”You don’t have to prove anything to anyone.”
Kalimat itu kudapat ketika ikut training Siaware Desember tahun lalu. Pelajaran yang penting dan benar-benar bikin merenung. Sebuah kesadaran yang menghentak bahwa hidup adalah milik kita sendiri, bukan milik orang lain. Belajar untuk berkata ”stop” atau ”tidak” terhadap orang-orang yang bersikap tidak menyenangkan terhadap kita. Berusaha untuk lepas dari kendali orang lain terhadap hidup kita. Ini hidup kita, maka kita yang mengendalikan. Bukan orang lain.
Selama hidupku, aku selalu merasa harus membuktikan sesuatu. Bukan keinginanku, tentu saja. Sejak SD, tiap kali menerima rapor aku selalu deg-degan. Aku merasa harus membuktikan pada orang tua bahwa aku selalu bisa menjadi nomor satu. Mereka nggak pernah marah atau menuntut secara eksplisit sih, hanya saja kultur di keluarga membuatku merasa seperti itu. Terus berlanjut sampai SMP dan SMU. Parahnya lagi, tiba-tiba tuntutan datang juga dari guru-guru. Kalimat-kalimat seperti ”Wong bapaknya dosen matematika kok gitu aja nggak bisa” atau ”Wong ibunya guru matematika kok gitu aja nggak bisa” mulai sering terdengar.
Sempat merasa sangat letih, aku masih ingat ketika kelas dua SMU aku berdoa agar diberi kapasitas intelektual yang biasa-biasa saja, supaya orang tidak menaruh harapan yang terlalu tinggi kepadaku. Belakangan doa ini dikabulkan Allah ketika aku kuliah :p Tapi tuntutan ternyata tidak berhenti, mengingat seakan di jidatku tertempel label ITB. Maka hidup pun berlanjut dengan segepok pembuktian-pembuktian yang jelas sangat tidak menyenangkan.
”You were born with all your baggage.”
Itu kata Oprah di salah satu show-nya. Aku tahu. Tapi tetap saja tidak menyenangkan ketika pilihan-pilihan dalam hidup kita dibuat oleh orang lain tanpa mempertimbangkan perasaan kita, semata-mata atas nama kebaikan (entah kebaikan menurut siapa). Rasanya seperti beban yang bertambah-tambah. Seperti ketika Mami tidak mengizinkanku ikut kelas karate waktu SMP, atau ikut kelompok pecinta alam waktu SMU, atau yang terbaru tempo hari, ketika Mami dan Papi tidak menyetujui kepergianku ke Cibitung untuk memenuhi panggilan tes kerja di salah satu industri manufaktur di sana. Padahal aku udah 24 tahun. Katanya udah disuruh mandiri, tapi kok nggak boleh memutuskan hidupku sendiri. Aneh. Untung aja masalah pasangan hidup nggak ikut dipilihkan oleh mereka.
Nah, tentang masalah pekerjaan sendiri, banyak pendapat yang serasa dipaksakan. Mami pengen aku kerja kantoran yang indoor dan di depan komputer karena Mami ngrasa itu lebih pantas buat perempuan, daripada harus di lapangan. Papi nggak pengen aku punya pekerjaan yang eight to five biar nggak terlalu banyak ninggalin rumah. Bapak pengen aku kerja dulu sebelum menikah. Mas Catur pengen aku kerja di Jakarta. Coba, masalah pekerjaan aja, banyak keinginan yang minta diakomodir. Tinggal aku yang pusing. Kapan aku bisa benar-benar menjalankan kehidupan yang aku inginkan?
Sekali lagi, ini bukan hanya masalah boleh atau tidak boleh. Lebih besar dari itu, ini adalah mengenai hidup kita yang diputuskan dan dikendalikan oleh orang lain. Ini tentang self esteem dan self dignity. Tidak heran kenapa aku punya kepercayaan diri yang begitu rendah. Siaware menamparku dengan kenyataan yang tidak pernah benar-benar kusadari sebelumnya, bahwa akar permasalahanku dalam memandang hidup berkaitan dengan hubunganku dengan orang tua dan orang-orang terdekat.
Kutipan kalimat dari program Mind, Body, and Soul di Metro TV Sabtu kemarin juga sedikit menamparku, tentang menghargai diri sendiri karena diri kita unik dan tiada duanya. Membandingkan diri dengan orang lain dan sibuk menilai orang lain hanya membuang energi dan waktu. Alih-alih demikian, ”Stay focus on your dreams. Stay focus on your goals of life. Don’t let anyone interfere with your dreams.”
So, I don’t have to prove anything to anyone, right? I wish I could.
[Tulisan ini tidak dimaksudkan untuk mengeluh. I have a beautiful life and I never regret it. Hanya bertanya-tanya, apakah banyak orang merasakan hal yang sama.]
Kalimat itu kudapat ketika ikut training Siaware Desember tahun lalu. Pelajaran yang penting dan benar-benar bikin merenung. Sebuah kesadaran yang menghentak bahwa hidup adalah milik kita sendiri, bukan milik orang lain. Belajar untuk berkata ”stop” atau ”tidak” terhadap orang-orang yang bersikap tidak menyenangkan terhadap kita. Berusaha untuk lepas dari kendali orang lain terhadap hidup kita. Ini hidup kita, maka kita yang mengendalikan. Bukan orang lain.
