Friday, December 30, 2005
Halaman Baru !!
Thursday, December 22, 2005
Cinta: Sudut Pandang Baru
Lalu berangsur-angsur aku tak lagi memandang mereka hanya sekedar sebagai ’orang’ atau sebuah entri kuantitas belaka, melainkan sebagai human being yang unik, yang perlu dikasihi dan dihargai...
Look what love has done to me.
Beristirahat dari Rutinitas
Kubiarkan tetes air hujan yang selama ini tertangkis kaca helm, membasahi jilbab dan wajahku. Kubiarkan diriku memekik saat terciprat kubangan oleh kendaraan yang lewat. Kubiarkan kedua ujung sepatuku berjinjit satu-satu menapaki jalanan basah.
Lalu kubiarkan mata ini menikmati kehidupan orang-orang. Bapak-bapak tukang ojek yang berbincang merapat di bawah atap warung, pemuda berambut basah yang berteriak membantu sopir angkot mendapatkan penumpang, abang-abang penjual kaki lima yang mengukus kue atau menggoreng penganan, ibu penjual bakso yang sedang sibuk berbicara sambil mengelap kaca gerobak bakso, pengendara motor yang tergesa berpacu dengan waktu, abang tukang tambal ban yang mendorong mesinnya di jalan, sampai anak-anak punk beranting-anting yang asyik bernyanyi dan memetik gitar... mereka menuturkan kisah hidupnya padaku. Masih sempat pula kuperhatikan detil-detil arsitektur beberapa bangunan yang selama ini menarik perhatianku, tapi tidak punya cukup waktu untuk kuamati.
Setengah jam berjalan kaki telah membawaku melalui banyak hal. Begitu banyak energi, begitu banyak keindahan. Membuatku malu mengapa aku sering kehilangan energi untuk menjalani hidup.
-------------------------------------------------------------------------------------------------
Sore hari yang mendung dengan sedikit rintik membasahi. Angin bertiup pelan membawa semilir menyejukkan. Kuabaikan kebiasaan untuk bergegas pulang dari kampus, dan kuputuskan untuk sebentar bercengkerama dengan suasana. Di sini, di selasar TU Elektro, dua jam menjelang maghrib.
Di balkon lantai dua ini, lampu-lampu sudah mulai dinyalakan dan aku duduk seorang diri. Kubiarkan angin mempermainkan ujung jilbabku. Kubiarkan pula angin mengibar-ngibarkan ujung lembaran buku di tanganku. Kubiarkan mataku menikmati kolam bundar, jalan beton Plaza Widya, ujung dedaunan yang melambai, orang-orang yang sedang berjalan, dan di kejauhan... kerumunan orang bermain basket dan kumpulan orang duduk-duduk di selasar Campus Center.
Kuhela nafas panjang. Aku tak pernah benar-benar menyadari cintaku pada kampus ini, hingga hari ini. Mereka benar, inilah kampus terbaik yang Allah berikan padaku. Meskipun selama ini aku sering mengeluhkan ganasnya kampus ini, aku harus mengakui bahwa hatiku tertambat di sini. Di sinilah aku bertemu dengan orang-orang hebat, dan di sinilah aku belajar merenda kehidupan. Menikmati waktu-waktu terakhir yang semestinya tak akan lama lagi, membuatku mensyukuri banyak hal. You don’t know what you’ve got until it’s gone.
-------------------------------------------------------------------------------------------------
Fiuuhh... jenak-jenak perenungan itu benar-benar indah. Menginspirasi dan memberi pengingatan. Seperti kataku pada seorang teman: dengan begitu banyak cinta, aku tahu aku pasti bisa. Thanks to Allah atas setiap detik kehidupan yang berharga ini.
We live in a free world
I whistle down the wind
Carry on smiling... and the world will smile with you
Life is a flower
So precious in your hand
Carry on smiling... and the world will smile with you
Tentang Orang-Orang Terkasih
Bahwa sejatinya mereka punya cinta yang berlimpah-limpah untukmu.
Mereka hanya tidak punya cukup waktu untuk menunjukkannya.
Aku Ingin Menangis
Kelaparan di Yahukimo, busung lapar dan malnutrisi di Indramayu, istri-istri nelayan Brebes yang berebut beras gratis dari gubernur, pengungsi Aceh di tenda-tenda yang mulai kekurangan bahan pangan... berkelebatan di depan mata sementara aku memandangi piring di pangkuan.
Tiba-tiba aku ingin menangis... dalam ketakberdayaanku berbuat nyata untuk mereka.
Do You Know?
Do you like the things that life is showing you?
Where are you going to? Do you know?
Do you get what you're hoping for,
When you look behind you there's no open door?
What are you hoping for? Do you know?
Once we were standing still in time,
Chasing the fantasies that filled our minds.
