Sabtu, 31 Mei 2014
Insert: Tiga gili yang menjadi objek wisata di Lombok |
Pagi-pagi sekali aku bangun dengan antusias karena menyadari bahwa hari itu kami akan berwisata ke Gili Trawangan. Anak-anak masih tidur, jadi selepas subuh ketika matahari mulai sedikit terlihat, aku dan Mas Catur memutuskan untuk berjalan-jalan sejenak menyusuri Pantai Senggigi di belakang hotel, sekaligus mencari penjaja jasa henna untuk melukis tanganku yang satunya—karena hasil henna sebelumnya sangat memuaskan. Sayangnya hari masih terlalu pagi sehingga belum ada penjual berseliweran. Di pantai yang masih sepi itu, beberapa nelayan sedang menepi dan membongkar ikan hasil berlayar. Kami berjalan dengan santai dan leluasa—kesempatan untuk berduaan tanpa anak-anak, hihihi—menyusuri tepian pantai sampai mentok di bebatuan karang di barat daya, lalu berbelok menembus masuk ke area sebuah hotel lain untuk sampai di jalan raya Senggigi. Jalanan masih sangat sepi, dan kafe-kafe di pinggir jalan masih tertutup rapat.
Jalan-jalan berdua selepas subuh |
Jalanan Senggigi yang masih sepi dan kafe-kafe yang masih tutup |
Selesai sarapan, rombongan berkumpul di bus pukul 10.00 WITA—terlambat satu jam dari seharusnya. Bus menyusuri jalan di pinggiran pantai sebelah barat Lombok selama 30 menit, dari Senggigi melewati Malimbu sampai akhirnya berhenti di pelabuhan Teluk Kodek. Dari pelabuhan ini, rombongan menyewa dua perahu untuk menyeberang ke Gili Trawangan. Perahu yang kami sewa merupakan perahu carteran yang akan membawa kami menyeberang pulang-pergi. Aku tak tahu berapa biayanya karena sudah diurus oleh pihak guide.
Selain pelabuhan Teluk Kodek, pelabuhan yang kerap dipakai untuk menyeberang ke Gili Trawangan adalah pelabuhan Bangsal. Berjarak sekitar 45 menit berkendara dari Senggigi, pelabuhan Bangsal merupakan pelabuhan penyeberangan reguler yang biasa digunakan oleh penduduk sekitar dari dan menuju Gili, baik Gili Meno, Gili Air maupun Gili Trawangan. Apabila kita menggunakan taksi, mereka tidak diizinkan masuk sampai ke pelabuhan, melainkan hanya sampai ke tempat sejenis terminal kecil yang disebut sebagai stasiun. Dari sini kita bisa meneruskan perjalanan menggunakan kereta kuda yang disebut cidomo. Jaraknya tidak terlalu jauh, mungkin hanya sekitar 200 meter, sehingga sejatinya bisa ditempuh hanya dengan berjalan kaki.
Pelabuhan Bangsal tidak terlihat seperti pelabuhan, hanya berupa bibir pantai dengan bangunan kecil dari kayu sebagai administratur sekaligus penjual tiket, serta beberapa kursi untuk menunggu. Perahu yang digunakan sebagai penyeberangan reguler, harga tiketnya Rp 10.000 per orang dan baru bisa berangkat apabila pembeli tiket sudah berjumlah 20 orang. Jadi biasanya kita harus menunggu beberapa menit bahkan beberapa puluh menit untuk bisa menyeberang. Petugas akan memberitahu melalui pengeras suara berapa orang lagi yang masih diperlukan untuk perahu bisa berjalan. Karena penyeberangan reguler ini juga digunakan oleh masyarakat setempat selain wisatawan, jangan heran bila di dalam perahu seringkali terdapat banyak barang bahkan binatang seperti ayam dalam keadaan hidup. Alternatif lainnya ialah dengan menggunakan speed boat carteran dengan biaya sekitar Rp 250.000-700.000. (sumber dari sini dan sini)
Walaupun murah, pelabuhan Bangsal adalah pelabuhan yang tidak aman (apalagi nyaman) untuk wisatawan khususnya wisatawan asing. Pelabuhan ini penuh dengan scam dan penipuan yang dilakukan oleh orang-orang setempat yang terjadi semenjak kita turun dari mobil. Berhati-hatilah selama berada di sini. Tips aman dan modus penipuan yang sering terjadi di pelabuhan Bangsal bisa dilihat di sini.
