Dialog I
Perempuan: “Pengen makan seafood…”
Laki-laki: “Ah, tapi aku nggak suka seafood tuh.”
Perempuan: “Haa? Nggak suka seafood? Pasti ada yang salah deh, wong makanan enak gitu. Seafood tuh makanan paling enak, kesukaanku banget.”
Laki-laki: “Ya terserah. Kalau aku, nggak suka.”
Dialog II
Laki-laki: “Belajar yang rajin, dong. Udah susah-susah masuk elektro, nggak belajar yang bener.”
Perempuan: “Maleeeessss... Pengen nulis, pengen baca. Kayaknya aku lebih cocok ke sastra deh.”
Laki-laki: “Sastra? Nggak ada asyiknya, tau.”
Perempuan: “Yeee... sastra itu menyenangkan. Bisa bikin halus perasaan. Bisa berekspresi tentang kehidupan.”
Laki-laki: “Oh ya? Ya udah, kamu aja yang baca sastra. Biar perasaanmu halus, biar ntar bisa nasehatin aku.”
Perempuan: “Coba baca sastra deh.”
Laki-laki: “Ogah. Lebih asyik belajar elektro.”
Dialog III
Perempuan: “Apa asyiknya sih belajar elektro? Aku nggak bisa nemu implementasinya dalam dunia real.”
Laki-laki: “Lho, buat apa nyari implementasi segala? Belajar ya belajar aja.”
Perempuan: “Ya nggak gitu. Kita harus tahu dong, buat apa kita belajar kayak gituan. Moral of the story-nya apa. Implementasinya kayak gimana.”
Laki-laki: “Ah, alesan aja. Belajar ya belajar. Dapet nilai bagus. Selesai.”
Perempuan: “Nah, ini dia… pragmatis banget sih kamu.”
Dialog IV
Perempuan: “Haa? Selama kuliah kamu nggak aktif di mana-mana?”
Laki-laki: “Nggak. Nggak seneng organisasi.”
Perempuan: “Lho, bukannya masa kuliah tuh masa paling menyenangkan untuk aktif terlibat di mana-mana? Buat kenal banyak orang sebanyak-banyaknya?”
Laki-laki: “Nggak juga. Aku toh nggak ada masalah nggak kayak gitu.”
Perempuan: “Ck ck ck. Kok bisa ya, nggak ikutan apa-apa. Pasti kamu sibuk belajar ya? Dasar anak pintar.”
Laki-laki: “Ah, nggak juga. Aku juga sering main kok.”
Dialog V
Laki-laki: “Haa? Kamu dulu sering ikut demo?”
Perempuan: “Iya. Sampe pernah ke bundaran HI segala.”
Laki-laki: “Ck ck ck. Buat apa sih ikut gituan? Kurang kerjaan.”
Perempuan: “Ya itu kan salah satu sisi dinamika kampus.”
Laki-laki: “Dinamika kampus apaan. Di ITB aja, jumlah yang ikut demo dikit banget. Kalau ada demo, yang banyak malah yang nonton.”
Perempuan: “Wah, kamu tipikal anak ITB banget. Apatis. Nggak punya idealisme.”
Laki-laki: “Kok bisa?” (nggak terima dibilang nggak punya idealisme)
Perempuan: “Pengen makan seafood…”
Laki-laki: “Ah, tapi aku nggak suka seafood tuh.”
Perempuan: “Haa? Nggak suka seafood? Pasti ada yang salah deh, wong makanan enak gitu. Seafood tuh makanan paling enak, kesukaanku banget.”
Laki-laki: “Ya terserah. Kalau aku, nggak suka.”
Dialog II
Laki-laki: “Belajar yang rajin, dong. Udah susah-susah masuk elektro, nggak belajar yang bener.”
Perempuan: “Maleeeessss... Pengen nulis, pengen baca. Kayaknya aku lebih cocok ke sastra deh.”
Laki-laki: “Sastra? Nggak ada asyiknya, tau.”
Perempuan: “Yeee... sastra itu menyenangkan. Bisa bikin halus perasaan. Bisa berekspresi tentang kehidupan.”
Laki-laki: “Oh ya? Ya udah, kamu aja yang baca sastra. Biar perasaanmu halus, biar ntar bisa nasehatin aku.”
Perempuan: “Coba baca sastra deh.”
Laki-laki: “Ogah. Lebih asyik belajar elektro.”
Dialog III
Perempuan: “Apa asyiknya sih belajar elektro? Aku nggak bisa nemu implementasinya dalam dunia real.”
Laki-laki: “Lho, buat apa nyari implementasi segala? Belajar ya belajar aja.”
Perempuan: “Ya nggak gitu. Kita harus tahu dong, buat apa kita belajar kayak gituan. Moral of the story-nya apa. Implementasinya kayak gimana.”
Laki-laki: “Ah, alesan aja. Belajar ya belajar. Dapet nilai bagus. Selesai.”
Perempuan: “Nah, ini dia… pragmatis banget sih kamu.”
Dialog IV
Perempuan: “Haa? Selama kuliah kamu nggak aktif di mana-mana?”
Laki-laki: “Nggak. Nggak seneng organisasi.”
Perempuan: “Lho, bukannya masa kuliah tuh masa paling menyenangkan untuk aktif terlibat di mana-mana? Buat kenal banyak orang sebanyak-banyaknya?”
Laki-laki: “Nggak juga. Aku toh nggak ada masalah nggak kayak gitu.”
Perempuan: “Ck ck ck. Kok bisa ya, nggak ikutan apa-apa. Pasti kamu sibuk belajar ya? Dasar anak pintar.”
Laki-laki: “Ah, nggak juga. Aku juga sering main kok.”
Dialog V
Laki-laki: “Haa? Kamu dulu sering ikut demo?”
Perempuan: “Iya. Sampe pernah ke bundaran HI segala.”
Laki-laki: “Ck ck ck. Buat apa sih ikut gituan? Kurang kerjaan.”
Perempuan: “Ya itu kan salah satu sisi dinamika kampus.”
Laki-laki: “Dinamika kampus apaan. Di ITB aja, jumlah yang ikut demo dikit banget. Kalau ada demo, yang banyak malah yang nonton.”
Perempuan: “Wah, kamu tipikal anak ITB banget. Apatis. Nggak punya idealisme.”
Laki-laki: “Kok bisa?” (nggak terima dibilang nggak punya idealisme)
Tuhan memang berhak menentukan skenario-Nya sendiri. Meskipun tampak begitu aneh, yakinlah bahwa semua perbedaan akan mencair bila kita memiliki satu ikatan. Ketika kita menemukan orang yang tepat, (entah bagaimana) kita pasti akan tahu…
Ehm... satu ikatan. Pasti tahu... ada ilmu untuk mengetahuinya ngga? Aku pengen belajar dong:D
ReplyDelete