You knew how I loved you, but my spirit was free
Laughing at the questions that you once asked of me.
Do you know where you're going to?
Do you like the things that life is showing you?
Where are you going to? Do you know?
Now looking back at all we've had,
We let so many dreams just slip through our hands.
Why must we wait so long before we see,
How sad the answers to those questions can be?
Do you know where you're going to?
Do you like the things that life is showing you?
Where are you going to? Do you know?
Do you get what you're hoping for,
When you look behind you there's no open door?
What are you hoping for? Do you know?
(Mariah Carey, Do You Know (Where You're Going To))
[Now I know where I’m going to. It took me so long before I finally like the things that life is showing me. This song hit me suddenly, right into my heart. It reminds me over and over again, about how lucky I am to have a very beautiful life with so much love and passion from my beloved ones: my parents, my brother and sister, my friends, and of course... my one-and-only angel.]
Life Ain’t Just About Money
Perenungan itu membawaku pada pertanyaan: mengapa orang sering menganggap kebahagiaan identik dengan kekayaan, kesejahteraan identik dengan harta yang melimpah, dan kebanggaan identik dengan kedudukan yang tinggi? Alangkah dangkalnya manusia bila tiap orang berpikir seperti itu.
Aku mengenal sebuah keluarga yang sangat berkecukupan. Dari segi harta, mereka tak kekurangan. Dari segi kedudukan, mereka sangat terhormat. Mereka tampak bahagia. A perfect family. Tapi entahlah... ada sesuatu yang sangat menusuk perasaanku. Ingin rasanya kutanyakan pada anak dalam keluarga itu ketika ia dewasa nanti: adakah yang terlewat dari masa kanak-kanaknya yang berkelimpahan? Ingin rasanya kutatap bening matanya, berharap tak pernah ia akan rasakan duka di sana, seperti duka yang dulu selalu ada dalam hatiku. Ingin kutanyakan padanya: adakah ia rasakan kehilangan akibat kedua orang tua yang jarang berada di rumah?
Bagiku, bullshit bila orang tua berdalih melakukan semua itu demi kesejahteraan si anak. Cinta dan perhatian tak bisa diganti dengan uang dan kedudukan tinggi. Love doesn’t cost a thing. Apa artinya berkecukupan bila kita tak punya teman untuk bicara, dengan siapa kita berbagi, bermanja, bermain, atau sekedar minta ditemani mengerjakan tugas sekolah? Apa artinya terpilih dalam pertunjukan atau pertandingan sekolah bila orang-orang terkasih kita tak ada di sana untuk menyaksikannya? Akankah kita temukan kasih sayang orang tua pada pembantu, tukang kebun, guru les, atau guru mengaji yang lebih sering berada di rumah daripada orang tua kita?
Berdasar pengalaman pribadi, menurutku ada dua kemungkinan dampak buruk yang bisa terjadi pada si anak. Dia akan tumbuh menjadi anak yang tertutup, minder, merasa tidak diperhatikan, dan tidak dicintai. Kebutuhan emosionalnya akan kasih sayang orang-orang terdekat tidak terpenuhi secara baik. Kemungkinan kedua lebih buruk lagi: bisa saja dia bahkan menjadi kebas, merasa tidak lagi membutuhkan orang tua. Toh selama ini dia bisa berdiri sendiri dan berusaha sendiri tanpa kedekatan dengan orang tua. Hubungan yang berjarak dengan orang tua membuatnya teralienasi. Bukankah menyedihkan bila seorang anak merasa tidak lagi membutuhkan orang tuanya?
Aku sangat percaya dengan lirik lagu Hero ini:
It's a long road
When you face the world alone
No one reaches out a hand
For you to hold
Orang tua adalah orang-orang terdekat anak yang paling bisa reach out a hand for them to hold, supaya anak tidak merasa sendiri. Apa jadinya jika orang tua tidak memiliki pemahaman ini?
Aku tidak ingin jadi bunda yang seperti itu buat anak-anakku. Aku ingin jadi bunda yang selalu ada untuk mendukung mereka dan memberi mereka nasehat tanpa menggurui. Bunda kepada siapa mereka berbagi keajaiban, kegembiraan, bahkan air mata. Bunda yang mampu membuat mereka merasa lebih baik. Bunda yang jadi sahabat sejati mereka. Bunda yang juga akrab dengan teman-teman mereka. Sungguh... aku bersedia mengambil resiko apa saja untuk menjadi bunda yang seperti ini...
Pada akhirnya, kebahagiaanku adalah ketika anak-anakku dengan bangga berkata, ”Bundaku adalah bunda paling hebat...”
Friday I’m in Love
Katanya warnet 24 jam, kok pake tutup segala sih? Setelah nunggu bentar dan lobi-lobi, akhirnya boleh masuk juga.
