akan pergi liburan. Mas Catur turun lalu berlari ke lobi untuk check in pesawat. Aku mengambil alih kemudi. Sampai akhirnya Mas Catur kembali ke mobil, macet belum berakhir dan kami belum berhasil mendapat tempat parkir. Alhamdulillah berita bagus datang: pesawat delay 90 menit! Baru kali ini ada orang yang senang ketika pesawatnya di-delay, hihihi. Alhamdulillah itu berarti tiket seharga empat juta lebih tak jadi melayang. Kalau tidak di-delay, pesawat tak akan terkejar. Syukur pada-Mu, Rabb. Engkau masih mengizinkan kami menikmati liburan ini.

Selepas check in, aku segera menelepon Reza, tukang ojek langganan, untuk mengantarkan dompet yang tertinggal di rumah. Lha untungnya di rumah masih ada Mbak Nunung, ART-ku yang hari itu sedang ada jadwal membersihkan rumah. Menunggu Reza juga memakan waktu tersendiri, berasa lamaaaa tak sampai-sampai. Ketika dia datang, dia tidak memakai helm dan rupanya membonceng ojek lain (tukang ojek naik ojek, jeruk makan jeruk dong, hahaha). Ban motornya bocor, katanya. Pantas lama betul. Ada saja ya ujiannya :D

Setelah mengantongi dompet, sambil terburu-buru aku berjalan menuju ruang tunggu. Aku berpapasan dengan kerumunan orang banyak, sebagian mengangkat-angkat kamera berusaha mengambil gambar seseorang, sebagian lagi menjulur-julurkan kepala ingin melihat sosok seseorang. Oh ternyata bertepatan dengan kedatangan Jokowi ke Bandung, pantas bandara sangat ramai, banyak yang meliput rupanya. Segera setelah duduk di ruang tunggu, kami baru bisa bernapas lega. Subhanallah masih diizinkan-Nya mengejar keberangkatan pesawat. Sambil menunggu waktu boarding, anak-anak riang gembira mengawasi kesibukan bandara. Tentu mereka senang sekali, selama ini kan mereka hanya bisa menikmati pemandangan pesawat take-off dan landing dari balik pagar landas pacu, nah sekarang mereka bisa melihat pesawat dari dekat. Pukul 12.34 panggilan boarding menggema—terlambat dua jam lebih—disambut dengan rutukan penumpang pesawat yang di-delay. Wah, kalau tidak di-delay, kami tak akan jadi berangkat ke Lombok saat itu, jadi kami tidak termasuk penumpang yang kecewa, hehehe.

Asyik mengamati kesibukan Bandara Husein

Pengalaman naik pesawat tampak menyenangkan untuk anak-anak. Mereka sangat excited, maklum penggemar mainan beraneka ragam moda transportasi. Nah, emaknya ini yang gemetar, hahaha. Selain karena mabuk udara, aku sedikit banyak agak takut terbang. Tapi demi melihat keriangan anak-anak, lumayan terhibur juga. Ada cerita lucu. Beberapa saat setelah pesawat take-off, Hanif bertanya kepada ayahnya, “Nyampe Legoland jam berapa, Yah?” Eaaaaa.. ini kan mau ke Lombok. Masih termimpi-mimpi Legoland rupanya dia. Insyaa Allah liburan berikutnya ya, Nak.

Kami mendarat di Bandara Ngurah Rai, Denpasar untuk transit. Rencana transit sebenarnya sekitar tiga jam, namun karena pesawat Lion Air ke Denpasar tadi mengalami keterlambatan, kami hanya transit sekitar satu jam. Anak-anak juga excited naik bus jemputan menuju Gate 18, kemudian selanjutnya kami naik Wings Air menuju Bandara Lombok Praya. Lombok, here we come!

Transit di Bandara Ngurah Rai, Denpasar




Kami tiba di Lombok pukul 18.00 WITA kurang sedikit, dijemput oleh guide ramah bernama Pak Masrin dari travel yang dipesan oleh panitia. Dari bandara di wilayah Praya, kami naik mobil sewaan selama 1,5 jam menuju hotel di wilayah Senggigi, melewati Kotamadya Mataram dan Ampenan. Mobil ini disopiri oleh Pak Iskandar. Di perjalanan Pak Masrin bercerita sedikit tentang Lombok. Jadi asal usul Lombok berasal dari kata “lomboq”, dalam bahasa suku Sasak artinya “lurus”. Pulau Lombok jika dilihat dari Bali memang arahnya lurus, bisa juga diartikan: agama yang dianut penduduk Lombok adalah agama yang lurus, karena mayoritas penduduknya adalah suku Sasak yang menganut agama Islam.

