Thursday, October 12, 2006

Mami

Pernah nggak baru pulang kampung dua hari, udah dimarah-marahin sampai berlinang air mata? Aku sering *hehehe*. Dimarahi sama sapa lagi kalau bukan sama Mami. Kuingat-ingat, aku belum pernah sekali pun menulis tentang Mami di blog ini. Kali ini pengen cerita sedikit ya.

Mami-ku orang Jawa tulen. Pengaruh kejawaan Eyang sangat kental, tapi kejawaan Mami termasuk yang moderat *halah bahasanya*. Kalau Eyang masih demen dengan keris-keris dan ritual adat, Mami justru menolaknya dengan halus. Kalau kata Mami sih lebih karena faktor kepraktisan, tapi jauh dalam hati aku tahu kalau sebenarnya Mami nggak setuju dengan praktek-praktek adat yang jauh dari Islam.

Dibesarkan dalam keluarga yang kurang mampu sebagai sulung dari sembilan bersaudara membuat masa muda Mami nggak pernah mudah. Eyang nggak pernah punya rumah. Semasa menjadi pegawai PJKA, Eyang sekeluarga tinggal di rumah dinas. Setelah pensiun, mereka hanya mampu mengontrak rumah petak di tengah kampung. *Bahkan Mami pernah bercerita kalau gorden penutup jendela pun mereka enggak punya* Ketika udah bekerja dan menikah, Mami masih harus membesarkan dan membiayai sekolah adik-adiknya.

Nggak heran Mami tumbuh menjadi seseorang yang keras, tegas, tegar, mandiri, soliter, dan koleris abiss. *Kadang sampai keliatan galak, hehe* Semasa kecil tidak pernah diajarkan tentang ilmu agama sama Eyang, jadi Mami belajar agama dari lingkungannya, salah satunya dengan cara ikut-ikutan temannya mengaji di surau. Faktor ke-kurang-materi-an *aku nggak mau menyebutnya: faktor kemiskinan* membuat masa remajanya akrab dengan minder dan depresi. Alhamdulillah Mami mampu bangkit dan sedikit-sedikit mencoba mencari uang sendiri dengan membantu temannya berjualan.

Sekarang Mami merupakan sosok wanita karir yang cukup sibuk. Sejak aku kecil, aku ingat selalu ditinggal Mami bekerja. Meskipun statusnya cuma sebagai guru / PNS, Mami juga punya karir sosial yang menuntut Mami selalu sibuk. Kalau ditanya alasan kenapa Mami bersibuk-sibuk di luar rumah *ini yang membuat aku kesal karena aku merasa masa kecilku sering terlewatkan oleh Mami*, Mami cuma menjawab agar anak-anaknya berkecukupan dengan uang yang Mami hasilkan. Mami nggak mau anak-anaknya punya masa kecil yang sama dengannya.

Begitulah Mami-ku. Semenjak aku lulus, nasehat yang selalu terngiang darinya adalah supaya aku lekas bekerja demi punya penghasilan yang bisa mencukupi keluarga dan untuk berjaga-jaga bila terjadi sesuatu dengan suami. Nasehat yang sarat dengan spirit mandiri dan aktualisasi diri.

Lalu kenapa Mami sering marah-marah ke aku? Nggak tahu deh. Rasanya cara berkomunikasi kami emang kadang nggak nyambung. Aku yang sensitif, seringkali nangis menghadapi Mami yang keras. Udah gitu, menurut Mami, aku ini anaknya yang paling pemberontak dan bandel *hehe* jadi harus dikerasin. Butuh waktu yang lama untuk menjadikan aku nyambung dengan Mami. Hubungan yang udah ada sekarang ini aja bukan hubungan yang sim salabim, tapi butuh waktu bertahun-tahun. *Dulu waktu remaja aku lebih dekat ke Papi* Kayaknya emang proses ini bakalan lama. Hubungan kami yang seperti ini juga bikin aku bertekad: kelak aku pengen dekat sama anak-anakku. Bisa jadi sahabat buat mereka, tempat berbagi apapun dan kapanpun, serta selalu ada bila mereka butuh. Aku nggak pengen punya hubungan yang berjarak dengan anak-anakku kalau kelak aku jadi bunda.

Terlepas dari semua itu, aku sangat bangga dengan Mami. Tak bisa kupungkiri, Mami punya andil besar dalam hidupku. Kalau nggak ada Mami, mungkin aku bakalan lebih cengeng daripada sekarang. Mami mengajariku tentang nilai-nilai kehidupan, terutama tentang bagaimana seorang wanita menjadi mandiri sehingga nggak dipandang remeh oleh orang lain. *Masih inget nggak, Mi... Mami bela-belain maksa aku belajar naik sepeda dan sepeda motor supaya bisa ke mana-mana sendiri, nggak jadi beban buat orang lain* Ma kasih, Mami. Love you so much...

No comments:

Post a Comment