09.40
Ha..ah? Udah jam segini? Ayo cepet-cepet. Dua puluh menit lagi kuliah. Download-an belum di-save. Terburu-buru say goodbye dengan beberapa orang teman. Menutup e-mail dan window-window. Cabuuutt...
10.30
Ternyata si bapak nggak dateng. Akhirnya ngobrolin tugas sama Bayu. Pusing juga ya sistem embedded ini. Kemarin udah bikin grand design rancangan hardware, tapi rancangan software-nya belum. Sistem kendali temperatur rumah kaca berbasis mikrokontroller => judulnya sih keren, tapi realisasinya... ke laut ajee... :p
11.15
Ngantri beli lotek dan tempe mendoan di belakang kampus. Katanya sih di sini enak. Lama juga antrinya. Warungnya sampai penuh gitu. Duh, udah ngiler. Lima ribu perak udah dapet lotek sebungkus tanpa lontong, plus tiga biji tempe yang gede-gede. Gimana nggak gede, satunya aja tujuh ratus perak!
14.40
Terkantuk-kantuk bangun dari tidur sambil ngucek-ngucek mata. Kayaknya tadi ada yang janji mau ngebangunin deh. Ah, mungkin terlalu sibuk sampai lupa...
16.15
Berangkat... enggak... berangkat... enggak... Ujan jadi alesan. Jadinya nggak berangkat senam. Ujan sih :p Senam yang terakhir Kamis kemarin lumayan berat. Angkat barbel bo! Sesi angkat barbelnya lama pula. Lumayan keringetan. Sehat... sehat...
17.15
Yippi... ketemu sama anak-anak SIAware 8 di Campus Center. Bagi-bagi foto hasil foto bareng di Jonas. Trus ngobrol ngalor ngidul sambil ketawa ketiwi. Ah, hangatnya. Anak-anak emang gilee... maunya tiap hari ketemu terus. Seminggu ini cuma hari Kamis aja yang nggak ada kumpul-kumpul. Ck ck ck...
Pauline ngajak ke pameran origami FSRD. Kata Edes, ”Buruan. Ini hari terakhir.” Di pintu pameran tertulis bahwa pameran dibuka pukul 10.00-17.00. Sambil celingak-celinguk, Pauline nekat ngajak masuk. Wah, untung masih bisa. Keren-keren banget origaminya. Ada beberapa yang menurutku dalem banget, kayak Tenggelam, Spiral of Hope, Satu Jendela Dua Senja, dan satu lagi: lupa judulnya, soalnya pake bahasa Jepang sih :p
Udah lama juga aku nggak lihat pameran seni kayak gini. Dulu waktu masih di Solo, hampir tiap bulan aku lihat pameran lukisan, pameran fotografi, atau nongkrongin teater -–meski cuma sebatas teater sekolah. Aku emang bukan pelaku seni, tapi aku suka banget mengapresiasi seni. Buatku, itu salah satu cara untuk menyeimbangkan hidup. Ada suatu sisi dalam diriku yang terasa nikmat banget ketika mengapresiasi seni: zona bebas interpretasi, zona merdeka, zona ekspresif, pokoknya jadi diri sendiri deh.
18.10
Keluar dari ruang pameran tadi, aku ngelanjutin ngobrol sama anak-anak SIAware 8 yang masih duduk-duduk di tangga Campus Center. Udah ah, mau pulang. Belum sholat maghrib. Pelukan, salam, dan lambaian mengakhiri kebersamaan. Sebelum pulang, Randi sempet bilang, ”Besok jam lima kumpul lagi di sini ya. Kita makan-makan, tapi bayar sendiri-sendiri. Pokoknya dateng aja.” Aduhh, kumpul lagi?! Udah taraf addicted ya :D
21.09
Dapet telpon dari Cikarang. Ngobrol lamaaaaa... -–hampir satu jam-- tapi kok masih tetep kurang ya :p
24.00
Habis nonton Desperate Housewives. Kedinginan. Pake sweater, bikin secangkir kopi panas. Sambil mengaduk-aduk kopi, aku duduk di kasur. Duh, kopinya masih terlalu panas. Jadi sementara harus merasa cukup hanya dengan menghirup-hirup wangi sedapnya. Malam masih panjang. Masih nunggu telpon dini hari dari Cikarang.
Friday... what a perfect day to live.
Wednesday, December 07, 2005
SMS Sayang
”...temen itu spt bintang, tdk slalu terlihat tp pasti ada...”
”Perasaan yang tumbuh dlm hati gw..tulus menyayangi kalian sebagai teman,sahabat, dan saudara.. Sampai kapanpun kalian selalu ada dlm hati gw :) klo batre gw low gw butuh kalian utk ngecharge ya? Hehe ;) louthe you so much..”
”Mbak,makasih banyak kmarin udah percaya denganku. It means so much:> nice 2 have u as my friend.”