Gili Trawangan
Matahari bersinar cerah, barisan awan sesekali terlihat: cuaca yang sempurna untuk bermain di pantai. Perjalanan menyeberang ke Gili Trawangan kami tempuh dalam waktu 45 menit. Sepanjang perjalanan, Dek Abi menangis karena ingin menyusu. Sedih sih mendengar rengekannya, tapi entah mengapa Mas Catur melarangku menyusui Dek Abi di atas perahu, mungkin merasa tidak enak dengan teman-temannya yang lain. Gili Trawangan merupakan pulau terjauh dan terbesar di antara barisan tiga pulau selain Gili Meno dan Gili Air. Dibanding dua yang lain, ketinggian Gili Trawangan di atas permukaan laut cukup signifikan dan fasilitas pariwisatanya paling beragam. Dengan panjang 3 km dan lebar 2 km, pulau kecil ini berpopulasi 800 jiwa. Bagian paling padat penduduk adalah bagian timur pulau ini, di mana perahu dan speed boat dari Lombok banyak merapat.
Perjalanan menuju Gili Trawangan |
Sesampai di Gili Trawangan, aku dan Hanif langsung menukar pakaian dengan baju renang. Sesaat kami masih bingung akan mengisi waktu dengan kegiatan apa (ragam aktivitas wisata yang bisa dilakukan di Gili Trawangan bisa diintip di sini), sementara beberapa orang dari rombongan sedang bernegosiasi harga dengan penjual jasa glass-bottom boat. Sejak dulu aku ingin sekali melakukan snorkeling, maka hal itu yang pertama kali akan kami lakukan. Awalnya kami memutuskan untuk snorkeling di sekitar pantai saja. Peralatan snorkeling bisa diperoleh dengan mudah dari persewaan yang tersebar di pinggir pantai, biayanya kalau tidak salah sekitar Rp 25.000. Namun ternyata, spot koral yang menarik tidak berada di bibir pantai, melainkan di perairan antara Gili Trawangan dan Gili Meno. Jasa perahu yang ditawarkan sekitar Rp 650.000-700.000, terlalu mahal kalau cuma diisi oleh kami sekeluarga. Maka kami segera mengejar rombongan yang sedianya akan naik glass-bottom boat—untung belum berangkat—dan menumpang perahu tersebut untuk melakukan snorkeling. Ada tujuh orang dalam perahu yang bersiap akan menceburkan diri ke laut dengan peralatan snorkeling.
Setelah beberapa menit bertolak dari pantai, perahu berhenti di spot yang katanya memiliki keindahan pemandangan bawah laut. Kami sempat kecewa karena koral-koral itu tak seindah yang kami bayangkan, bahkan banyak yang sudah mati. Tapi beberapa jenis ikan yang berseliweran cukup membuat anak-anak di dalam perahu memekik riang. Aku segera memakai pelampung dan menceburkan diri dari arah belakang perahu. Sekedar info, aku belum pernah melakukan snorkeling sebelumnya, jadi aku tidak tahu bagaimana menggunakan snorkel, sekaligus belum bisa membayangkan snorkeling itu seperti apa. Meskipun bisa berenang, tak urung kepanikan melanda ketika badan ini sudah tercelup ke air sepenuhnya. Panik karena kaki menjejak-jejak tanpa bisa merasakan dasar, dan panik karena mulai menelan air laut dari alat snorkel yang tak terpasang sempurna. Kulihat tukang perahunya sedikit menahan tawa ketika melihat kepanikanku. Uh, memalukan sekali.
