Dua orang asisten rumah tangga di rumahku adalah perempuan-perempuan perkasa. Ada kesamaan yang jelas di antara mereka: sama-sama jadi tulang punggung keluarga. Suami-suami mereka kerjanya enggak jelas alias serabutan. Kadang kerja, kadang enggak. Terpaksa mereka ikut mencari nafkah agar asap dapur tetap mengepul. Kalimat ”ikut mencari nafkah” sebenarnya kurang tepat, karena justru dari mereka-lah pemasukan utama berasal.
Hmm, aku jadi mikir. Beruntung sekali aku punya suami yang punya penghasilan tetap, dan alhamdulillah lebih dari cukup untuk kebutuhan sehari-hari. Memang aku cenderung sepakat bila perempuan sebaiknya di rumah saja, tapi kalau dihadapkan pada realita seperti ini.. ya dilema juga sih.
Aku kurang tahu, suami-suami mereka yang kerjanya serabutan itu akibat keengganan atau akibat ketidakberuntungan. Kadang suka ada perasaan gemes ya kalau melihat laki-laki yang nggak mampu menghidupi keluarga. Apalagi kalau memang si lelaki adalah tipe orang yang malas dan nggak bertanggung jawab alias sa’enake dhewe. Masih mending kalau dia nggak mampu menghidupi keluarga karena bener-bener susah cari kerja misalnya. Wallahu’alam, aku nggak berhak men-judge.
Ada satu lagi perempuan perkasa yang atas kehendak Allah aku dipertemukan dengannya. Beliau adalah penjaja jamu keliling yang tiap hari lewat di depan rumah kontrakanku. Udah satu setengah bulan ini aku jadi langganannya. Dan lewat obrolan-obrolan ringan, jalinan silaturahim kami terbentuk.
Nama beliau Bu Ratmi, asli Wonogiri. Di sini dia tinggal dengan anak laki-lakinya, sementara suaminya tetap tinggal di kampung sebagai petani dan peternak kambing. Beliau mengaku hidup dengan sangat pas-pasan dari hasil jualan jamunya, maka dengan setia beliau berkeliling tiap hari, tak peduli hari hujan atau panas, dalam keadaan sehat maupun sakit. Yang membuatku tercengang dan kagum, anak laki-lakinya ini mahasiswa ITB lho. Bukan mahasiswa sembarangan kukira, karena ia kuliah dengan beasiswa dan IP yang tak pernah kurang dari 3 *bahkan biasanya lebih dari 3,5*.
Alhamdulillah karena Allah berkenan membuat hidupku beririsan dengan hidup tiga perempuan perkasa ini. Lewat mereka, aku belajar banyak tentang makna keikhlasan, sekaligus perjuangan dan kerja keras menghadapi hidup. Yang paling penting, lewat mereka, aku belajar banyak tentang rasa bersyukur dan kenikmatan berbagi.
Hmm, aku jadi mikir. Beruntung sekali aku punya suami yang punya penghasilan tetap, dan alhamdulillah lebih dari cukup untuk kebutuhan sehari-hari. Memang aku cenderung sepakat bila perempuan sebaiknya di rumah saja, tapi kalau dihadapkan pada realita seperti ini.. ya dilema juga sih.
Aku kurang tahu, suami-suami mereka yang kerjanya serabutan itu akibat keengganan atau akibat ketidakberuntungan. Kadang suka ada perasaan gemes ya kalau melihat laki-laki yang nggak mampu menghidupi keluarga. Apalagi kalau memang si lelaki adalah tipe orang yang malas dan nggak bertanggung jawab alias sa’enake dhewe. Masih mending kalau dia nggak mampu menghidupi keluarga karena bener-bener susah cari kerja misalnya. Wallahu’alam, aku nggak berhak men-judge.
Ada satu lagi perempuan perkasa yang atas kehendak Allah aku dipertemukan dengannya. Beliau adalah penjaja jamu keliling yang tiap hari lewat di depan rumah kontrakanku. Udah satu setengah bulan ini aku jadi langganannya. Dan lewat obrolan-obrolan ringan, jalinan silaturahim kami terbentuk.
Nama beliau Bu Ratmi, asli Wonogiri. Di sini dia tinggal dengan anak laki-lakinya, sementara suaminya tetap tinggal di kampung sebagai petani dan peternak kambing. Beliau mengaku hidup dengan sangat pas-pasan dari hasil jualan jamunya, maka dengan setia beliau berkeliling tiap hari, tak peduli hari hujan atau panas, dalam keadaan sehat maupun sakit. Yang membuatku tercengang dan kagum, anak laki-lakinya ini mahasiswa ITB lho. Bukan mahasiswa sembarangan kukira, karena ia kuliah dengan beasiswa dan IP yang tak pernah kurang dari 3 *bahkan biasanya lebih dari 3,5*.
Alhamdulillah karena Allah berkenan membuat hidupku beririsan dengan hidup tiga perempuan perkasa ini. Lewat mereka, aku belajar banyak tentang makna keikhlasan, sekaligus perjuangan dan kerja keras menghadapi hidup. Yang paling penting, lewat mereka, aku belajar banyak tentang rasa bersyukur dan kenikmatan berbagi.
memang banyak perempuan perkasa di negeri ini, jadi teringat saat menonton acara Kick Andy seorang ibu bekerja dengan menjadi supir bis antar propinsi dan seorang ibu yang menjadi penambal ban dan tukang ojek untuk menghidupi keluarganya. Biasanya motivasi terbesar adalah anaknya. :)
ReplyDelete