”For he/she who,yesterday,sheds his/her blood with me shall be my brother/sister. Luv u all guyz.. Bravo Pendekar Cinta!!”
”From now on,it’s the time 4 us testing our commitment,courage,and contribution.Let’s prove we can do it,whatever it takes.I always support U my friend;)”
Berdamai Dengan Diri Sendiri
Ada suatu masa dalam hidupku ketika aku menyadari bahwa aku tidak mencintai diriku sendiri. Lembar demi lembar perjalanan meninggalkan luka yang begitu dalam, digoreskan oleh orang-orang terkasih. Telah lama aku menutup hatiku, karena begitu takut dilukai kembali. Menutup rapat... hingga akhirnya aku bahkan tak bisa merasakannya.
”ada danau warnanya hitam... ada pohon warnanya hitam... ada bunga warnanya hitam...”
Hari-hari yang berlalu seolah tak berarti. Dunia tak lagi indah karena aku merasa tidak dicintai. Entahlah, kadang pikiran seolah mengunci mati hatiku. Membuat asumsi-asumsi sendiri, hingga berujung pada prasangka.
”lembah yang dingin dan sunyi...”
Aku selalu menyukai kesendirian. Kadang aku berpikir, aku menemukan rumah dalam kesendirian. Atau... kesendirian yang menemukan rumah dalam diriku? Pikiranku salah. Zona nyaman itu tak selamanya nyaman. Hatiku masih bisa berteriak, tentang sebuah keinginan untuk didengarkan, dicintai, dan didukung. Memang benar aku menyukai kesendirian, tapi kesendirian mengajarkanku tentang kesepian dan keterasingan. Sungguh aku takut karenanya.
”karena hati adalah hati...”
Ya, Kawan. Kau benar. Hati adalah hati. Hati butuh untuk memberi dan diberi. Berbagi itu indah rasanya. Aku menemukan semangat luar biasa dalam tepukan pelan di punggung, genggaman nyaman, dan senyum hangatmu. Aku menemukan arti mencintai dan dicintai. Hingga akhirnya aku mampu berdamai dengan diriku sendiri.
[Buat buddy-ku di SIAware 8: you’re such an amazing person. Kamu bener-bener orang yang hebat, kamu tahu itu? Kamu dalem banget. Thanks udah ngajarin aku sesuatu.]
SIAware 8
those dreams you want with all your heart
and I'll do whatever it takes
follow through with the promise I've made
put it all on the line
what I hope for at last would be mine
if I could reach higher
just for one moment touch the sky
from that one moment in my life
I'm gonna be stronger
know that I've tried my very best
I'd put my spirit to the test
if I could reach
some days are meant to be remember
those days we rise above the stars
so I'll go the distance this time
seeing more the higher I climb
that the more I believe
all the more that this dream will be mine
if I could reach higher
just for one moment touch the sky
from that one moment in my life
I'm gonna be stronger
know that I've tried my very best
I'd put my spirit to the test
if I could reach
(Gloria Estefan, Reach)
[Buat temen-temen gw di SIAware 8: kalian orang-orang yang luar biasa. Gile, ternyata gw dicintai dan disayangi...]
Kau dan Aku
Malam yang dingin, langit yang pekat, dan rintik yang tak henti mengguyur. Aku menatap keluar, memesrai cuaca yang membuat kita kuyub. Kau tahu, aku selalu nyaman bercengkerama denganmu. Seperti memanjakan diri sendiri, meski di tengah malam yang dingin sekalipun.
Pagi yang berkabut di tepi kolam ikan. Duduk di pinggir beton sambil memandangimu datang dengan senyuman, meski sambil terus merapatkan jaket kesayanganmu. Kau tak ubahnya seperti pahlawan yang datang ke dalam hidupku. Menghangatkan, menceriakan hari, membagi binar kehidupan, tak peduli di tengah pagi yang menggigil sekalipun.
Dalam diam, kita berbincang. Selalu kutemukan harap yang tak pernah padam pada sinar matamu. Air mata yang mengalir pelan di pipimu ketika teringat pada orang-orang tersayang, membuatku menyadari halusnya rasamu. Dalam benakmu, mimpi-mimpi yang kaubangun untuk mereka senantiasa terpatri. Aku tahu. Aku paham. Kau begitu istimewa, seistimewa mimpi dan harapanmu. Aku selalu ada untukmu, menemanimu dalam senang dan sedih, mendukungmu meraih segala yang kauinginkan. Karena begitulah adanya bila jiwa kita satu.