Di atas glass-bottom boat |
Tukang perahu itu jelas bukan pemandu atau instruktur selam. Salah satu dari mereka cuma memberi petunjuk pemakaian ala kadarnya. Lalu demi melihatku yang masih panik, dia menyuruh salah satu temannya untuk menjadi guide-ku dalam melakukan snorkeling. Setelah beradaptasi sejenak dengan kondisi badan terapung yang bergoyangan ke sana kemari karena ombak, aku membetulkan pemakaian snorkel dan beberapa kali berlatih bernapas dengan snorkel. Setelah itu aku merasa lebih mantap dan mulai mengayuh kaki dan tangan untuk menjauhi perahu menuju titik-titik yang diarahkan oleh guide. Alhamdulillah masker selam yang kupakai cukup bagus, jadi pas menempel ke wajah dan cukup kedap air melindungi mata dan hidung. Namun aku memilih untuk tidak menggunakan kaki katak, daripada nanti panik lagi karena belum terbiasa. Lagipula aku merasa lebih bebas bergerak bila kakiku polos, meskipun sebenarnya kaki katak (sirip selam) itu berfungsi untuk menambah daya dorong pada kaki. Sedikit informasi tentang apa itu snorkeling dan apa saja peralatannya, bisa dilihat di sini.
Snorkeling |
Tak berapa lama kemudian, Mas Catur dan teman-temannya menyusul. Satu demi satu mulai berceburan dari lambung perahu dan berenang kian kemari. Aku yang sudah keenakan snorkeling lalu menoleh ke belakang, rupanya aku berenang cukup jauh dari perahu. Perahu berhenti sekitar 30-45 menit menunggu orang-orang yang sedang snorkeling, sementara rombongan yang lain menikmati pemandangan ikan dan koral dari balik jendela kaca yang tertanam di dasar perahu. Setelah naik ke perahu, aku berjemur di atap perahu sepanjang perjalanan merapat kembali ke bibir pantai Gili Trawangan. Dan rupanya bukan hanya aku, beberapa orang dari rombongan juga mengalami mabuk laut. Aku turun dengan sempoyongan lalu langsung terduduk lemas di pasir sambil merasa mual. Olala..
Setelah itu kami menuju ke tempat di mana sebelumnya kami meninggalkan Dek Abi dan eyangnya bermain pasir. Rupanya mereka sudah tidak di sana, maka kami bersegera menuju Juku Marlin, restoran sederhana yang menjadi base camp rombongan. Setelah membersihkan diri, kami menyantap makan siang dengan menu khas Lombok: ayam taliwang dan plecing kangkung. Rasanya cukup standar, alias biasa-biasa saja. Sambil makan, aku mengedarkan pandangan ke sekeliling pantai. Banyak sekali turis bule di sini. Jalanan di sini sudah cukup bagus, bukan aspal tapi sudah diperkeras dengan semen. Kendaraan bermotor dilarang keras beroperasi. Sebagai gantinya, alat transportasi yang digunakan adalah sepeda dan cidomo. Kanan kiri jalan utama dipenuhi dengan restoran yang berjejer. Banyak di antaranya menawarkan menu western. Aku melihat ada kedai es krim (home-made gelato) yang membuatku mencecap air liur—es krim adalah sesuatu yang tepat untuk siang yang panas seperti saat itu, sayangnya aku tak sempat mencicipi.