Tiba di Bandara Lombok Praya

Agama kedua terbesar yang dianut di pulau ini adalah agama Hindu, yang dipeluk oleh para penduduk keturunan Bali yang berjumlah sekitar 15% dari seluruh populasi di sana. Banyaknya penduduk suku Bali yang berdiam di Lombok merupakan keturunan penduduk atau kerabat Kerajaan Karangasem, Bali yang dulu wilayah kekuasaannya juga meliputi pulau ini. Di Kabupaten Lombok Utara, tepatnya di daerah Bayan, terutama di kalangan mereka yang berusia lanjut, masih dapat dijumpai para penganut aliran Islam Wetu Telu (waktu tiga). Tidak seperti umumnya penganut ajaran Islam yang melakukan sholat lima kali dalam sehari, para penganut ajaran ini mempraktikkan sholat wajib hanya pada tiga waktu saja. Konon hal ini terjadi karena penyebar Islam saat itu mengajarkan Islam secara bertahap dan karena suatu hal tidak sempat menyempurnakan dakwahnya.

Pulau Lombok juga dikenal dengan sebutan “pulau seribu masjid” dikarenakan banyaknya masjid yang dibangun di sini, satu kampung biasanya memiliki satu masjid. Berdasar pengamatanku, masjid yang dibangun bagus-bagus dan besar-besar meskipun levelnya hanya musholla kampung. Ternyata kata Pak Masrin, masjid adalah kebanggaan kampung, maka tak heran bila antarkampung saling berlomba membangun masjid yang paling bagus. Penduduk sini juga tak tanggung-tanggung kalau berderma mengeluarkan uang untuk pembangunan masjid. Marbot masjid besar biasanya mendapat gaji dari pemerintah. Satu kampung hanya berhak mendapat satu gaji marbot, oleh karena itu bila di suatu kampung terdapat lebih dari satu masjid, gajinya dibagi-bagi. Kemudian bila di suatu kampung terdapat lebih dari satu masjid, jadwal sholat jumat dilakukan secara bergantian.

Hari sudah gelap ketika kami mampir untuk makan malam di RM “Sasak”, wilayah Ampenan. Di sini kami mencicipi makanan khas Lombok seperti plecing kangkung dan ikan rajang bumbu kuning. Plecing kangkung terdiri dari kangkung yang direbus dan disajikan dalam keadaan dingin dan segar plus sambal tomat. Sambal tomatnya dibuat dari racikan cabai rawit, garam, terasi, dan tomat. Plecing kangkung biasanya disajikan dengan tambahan sayuran seperti tauge, kacang panjang, kacang tanah goreng ataupun urap. Kangkung yang digunakan untuk memasak plecing ini juga sangat khas. Tidak seperti tanaman kangkung yang biasa tumbuh di Pulau Jawa, kangkung khas Lombok ini berupa kangkung air yang biasanya ditanam di sungai yang mengalir dengan metode tertentu sehingga menghasilkan kangkung dengan batang yang besar dan renyah. Kangkung di daerah ini memang sangat terkenal, teksturnya lembut sehingga tidak terasa alot walaupun kita makan hingga ke batangnya. Tak heran jika kangkung Lombok menjadi alternatif oleh-oleh khas Nusa Tenggara Barat.

Selain kangkungnya yang khas, plecing yang enak juga dikarenakan terasi yang dipakai tidak sembarangan. Terasi khas Lombok yang digunakan untuk plecing kangkung adalah terasi Lengkare yang rasanya lebih gurih dan manis. Terasi inilah yang digunakan untuk memperkaya rasa di sambal plecing dan bumbu urap.

Plecing kangkung (gambar diambil dari sini)

Sementara ikan rajang bumbu kuning dibuat dari ikan air tawar maupun ikan laut yang direbus dengan bumbu yang dirajang dan ditambahi daun kemangi. Bumbu rajangannya terdiri dari cabai, daun bawang, daun jeruk purut, tomat, dan serai. By default, masakan ini pedas. Aku sudah berpesan pada pelayannya untuk menyajikan versi yang tak pedas saja, eh ternyata masih pedas juga karena potongan cabainya besar-besar *lap keringat*

Ikan rajang bumbu kuning

Tiba di hotel "The Santosa", anak-anak masih saja excited. Meskipun gelap, keindahan hotel yang asri sudah samar-samar terlihat. Karena mendahului rombongan, kami mendapat satu kamar besar, berbeda dengan kamar yang akan kami tempati esok malamnya. Sampai larut malam anak-anak masih saja pecicilan dan jumpalitan, padahal emak-bapak dan eyangnya sudah letih. Duhh, masih berasa mimpi sudah sampai di Lombok saat itu, mengingat kericuhan yang berlangsung di pagi harinya. Saatnya istirahat, mengumpulkan tenaga untuk menjelajah Lombok keesokan hari.

Jumpalitan di kasur hotel

No comments:

Post a Comment