Kaulihatkah ikan-ikan yang kita beri makan? Mereka riang melahap butir-butir kecil yang kita lempar ke permukaan kolam. Seperti itu pulalah hatiku. Riang melahap setiap detik kehidupan bersamamu, karena berkat kaulah, aku mampu mencintai secara utuh. Kau selalu di sana untukku, meski kadang terpisah ruang dan waktu, membantuku bangkit untuk menemukan sisi kemanusiaanku yang telah lama raib. Membuatku yakin bahwa aku disayangi dan diterima sebagaimana aku apa adanya. Membuatku menikmati hidup karena ia terlalu berharga untuk dilewatkan begitu saja, apalagi dengan adanya kau di sisiku.
Kau, aku, dan mimpi-mimpi kita masing-masing kini telah menyublim menjadi kau, aku, dan mimpi-mimpi kita berdua. Hidup kita adalah padu. Hidup kita adalah satu.
Intrapreneur
Dari obrolanku dengan Husnu sehari setelahnya, aku mendapat sedikit gambaran tentang intrapreneur, bahasan yang –-kata Husnu-– masuk dalam lingkup bahasan manajemen inovasi. Sebenarnya aku kurang tertarik dengan ranah manajemen, tapi semenjak kuliah manajemen industri semester lalu, dan semenjak mengamati bahwa perusahaan yang dinaungi oleh klub Manchester United menjadi perusahaan raksasa karena manajemennya yang kuar biasa, aku jadi merasa sedikit ingin tahu.
Intrapreneur merupakan kependekan dari intraorganization entrepreneur. Kalau entrepreneur diartikan sebagai orang yang memiliki daya, upaya, dan usaha secara mandiri, maka intraorganization entrepreneur berarti orang yang memiliki jiwa entrepreneur tetapi berstatus sebagai pegawai di suatu perusahaan. Jadi, seorang intrapreneur tidak memiliki usaha secara mandiri, melainkan bekerja pada suatu perusahaan. Namun, ia memiliki daya dan potensi menjadi entrepreneur karena karakteristik yang dimilikinya.
Dalam suatu perusahaan, seorang yang berjiwa intrapreneur berpotensi menjadi kompetitor perusahaan bila ia keluar dan mendirikan usahanya sendiri. Oleh karena itu, manajemen perusahaan tempatnya bekerja harus memberikan perhatian khusus terhadap para pegawainya yang semacam ini. Biasanya orang seperti ini keluar bila mereka merasa tidak puas, misalnya jika ide-ide briliannya tidak mendapat tempat, atau terlalu dikekang oleh manajemen perusahaan.
Salah satu kunci kesuksesan perusahaan-perusahaan besar di Amerika, misalnya General Motor, adalah dengan memberikan ruang yang luas kepada para pegawai yang berjiwa intrapreneur. Meskipun pimpinan seringkali merasa dilangkahi oleh kebebasan mereka, nyatanya ruang inovasi berlangsung progresif dengan adanya orang-orang seperti ini.
Menjadi seorang intrapreneur pun tidak kalah menariknya. Tidak perlu mendirikan perusahaan sendiri tetapi mampu berkreasi dan berinovasi dengan bebas. Bukan rahasia lagi kalau seorang intrapreneur juga lebih mudah mendapat kedudukan dibanding dengan pegawai yang biasa-biasa saja.
Nah, lalu bagaimana caranya menjadi seorang intrapreneur? Kalau yang ini aku belum tahu, karena aku baru menyelesaikan bab pendahuluan buku Husnu itu. Belum sempat kubuka bab selanjutnya, permainan kartu sudah bubar dan anak-anak dengan riang mengajakku pergi makan-makan ke Cibiuk.
MP3
Lho... kok ada suara-suara orang sedang bicara? Makin aneh. Makin nggak mungkin. Oalahh... dasar MP3 bajakan...
Totto-chan
Ah, finally. Buku Totto-chan yang sudah sejak lama ingin kumiliki, kini berada di genggaman. Aku sempat bingung memasukkan buku ini ke dalam daftar buku. Masuk kategori apa ya? Fiksi jelas bukan. Novel, biografi, atau pendidikan anak? Ah, masuk kategori apa tak jadi soal. Yang penting sudah di genggaman.
Sangat berarti? Tentu saja! Sangat berarti dari segi bukunya, dari segi orang yang memberi, juga dari segi waktu membelinya. Berangkat naik motor ke Palasari di tengah rintik hujan dan udara dingin demi sebuah kebahagiaan membelikan aku buku... benar-benar istimewa...
Thanks to you, Mas...
Terima Kasih!
[Guys of Sangkuriang –-kost pusat, cabang, maupun ranting :p-– thanks... You really teach me something...]