Setelah makan siang, Mas Catur dan anak-anak mengelilingi pulau dengan cidomo. Ketika aku berjalan menuju masjid, sekali lagi aku melayangkan pandangan ke sekeliling. Ada banyak persewaan alat snorkeling, alat diving, juga persewaan sepeda yang bisa dimanfaatkan untuk menghabiskan waktu. Aku juga melihat beberapa penginapan yang tampak cozy. Sepertinya asyik juga menginap dan merasakan suasana malam di pulau ini. Masjid yang dibangun di Gili Trawangan ini rupanya cukup besar. Bangunannya baru dan pembangunannya belum selesai sempurna. Meskipun demikian, ruangan shalat sudah bisa dipakai. Ketika aku leyeh-leyeh sebentar seusai shalat, eyangnya anak-anak ternyata datang memanggil untuk bersiap pulang. Astaga, cepat sekali waktu berlalu, aku bahkan belum berkesempatan jalan-jalan keliling pulau. Ya beginilah minusnya ikut rombongan, segala sesuatu harus tunduk pada itinerary, tak bisa jalan suka-suka :(
Pemandangan di Gili Trawangan |
Perjalanan menyeberang kembali ke Pulau Lombok berjalan lebih lambat daripada ketika kami berangkat, karena hari sudah sore dan ombak mulai besar. Seringkali air ombak menciprat masuk perahu dan membasahi penumpang yang duduk di depan. Perahu terayun-ayun cukup hebat hingga membuat Dek Abi ketakutan. Kali ini dia tidak menangis kencang, hanya sedikit memekik dalam pelukan. Rupanya perjalanan ini lumayan menegangkan baginya. Setelah tiba kembali di pelabuhan Teluk Kodek, aku mengikuti langkah Mas Catur menuju sebuah warung yang ramai dipenuhi tukang ojek. Sambil menunggu perahu yang satunya merapat, kami memesan mie instan, teh manis hangat, kopi, serta mengudap kacang goreng dan keripik.
Bukit Malimbu
Dalam perjalanan kembali ke Senggigi, kami berhenti di puncak Bukit Malimbu. Di puncak bukit kita bisa menikmati indahnya pemandangan laut dan pantai dari atas, karena di sinilah spot atau angle terbaik untuk menikmati Pantai Malimbu, Pantai Satangi, Gunung Agung, tiga gili di seberang lautan, dan momen matahari terbenam. Spot yang sering dijadikan sebagai stop over ini merupakan sebuah tikungan pinggir jalan yang berada di puncak bukit yang langsung menghadap ke laut, sekitar 15 menit dari kawasan Senggigi. Tepi bukit ini jurangnya cukup dalam, sehingga terdapat pagar yang menyerupai pagar jembatan yang dibangun untuk keselamatan pengunjung. Di sekitar situ juga terdapat area parkir yang cukup memadai untuk beberapa kendaraan.
Keindahan Pantai Malimbu yang berkarang dengan ombaknya yang bergulung-gulung dan hamparan pasir putih yang terbentang di hadapan akan terlihat indah dari atas bukit. Wisatawan banyak yang berdecak kagum ketika berkunjung ke tempat ini. Pada pagi hari, pemandangan pantai yang memantulkan cahaya matahari akan terlihat jelas, menyebabkan birunya laut Malimbu semakin terang dan menarik. Pada sore hari, ada pemandangan sunset yang menawan yang menyebabkan jumlah pengunjung berada pada tingkat tertingginya, sehingga tidak jarang orang sampai rela parkir di bahu jalan. Setelah turun dari bus, aku, Mas Catur, dan Hanif segera menuju ke pagar jembatan. Garis Pantai Senggigi yang panjang terlihat jelas dengan mata telanjang. Lautan biru dengan gradasi warna pun terlihat cantik. Sengatan cahaya matahari yang terik itu tak mampu mengurungkan niat kami untuk panas-panasan meresapi kecantikan Bukit Malimbu dan berfoto-foto sejenak.
