Sampai sekarang, selalu ada saja ketakutan bila berbicara tentang hidup. Kenapa ya? Hmm, mungkin karena sampai detik ini aku merasa masih menjalani someone else’s life.
Membaca Ilma bercerita tentang visi hidupnya yang tampak sangat jelas, aku jadi mikir sendiri. Betapa tertata rapi hidupnya dengan target-target yang riil, konkret, dan terencana. Dia tahu dengan pasti ke mana arah hidupnya, apa yang dia mau, dan apa yang harus dia lakukan.
Lalu membaca tentang launching novel perdananya Adenita, aku juga jadi mikir sendiri. Keren banget ya, udah bisa menghasilkan karya yang berarti.
Sedangkan aku? Hahaha *ketawa sarkastis*. Dulu aku pernah punya buku impian, target, dan keinginan yang menurutku lumayan ideal. Menikah dengan seseorang yang meskipun sangat mencintaiku namun ternyata visinya beda, membuatku memutar haluan. Kini tak jelas lagi ke mana arah hidupku, apa yang aku mau, dan apa yang harus aku lakukan. Meraba-raba lagi, memulai dari awal.
Ya ya ya, aku tahu ini bukan salah siapapun. Aku-lah yang sepenuhnya bertanggung jawab terhadap diriku sendiri. Ada filosofi dalam The Alchemist *aduh, ke mana ya perginya bukuku ini?* yang sampai sekarang masih terus kuingat: bila kau sangat menginginkan sesuatu, seluruh alam semesta akan membantumu meraihnya, kira-kira begitu bunyinya.
Lalu ada juga filosofi dari The Secret: bila kau sepenuh hati berusaha meraih impian namun gagal, mungkin impian itu bukan yang terbaik bagimu; putar haluan dan cari impian lain. Dari dua filosofi itu aku jadi mikir: jangan-jangan buku impianku berisi impian-impian yang semestinya memang bukan tercipta untukku? Jangan-jangan mimpi-mimpiku terlalu absurd dan sama sekali tidak cocok untukku?
Entahlah, berbicara tentang hidup selalu membuatku bingung. Jadi kayak remaja lagi, berusaha menemukan jati diri *cieh bahasanya*. Udah umur segini, udah punya buntut satu, masih saja bingung mau ke mana.
Ya, perasaan dulu aku udah tahu mau jadi apa dan kenapa, tapi kok mentok-mentok saja ya. Kok arah angin selalu meniupku jauh-jauh dari jalan yang tadinya kupilih ya.
Positive thinking saja lah. Ke mana pun itu, pasti itu yang terbaik yang Allah berikan buat aku. Dan aku nggak pernah ingin menyesali hidupku. It makes me just the way I am. Never regret. If it was good, then it was wonderful. If it was bad, then it was experience.
Membaca Ilma bercerita tentang visi hidupnya yang tampak sangat jelas, aku jadi mikir sendiri. Betapa tertata rapi hidupnya dengan target-target yang riil, konkret, dan terencana. Dia tahu dengan pasti ke mana arah hidupnya, apa yang dia mau, dan apa yang harus dia lakukan.
Lalu membaca tentang launching novel perdananya Adenita, aku juga jadi mikir sendiri. Keren banget ya, udah bisa menghasilkan karya yang berarti.
Sedangkan aku? Hahaha *ketawa sarkastis*. Dulu aku pernah punya buku impian, target, dan keinginan yang menurutku lumayan ideal. Menikah dengan seseorang yang meskipun sangat mencintaiku namun ternyata visinya beda, membuatku memutar haluan. Kini tak jelas lagi ke mana arah hidupku, apa yang aku mau, dan apa yang harus aku lakukan. Meraba-raba lagi, memulai dari awal.
”...sayalah yang bertanggung jawab atas hidup saya dan semua yang terjadi pada saya, sehingga kesalahan bukan murni milik mereka.”
(tulis Ilma di sini)
Ya ya ya, aku tahu ini bukan salah siapapun. Aku-lah yang sepenuhnya bertanggung jawab terhadap diriku sendiri. Ada filosofi dalam The Alchemist *aduh, ke mana ya perginya bukuku ini?* yang sampai sekarang masih terus kuingat: bila kau sangat menginginkan sesuatu, seluruh alam semesta akan membantumu meraihnya, kira-kira begitu bunyinya.
Lalu ada juga filosofi dari The Secret: bila kau sepenuh hati berusaha meraih impian namun gagal, mungkin impian itu bukan yang terbaik bagimu; putar haluan dan cari impian lain. Dari dua filosofi itu aku jadi mikir: jangan-jangan buku impianku berisi impian-impian yang semestinya memang bukan tercipta untukku? Jangan-jangan mimpi-mimpiku terlalu absurd dan sama sekali tidak cocok untukku?
Entahlah, berbicara tentang hidup selalu membuatku bingung. Jadi kayak remaja lagi, berusaha menemukan jati diri *cieh bahasanya*. Udah umur segini, udah punya buntut satu, masih saja bingung mau ke mana.
”...yg penting kita tau kenapa kita mau jadi apa...”
(dikutip dari sini)
Ya, perasaan dulu aku udah tahu mau jadi apa dan kenapa, tapi kok mentok-mentok saja ya. Kok arah angin selalu meniupku jauh-jauh dari jalan yang tadinya kupilih ya.
Positive thinking saja lah. Ke mana pun itu, pasti itu yang terbaik yang Allah berikan buat aku. Dan aku nggak pernah ingin menyesali hidupku. It makes me just the way I am. Never regret. If it was good, then it was wonderful. If it was bad, then it was experience.
No comments:
Post a Comment