Hangatnya Dukungan
”Yus,soal kesendirian kamu itu jgn tlalu dibiasain.Kamu harus mulai bljr pcaya & berbagi sama orang lain.biar gmn pun kita g bs hidup sndrian” (Zaki, Ahad 27 Februari 2005, 15.42)
“Bpkku prnah nulis gede2 d dndg kmrku,’Masa2 sulit tdk prnah berakhir,tp org yg ulet akan brhsil mgtasinya’.Kalo Yus mmg bth apa2,jgn sgan2 mnta ke kami,tman2mu.” (Salim, Selasa 8 Maret 2005, 06.15)
”Insya Allah..yuni percaya yustika bisa..biidznillah..:)” (Teh Yuni, Selasa 26 Juli 2005, 11.27)
”Yo sing sabar Yus,mgkn kt hrs belajar ikhlas,sing penting pantang menyerah!maju trs!ra ketang nabrak he3x :p” (Erti, Selasa 26 Juli 2005, 12.09)
”stiap tman mnunjukan stu dnia kpd kta, stu dnia yg mgkn blum prnah ada dan dciptakn sblum mrka ada, dan hnya krn mreka lah sbuah dnia bru trsbut ada dan trcpta” (Moko, Kamis 6 Oktober 2005, 03.21)
”dlam stiap titik duka niscaya trhubung dlm satu gris bhagia, tdklah 4JJI mguji hmbany mlainkn mberi kmudahn dan jlan kluar, utk mbdakan antra yg loyng dan emas” (Moko, Kamis 6 Oktober 2005, 13.14)
”...manusia yg plg beruntung d dunia adl ia yg mampu mngmpulkn serpihan mutiara yg ada d sekelilingny,lalu ia susun jd pakaian mosaik t’indah. :) uhibbuki.” (Ika, Selasa 15 November 2005, 17.54)
“Smoga usahamu dridloi ALLAH ya...” (Mas Catur, Rabu 16 November 2005, 12.55)
”Hehehe... Maaf. Ya udah yg sabar aja. Aku jg blm bs mndptkn apa yg aku inginkan. Yg pntng usaha & doa. Mslh dpt apa ga itu urusan Allah. Loh, koq ga nymbng :D” (Tommy, Rabu 23 November 2005, 20.47)
”...hmm,gmn yah.kamu msh tlalu bnyk su-uzhon kali ya.atau bpikir trlalu matematis,bnyk phitungan dlm hidup.dah naif aja mikirin hidup” (Zaki, Jumat 25 November 2005, 12.40)
”Apa mau drundingin dulu? Positif-y yustika jd bs nyelesaiin S1 dgn optimal.” (Yuti, Sabtu 26 November 2005, 09.21)
[...lalu air mata itu perlahan mengering... tidak ada alasan untuk bersedih di tengah segala kehangatan ini...]
Tuesday, November 22, 2005
[speechless]
Percayalah, aku akan lulus pada saat yang tepat. Because everybody has their time.
Favorite Quote
(Diany, Bella Donna the Wedding Magazine)
Harry Potter
Aku ingin sekali nonton. Dengan siapa ya aku akan pergi? Siapa ya yang akan kuajak menemani? Lalu aku tertegun. Aku kan tidak punya teman dekat...
Tiba-tiba kesendirian ini tidak lagi terasa mengasyikkan...
Kutipan Favorit
(Anne Frank, Het Achterhuis)
Mendefinisikan Ulang Kehidupan
Pusing juga. Lalu malam-malam berlalu dengan tangis berkepanjangan, putus asa tiada akhir, gugatan-gugatan yang tak jelas ditujukan kepada siapa. Aku letih. Sepertinya dulu aku tidak seperti ini. Aku tumbuh dengan kasih sayang dan cinta. Aku berbagi tawa dan aktivitas. Lalu sejak kapan aku merasa asing dengan diriku sendiri?
Tanpa kusadari aku telah berubah jadi orang jahat, oportunis, pragmatis, sangat introvert, cenderung menarik diri dari orang banyak, suka meributkan hal-hal remeh, moody, dan labil. Ke mana perginya gadis itu, yang dulu selalu menganggap hidup itu menyenangkan? Ke mana perginya senyum dan tawa itu? Ke mana perginya kehangatan teman dan keluarga itu? Aku tak tahu.
Tampaknya aku harus mulai mendefinisikan ulang kehidupan yang kacau balau ini. Kembali mengambil kontrol. Mengendalikan perasaan, bukan dikendalikan perasaan. Kembali tersenyum, menegakkan kepala, dan meneriakkan dengan lantang, ”I don’t wanna be gloomy. I’m a tough girl. I want my life back!”
Bukankah cinta akan selalu ada bagi mereka yang punya keyakinan? Bukankah bahagia itu milik semua orang? Bukankah harapan akan selalu membuat kita tetap hidup?
Kota Itu
Keluarga
Keluargaku adalah tempat kembaliku
Benarkah?
Ungkapan klasik belaka atau memang begitu adanya?
Lalu mengapa ruang-ruang itu tak lagi akrab?
Mengapa pertemuan itu tak lagi hangat?
Mengapa obrolan-obrolan itu tak lagi menentramkan?
Mengapa kepulangan tak lagi memberikan energi?