Berfoto di puncak Bukit Malimbu |
Tak berapa lama kemudian, bus kembali melaju menuju Ampenan. Di perjalanan kami melewati Pura Batu Bolong yang terletak di wilayah Senggigi, sekitar 12 kilometer dari Kota Mataram. Arus lalu lintas yang melewati kompleks pura di pinggir pantai ini agak tersendat karena saat itu masyarakat Hindu di wilayah Lombok Barat sedang mengadakan peribadatan di situ. Pura ini disebut Batu Bolong karena terletak di atas batu hitam yang memiliki lubang di tengah. Dengan posisinya yang menjorok ke laut, Pura Batu Bolong memiliki suasana keindahan tersendiri. Tempat suci umat Hindu ini sekilas akan mengingatkan kita pada Pura Tanah Lot yang ada di Bali, bangunan ibadah yang terletak di bibir pantai dengan posisi menjorok ke laut. Pura yang berhadapan langsung dengan Selat Lombok dan Gunung Agung Bali ini juga memiliki pemandangan sunset yang indah.
Keberadaan Pura Batu Bolong secara langsung memiliki makna tradisi yang bersentuhan dengan kehidupan masyarakat Hindu di Lombok yang diwariskan oleh budaya Bali. Walaupun ada kedekatan secara historis-geografis, namun masyarakat Hindu setempat tetap melekatkan makna tradisi di dalamnya. Kemiripan makna tradisi dengan yang ada di Bali terlihat dari jenis-jenis pelinggih yang dibangun di pura ini. Uniknya, saat lebaran tiba, umat muslim di Lombok akan datang beramai-ramai ke pantai di depan pura. Mereka beramai-ramai menikmati opor ayam, ketupat, ayam taliwang, serta serundeng. Inilah bukti nyata kerukunan antara umat Islam dan Hindu yang menunjukkan bahwa mereka dapat hidup berdampingan secara harmonis. (sumber dari sini)
Pura Batu Bolong |
Pemandu wisata kemudian menawarkan dua opsi pemberhentian, antara tempat penjualan mutiara atau tempat penjualan oleh-oleh. Mayoritas rombongan sontak memilih tempat penjualan oleh-oleh hahaha. Mungkin mereka sudah bosan dengan penjaja mutiara yang banyak mereka lihat dua hari terakhir ini, atau memang ingin memborong oleh-oleh untuk sanak-saudara. Pusat oleh-oleh yang kami masuki tak terlalu besar, hanya seluas satu unit ruko, namun letaknya sangat strategis di pinggir jalan utama Ampenan yang menghubungkan Senggigi dengan Mataram. Oleh-oleh yang dijual berupa makanan khas Lombok, beberapa di antaranya sebenarnya ada juga di daerah lain dengan nama yang berbeda. Aku hanya tertarik membeli makanan yang belum pernah aku jumpai, di antaranya adalah keripik ikan hiu yang belakangan setelah dimakan, terasa alot sekali hahaha.
Makan Malam di Warung Menega
Setelah puas membeli oleh-oleh, bus melaju menuju tempat kami akan makan malam di pinggir Pantai Batu Layar. Tempat itu bernama Warung Menega, yang merupakan cabang dari Kafe Menega yang ada di Jimbaran, Bali, yang sempat terkena ledakan bom Bali II. Warung Menega terletak di Jl. Raya Senggigi nomor 6, Lombok Barat.
Ketika kami masuk, kami diarahkan berjalan menuju ke bagian belakang restoran. Meja dan kursi yang disiapkan untuk rombongan kami terletak di bibir pantai, di atas hamparan pasir pantai yang lembut. Saat itu menjelang maghrib, lilin-lilin kecil di atas meja sudah dinyalakan. Hmm, aku langsung membayangkan candle light dinner yang romantis. Langit tampak cerah, angin bertiup tak terlalu kencang, suasana yang pas untuk makan malam di luar ruangan.
