Petang ini ketika aku menutup pintu pagar, kudapati beranda kost masih gelap. Adzan maghrib sudah berkumandang sebelum aku memacu motor kencang-kencang di jalanan tadi. Sedikit terlambat pulang ke kost karena urusan bisnis. Di tangan ada seplastik yoghurt dingin dan sepotong ayam goreng crispy yang menanti untuk disantap.
Langkah tergesaku urung dilanjutkan, saat aku melihat kelip samar seekor kunang-kunang di pojok beranda kost. Aku tertegun. Kunang-kunang di daerah pemukiman padat seperti ini? Jarang sekali... Seketika ingatanku melayang ke masa kanak-kanak, ketika aku dan teman-teman menghabiskan waktu bermain dengan berburu kunang-kunang, kepik, kecebong, atau sekedar memetik bunga. Aktivitas yang wajar mengingat tempat tinggalku waktu itu masih dikelilingi oleh banyak lahan kosong dan kebun-kebun terlantar.
Perlahan kuhampiri kunang-kunang itu. Hanya seekor. Tampak kesepian dengan kelip samarnya yang makin menghilang seusai aku menyalakan lampu beranda. Aku tak bisa berlama-lama memandanginya. Aku belum shalat maghrib. Aku beranjak, tapi aku tahu ia akan kembali berkelip setelah kutinggalkan. Lalu ia akan terbang kembali dengan penuh suka cita.
Malam ini, ditemani denting piano dari winamp, aku teringat pada si kunang-kunang. Usai malam-malam panjang berkemul gundah dan resah yang membuatku terbangun tiap dua atau tiga jam sekali, aku kembali dirundung air mata. Seperti ini rasanya memiliki perasaan yang sukar dilukiskan. Benar-benar merindui damai.
Aku seperti melihat diriku pada si kunang-kunang. Sendirian, kesepian, dan berkelip samar. Cahaya lemahnya mengingatkanku pada harapanku yang senantiasa memudar. Butuh lebih dari sekedar keyakinan untuk mengembalikan cemerlangnya. Butuh lebih dari sekedar bahagia untuk mengusir kehampaan yang menyesakkan dada.
Malam ini, ada banyak cahaya harapan yang kutiupkan ke udara. Berharap Sang Maha meluluskannya untuk memberi kedamaian bagi hati ini. Hingga pada suatu hari, pada suatu masa, aku dapat melihat cemerlangnya harapan-harapanku beterbangan suka cita bagai gerombolan kunang-kunang malam hari yang biasa kulihat pada masa kanakku.
Hingga tak lagi hampa, tak lagi sendiri, tak lagi sepi, dan tak lagi samar...
Langkah tergesaku urung dilanjutkan, saat aku melihat kelip samar seekor kunang-kunang di pojok beranda kost. Aku tertegun. Kunang-kunang di daerah pemukiman padat seperti ini? Jarang sekali... Seketika ingatanku melayang ke masa kanak-kanak, ketika aku dan teman-teman menghabiskan waktu bermain dengan berburu kunang-kunang, kepik, kecebong, atau sekedar memetik bunga. Aktivitas yang wajar mengingat tempat tinggalku waktu itu masih dikelilingi oleh banyak lahan kosong dan kebun-kebun terlantar.
Perlahan kuhampiri kunang-kunang itu. Hanya seekor. Tampak kesepian dengan kelip samarnya yang makin menghilang seusai aku menyalakan lampu beranda. Aku tak bisa berlama-lama memandanginya. Aku belum shalat maghrib. Aku beranjak, tapi aku tahu ia akan kembali berkelip setelah kutinggalkan. Lalu ia akan terbang kembali dengan penuh suka cita.
Malam ini, ditemani denting piano dari winamp, aku teringat pada si kunang-kunang. Usai malam-malam panjang berkemul gundah dan resah yang membuatku terbangun tiap dua atau tiga jam sekali, aku kembali dirundung air mata. Seperti ini rasanya memiliki perasaan yang sukar dilukiskan. Benar-benar merindui damai.
Aku seperti melihat diriku pada si kunang-kunang. Sendirian, kesepian, dan berkelip samar. Cahaya lemahnya mengingatkanku pada harapanku yang senantiasa memudar. Butuh lebih dari sekedar keyakinan untuk mengembalikan cemerlangnya. Butuh lebih dari sekedar bahagia untuk mengusir kehampaan yang menyesakkan dada.
Malam ini, ada banyak cahaya harapan yang kutiupkan ke udara. Berharap Sang Maha meluluskannya untuk memberi kedamaian bagi hati ini. Hingga pada suatu hari, pada suatu masa, aku dapat melihat cemerlangnya harapan-harapanku beterbangan suka cita bagai gerombolan kunang-kunang malam hari yang biasa kulihat pada masa kanakku.
Hingga tak lagi hampa, tak lagi sendiri, tak lagi sepi, dan tak lagi samar...
No comments:
Post a Comment