Apakah... saatnya telah tiba untuk pergi dari rumah?
[Pertanyaan-pertanyaan ini mencekik nuraniku sepanjang libur lebaran. Apa yang telah terjadi?]
Tuesday, October 25, 2005
Afirmasi
Lagi-lagi tentang afirmasi. Beberapa waktu lalu aku masih optimis bisa lulus Maret. Makin hari makin banyak orang bilang: mustahil aku bisa lulus Maret. Their words really bring me down. Kini aku merasa tidak mungkin bisa lulus Maret beneran. Can you believe it, even those words came up from my parents! Hmm, kayak gini ya, yang namanya support itu :(
Fine! Whatever...
I’m not doing this for you
I’m not doing this for them
I’m doing this just because I have to
And I’ll do it my own way
Go ahead yelling
Keep shouting
You can even continue screaming
Thanks, but I don’t take advice from people anymore
Kopi
Kini secangkir kopi bahkan telah jadi teman setia mengarungi malam-malam yang dingin di kota kembang ini. Serasa ada yang kurang kalau semalaman berlalu tanpa secangkir kopi yang mengepul-ngepul. Hmmm, kopi dan begadang... benar-benar perpaduan yang buruk untuk kesehatan.
[Weks, baru kusadari, bukan di kala malam saja aku mencari-cari kopi. Pagi-pagi atau sore hari aku juga mencari secangkir kopi hangat. Siang-siang aku juga mencari segelas es kopi yang menyegarkan. Waduh, gawat... sudah jadi pecandu kopi rupanya.]
Pernikahan
Saat pernikahan mereka dilangsungkan, air mata meleleh di kedua pipiku. Berbagai hal berkecamuk dalam benak. Berbagai rasa berlarian dalam dada. Allah Maha Tahu betapa aku juga ingin menyegerakan pernikahanku. Telah begitu banyak hal terjadi...
”Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. Ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya. (Mereka berdoa): ’Ya Tuhan kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau kami tersalah. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau bebankan kepada kami beban yang berat sebagaimana Engkau bebankan kepada orang-orang yang sebelum kami. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau pikulkan kepada kami apa yang tak sanggup kami memikulnya. Beri maaflah kami; ampunilah kami; dan rahmatilah kami. Engkaulah Penolong kami, maka tolonglah kami terhadap kaum yang kafir’.” (Q.S. 2: 286)
Ahad 23 Oktober 2005, seorang teman lain berkata padaku, ”Yus, aku batal menikah.” Aku tercenung mendengarnya. Persiapan pernikahannya telah memakan waktu berbulan-bulan dengan begitu banyak usaha kompromi dan ikhtiar berlapang dada. Kedua keluarga sudah bertemu, persiapan tinggal finishing, bahkan gedung sudah hampir dipesan. Karena perbedaan dalam satu hal prinsip, mereka memutuskan untuk tidak melanjutkan proses pernikahan. Allah... beginikah jadinya kalau kehendak-Mu yang bicara?
”...Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.” (Q.S. 2: 216)
Pekan kemarin adalah pekan yang penuh dengan tanya dalam benak, tentang sebuah tahapan kehidupan bernama pernikahan...
Thursday, October 20, 2005
Instead Of
Instead of crying, why don’t you just start to put that sarcastic smile on your face?
And instead of blaming yourself, try to blame other people :p
Love yourself...
Enjoy your life!
Surat Sakti
”... Berdasarkan data kemajuan akademik anak sdr, maka anak sdr masih memiliki matakuliah Sarjana Muda yang belum lulus. ... Apabila dalam batas waktu tersebut anak sdr belum berhasil menyelesaikan semua kuliah untuk tahap Sarjana Muda tersebut, maka kami dengan sangat menyesal menyarankan agar anak sdr mengajukan pengunduran diri sebelum batas waktu tersebut.”
Huekekekekekekek... dapat surat sakti dari Pak Eniman. Seberapa saktinya surat itu? Cukuplah untuk bikin ponsel berdering-dering akibat sms-sms Papi. Cukuplah bikin sakit perut sebentar. Tapi cuma sebentar. Nggak lama kemudian, amplop surat saktinya udah jadi alas cangkir kopi gw, huehehehe... Dasar gebleg...
Nggak usah dikasih batas waktu, Pak! Kalau dibolehin sama ortu sih, udah dari dulu gw cabut dari elektro...
Epik Rama-Sinta
Kisah Ramayana terpahat pada relief Candi Prambanan dengan indahnya sejak abad ke-9. Relief kisah ini terpahat pada dinding penyangga Candi Siwa, diawali dengan kisah Dewa Wisnu menobatkan ular (naga) Ananta menjadi penguasa dunia sampai kisah Anoman memimpin pasukan kera menyeberangi lautan menuju negeri Alengka. Kisah ini kemudian berlanjut pada relief yang terpahat pada Candi Brahma yang terletak di selatan Candi Siwa. Selain Candi Prambanan, candi lain yang reliefnya memuat kisah Ramayana adalah Candi Panataran di Jawa Timur, sekitar abad ke-12 hingga abad ke-15. Pada relief Candi Panataran, kisah Ramayana bermula dari misi Anoman ke Alengka sebagai utusan dan berakhir dengan kematian Kumbakarna, saudara Rahwana.