Selama hidupku, aku selalu merasa harus membuktikan sesuatu. Bukan keinginanku, tentu saja. Sejak SD, tiap kali menerima rapor aku selalu deg-degan. Aku merasa harus membuktikan pada orang tua bahwa aku selalu bisa menjadi nomor satu. Mereka nggak pernah marah atau menuntut secara eksplisit sih, hanya saja kultur di keluarga membuatku merasa seperti itu. Terus berlanjut sampai SMP dan SMU. Parahnya lagi, tiba-tiba tuntutan datang juga dari guru-guru. Kalimat-kalimat seperti ”Wong bapaknya dosen matematika kok gitu aja nggak bisa” atau ”Wong ibunya guru matematika kok gitu aja nggak bisa” mulai sering terdengar.
Sempat merasa sangat letih, aku masih ingat ketika kelas dua SMU aku berdoa agar diberi kapasitas intelektual yang biasa-biasa saja, supaya orang tidak menaruh harapan yang terlalu tinggi kepadaku. Belakangan doa ini dikabulkan Allah ketika aku kuliah :p Tapi tuntutan ternyata tidak berhenti, mengingat seakan di jidatku tertempel label ITB. Maka hidup pun berlanjut dengan segepok pembuktian-pembuktian yang jelas sangat tidak menyenangkan.
”You were born with all your baggage.”
Itu kata Oprah di salah satu show-nya. Aku tahu. Tapi tetap saja tidak menyenangkan ketika pilihan-pilihan dalam hidup kita dibuat oleh orang lain tanpa mempertimbangkan perasaan kita, semata-mata atas nama kebaikan (entah kebaikan menurut siapa). Rasanya seperti beban yang bertambah-tambah. Seperti ketika Mami tidak mengizinkanku ikut kelas karate waktu SMP, atau ikut kelompok pecinta alam waktu SMU, atau yang terbaru tempo hari, ketika Mami dan Papi tidak menyetujui kepergianku ke Cibitung untuk memenuhi panggilan tes kerja di salah satu industri manufaktur di sana. Padahal aku udah 24 tahun. Katanya udah disuruh mandiri, tapi kok nggak boleh memutuskan hidupku sendiri. Aneh. Untung aja masalah pasangan hidup nggak ikut dipilihkan oleh mereka.
Nah, tentang masalah pekerjaan sendiri, banyak pendapat yang serasa dipaksakan. Mami pengen aku kerja kantoran yang indoor dan di depan komputer karena Mami ngrasa itu lebih pantas buat perempuan, daripada harus di lapangan. Papi nggak pengen aku punya pekerjaan yang eight to five biar nggak terlalu banyak ninggalin rumah. Bapak pengen aku kerja dulu sebelum menikah. Mas Catur pengen aku kerja di Jakarta. Coba, masalah pekerjaan aja, banyak keinginan yang minta diakomodir. Tinggal aku yang pusing. Kapan aku bisa benar-benar menjalankan kehidupan yang aku inginkan?
Sekali lagi, ini bukan hanya masalah boleh atau tidak boleh. Lebih besar dari itu, ini adalah mengenai hidup kita yang diputuskan dan dikendalikan oleh orang lain. Ini tentang self esteem dan self dignity. Tidak heran kenapa aku punya kepercayaan diri yang begitu rendah. Siaware menamparku dengan kenyataan yang tidak pernah benar-benar kusadari sebelumnya, bahwa akar permasalahanku dalam memandang hidup berkaitan dengan hubunganku dengan orang tua dan orang-orang terdekat.
Kutipan kalimat dari program Mind, Body, and Soul di Metro TV Sabtu kemarin juga sedikit menamparku, tentang menghargai diri sendiri karena diri kita unik dan tiada duanya. Membandingkan diri dengan orang lain dan sibuk menilai orang lain hanya membuang energi dan waktu. Alih-alih demikian, ”Stay focus on your dreams. Stay focus on your goals of life. Don’t let anyone interfere with your dreams.”
So, I don’t have to prove anything to anyone, right? I wish I could.
[Tulisan ini tidak dimaksudkan untuk mengeluh. I have a beautiful life and I never regret it. Hanya bertanya-tanya, apakah banyak orang merasakan hal yang sama.]
Aku pikir cukup banyak orang yang mengalami apa yang kamu alami yus. Jika kamu merasa itu sebuah beban, maka hanya kamu sendiri yang bisa mengubahnya. Meskipun hidup ini untuk kita sendiri, kadang kita harus memperhatikan juga pendapat orang lain. Siapa tahu pendapat orang lain itu lebih baik -yang menurut kamu kebaikan milik siapa- daripada pendapat kita. Apalagi itu pendapat dari orang yang kita cintai. Tentu harus tetap kita pertimbangkan. Dengan kata lain jangan asal semau kita sendiri.
ReplyDeleteaku setuju. asalkan pendapat itu tetep sebatas pendapat untuk masukan kan? kalo pemaksaan keinginan, gimana???
ReplyDeleteKalo pemaksaan keinginan ya itu beda lagi. Orang tua kita hanya berhak mengarahkan kita saja, tidak sampai memaksakan kehendak. Karena apapun keputusan yang akan kita ambil, kita sendiri yang akan menjalaninya. Dan tidak ada salahnya memperhatikan masukan orang lain.
ReplyDelete