Sudah lama aku terusik pada kenyataan seringnya para pelayan restoran atau kafe salah menempatkan gelas teh dan cangkir kopi di hadapan aku dan suamiku. Suamiku penggemar teh; aku penyuka kopi. Mereka–para pelayan itu–hampir selalu meletakkan cangkir kopi di hadapan suamiku dan gelas teh di hadapanku. Aku jadi berpikir: apakah secangkir kopi mengandung bias gender?
Secara umum konstruksi sosial memang cenderung menampilkan kopi sebagai minuman macho. Namun, lama-kelamaan hal itu runtuh seiring perkembangan zaman dan gaya hidup yang menyertainya. Saat ini kopi lazim dikonsumsi oleh berbagai kalangan, tak peduli apa pun gendernya. Bahkan orang yang bukan penikmat kopi sejati pun kini dapat menikmati setitik sensasi kopi karena secara kreatif, kopi telah dibuat dalam berbagai varian yang lebih ringan kadar kafeinnya.
Bicara soal kopi dan kesetaraan, pada zaman kolonial silam, kopi memang menjadi komoditas yang hanya bisa dinikmati oleh kaum elite. Masyarakat yang menanam dan memetiknya justru tidak dapat menikmatinya karena kelas sosial yang termarginalkan. Namun, kini kopi dapat dinikmati oleh semua kalangan dalam berbagai situasi dan keadaan seperti kata Paox Iben Mudaffar, “Di hadapan kopi, kita semua sama.”
Aku jadi teringat lawatanku ke Belitung beberapa tahun yang lalu. Saat itu aku menyesap kopi Manggar sambil mendengarkan pemandu wisata berkisah. Manggar adalah sebuah kecamatan di Kabupaten Belitung Timur yang dijuluki dengan kota seribu warung kopi. Di tempat itu warung kopi bertebaran bak cendawan di musim hujan. Sejak dulu masyarakat Belitung memang gemar minum kopi. Bagi mereka, kopi adalah social drink dan kegiatan ngopi merupakan ajang berinteraksi secara sosial sambil membicarakan apa saja, jauh sebelum coffee shop modern mulai merebak di kota-kota besar.
Kopi Manggar dan kue talam yang kunikmati saat itu |
Aku rasa bukan hanya di Manggar hal seperti itu jamak terjadi. Saat ini kopi menjadi minuman paling egaliter di muka bumi. Semua orang menikmatinya, mulai dari pekerja rendahan hingga pimpinan perusahaan dan artis terkenal. Yah, meskipun sebenarnya kopi juga punya kelas-kelas berdasarkan kualitasnya–yang tentu berpengaruh terhadap harga–kita tak bisa menafikan kenyataan bahwa kopi adalah minuman yang sangat populer dinikmati dalam suasana kekeluargaan dan persahabatan lewat aktivitas ngopi bareng.
Semangat kesetaraan yang diusung oleh kopi ternyata tidak hanya sebatas pada kalangan yang mengonsumsinya. Di balik industri kopi yang mendunia, ada semangat kesetaraan gender dalam pengolahan dan pembuatannya. Sebut saja City Girl Coffee Co. yang didirikan oleh Alyza Bohbot di Amerika Serikat. City Girl Coffee Co. hanya melibatkan perempuan dalam seluruh pengelolaan kopinya. Di ranah lokal, ada Intan Westlake yang mendirikan Java Mountain Cafe dengan misi untuk mengangkat petani kopi perempuan. Pembangunan kesetaraan gender melalui pemberdayaan perempuan secara ekonomi juga dilakukan oleh Kelompok Wanita Tani (KWT) Mekar Arum di Sumedang yang mewadahi anggota perempuan yang bergerak di bidang pertanian dan pengolahan kopi.
Salah satu contoh lain yang erat kaitannya dengan kopi dan kesetaraan yang membuat hatiku hangat adalah semangat yang dibawa oleh Putri Santoso ketika ia mendirikan Kopi Tuli. Ia adalah seorang penyandang disabilitas sejak usia balita yang kerap mengalami diskriminasi ketika mencari pekerjaan. Bersama dua temannya yang juga sama-sama penyandang disabilitas, ia mendirikan Kopi Tuli dengan prinsip bahwa setiap kaum disabilitas harus memiliki kesetaraan kesempatan dalam memperoleh pekerjaan. Kini warung kopi yang semua pekerjanya memiliki keterbatasan pendengaran itu telah memiliki beberapa cabang di Depok dan Jakarta.
Kembali ke pertanyaanku di awal tulisan ini: apakah secangkir kopi mengandung bias gender? Hmm, aku rasa para pelayan yang salah menempatkan cangkir kopi itu harus membaca tulisanku ini, hahaha.
No comments:
Post a Comment