Setelah memilih kursi dan meletakkan tas di sana, aku segera menyusul Hanif yang sudah menghambur ke garis air begitu kami datang tadi. Dek Abi digandeng ayahnya sedang menyusuri pasir yang menurun landai ke arah tepi pantai. Aku tercengang. Sunset yang menjelang saat itu terlihat indah sekali. Sambil menikmati suasana, aku mengamati sekeliling: Hanif yang kembali mengotori bajunya dengan pasir dan air, Dek Abi yang takut-takut terkena ombak, serta mentari jingga yang bersiap menyusup ke peraduan di penghujung cakrawala. Ah indahnya.
Sunset dan suasana di Warung Menega |
Setelah membantu Hanif membasuh diri, aku menuju meja karena aroma masakan sudah menggoda iman. Konon kabarnya aneka seafood di sini dipilih langsung sebelum diolah, tapi karena kami menggunakan jasa agen perjalanan, pemilihan menu sudah dilakukan oleh mereka. Seafood yang dipesan dimasak di atas tungku yang terbuat dari batok kelapa, dibakar dengan sabut kelapa, sehingga memberikan sensasi aroma yang berbeda dengan seafood kebanyakan. Kenikmatan seafood bakar Menega memang disebut-sebut memiliki nilai di atas rata-rata.
Seafood mentah yang disediakan untuk dipilih pengunjung semuanya dalam keadaan segar. Lobster, kerang, cumi, dan udang semuanya masih hidup sampai sesaat sebelum diolah, sehingga memiliki cita rasa manis dan segar, tanpa bau amis. Harga yang diberikan sesuai dengan berat seafood yang dipesan. Layaknya restoran di Lombok pada umumnya, Menega juga menyajikan plecing kangkung sebagai sayur andalan.
Setiap orang dari rombongan mendapatkan sepiring plecing kangkung dan sepiring seafood bakar yang terdiri atas ikan, sate cumi, dan udang galah. Nasinya diambil dari bakul, satu bakul untuk 2-3 orang. Yang paling menarik dari Warung Menega adalah sambalnya yang luar biasa nikmat. Plecing kangkungnya bahkan yang terenak di antara beberapa plecing kangkung yang aku makan beberapa hari terakhir. Seafood bakarnya juga nikmat sekali: perfectly succulent, smoky, sweet and spicy at the same time, kata salah satu blog perjalanan.
Menu di Warung Menega. Gambar didapat dari sini dan sini. |
Selesai makan, rombongan tidak langsung pulang. Mas Catur dan teman-teman seangkatannya asyik mengenang masa lalu, sementara aku dan anak-anak bermain-main di lingkungan restoran. Aku sempat pula menengok dagangan yang digelar oleh penjaja mutiara di sekitar restoran, tapi tidak ada yang menarik hatiku. Khawatir palsu juga sih, mengingat harganya jauh lebih murah dibanding perhiasan mutiara yang aku beli di toko pada hari sebelumnya. Setelah mengobrol hampir tiga jam, Pak Masren—pemandu wisata kami—mengingatkan kami untuk segera bersiap menuju hotel untuk beristirahat. Keesokan hari sebelum kami pergi ke bandara, agen perjalanan berencana akan membawa kami mengunjungi Mataram untuk city tour. Oleh sebab itu, kami sebaiknya segera kembali ke hotel dan tidak tidur terlalu malam.
Dengan perut kenyang, kami pun kembali ke hotel. Namun aku tak bisa segera leyeh-leyeh di kasur. Baju kotor yang basah hari itu ada banyak sekali. Semuanya berlumur pasir pantai yang meskipun dibilas berulang kali, tetap saja bandel menempel. Setelah membilas baju-baju itu di kamar mandi hotel, aku menjemurnya dengan cara menyampir-nyampirkan di pagar balkon kamar hotel. Untunglah balkon kamar kami menghadap ke taman yang sepi, jadi aku tak perlu khawatir bakal ada orang yang melihat jemuran jorok itu. Berasa kumuh karena disampir-sampirkan di pagar, hihihi.
...bersambung...
Catatan: Foto-foto lengkap ada di sini (di-set “friends only”).
Baca juga:
No comments:
Post a Comment