Kisah Ramayana dalam budaya Jawa pertama kali ditulis oleh seorang penyair (kemungkinan bernama Yogiswara) yang mengarang kitab Ramayana Kakawin. Kitab yang ditulis dalam bahasa Sansekerta pada awal abad ke-10 ini bisa jadi merupakan literatur Jawa tertua, meskipun ditengarai berbeda dengan versi asli dari India. Kemudian pada abad ke-19, penyair sekaligus bangsawan Jawa bernama Yosodipuro I menulis kisah Ramayana versi Jawa bertajuk Serat Rama. Kisah Ramayana versi Jawa yang berkembang hingga saat ini banyak didasarkan pada versi Yosodipuro I tersebut.
Terdapat beberapa perbedaan utama antara kisah Ramayana versi Jawa dengan versi aslinya yang berasal dari India. Pada versi Jawa, tokoh Rama lebih humanis dan manusiawi. Pada versi aslinya, tokoh Rama digambarkan hampir seperti dewa. Perbedaan lainnya terletak pada ending cerita, yaitu tentang pengorbanan Sinta menceburkan diri ke api untuk membuktikan kesucian dirinya. Pada versi India, kisah ini berakhir tragis dengan menghilangnya Sinta ditelan bumi. Pada versi Jawa, kisah ini malah berakhir bahagia. Ketika terbakar api, Sinta tidak terluka sedikitpun melainkan justru bertambah cantik. Pengorbanan Sinta itu, yang disebut-sebut sebagai ujian kesucian dirinya, berakhir dengan kesediaan Rama menerima kembali Sinta yang setia di sisinya. Happily ever after. Ihik ihik... kayak dongeng putri dan pangeran.
Terlepas dari hikayat dan sejarah mengenai kisah Ramayana (aiihhh, jadi ingat Babad Tanah Jawi-nya Papi... ke mana ya buku itu??), hal yang paling tidak kusukai dari kisah Rama-Sinta adalah kisah penolakan Rama. Ia tidak mau menerima kembali Sinta yang dianggapnya sudah ternoda oleh Rahwana. Wong yang diculik Sinta kok malah Sinta-nya yang disalahkan. Bukannya gimana gitu istrinya udah terselamatkan, Rama malah sibuk nolak-nolak. Bukannya menerima dengan tangan terbuka, Rama malah menyuruh istrinya menceburkan diri ke api untuk membuktikan kesetiaan. Nah ini dia, potret khas kultur patriarki. Laki-laki merasa: mereka bisa melakukan apa saja yang mereka mau. Seolah-olah wanita harus pasrah bagaimanapun mereka diperlakukan. Aduuhh, nggak banget dehh. Masa kayak gini yang namanya cinta sejati??
Sendratari Ramayana
Setengah delapan malam kurang seperempat, aku berjalan menaiki pintu masuk yang berundak-undak. This is my first time, jadi setelah karcis masuk kuserahkan, aku segera memandang berkeliling. Dari pintu masuk, aku sampai di pelataran temaram yang bersuasana khas Jawa. Cahaya-cahaya lilin berpendaran menentramkan. Petugas berbusana adat Jawa sibuk mengatur dan menunjukkan posisi tempat duduk kepada audiens. Tak jauh dari kolam bersinarkan lampu hijau redup, ada seperangkat meja-kursi dari balok kayu. Di dekatnya ada dua gazeebo. Satu gazeebo bertuliskan coffe shop, tempat audiens bertiket VIP menukarkan kupon soft drink. Satu gazeebo lain sedang berdendang melantunkan tembang-tembang Jawa, lengkap dengan sinden dan penabuh gamelan. Waktu aku berdiri di depan gazeebo itu menikmati lantunan tembang, semilir angin makin lama makin membuai rasa. Gileeee... baru masuk aja udah keren banget... Tak lupa foto-foto ala wong ndeso :p
Jalan ke panggung open air masih berupa undakan. Alhamdulillah kami mendapat tempat duduk yang sangat ideal, meskipun itu berarti harus merogoh kocek sedikit lebih dalam. Di depan, belakang, dan samping kami semuanya Mr/Mrs Bule. Serasa jadi bule nih ;) Panggung gelap di bawah sana masih bisu. Latar belakangnya Candi Prambanan dan langit malam yang berbintang-bintang. Keren bangettttt...
Jalan cerita sendratari akan aku ceritakan di postingan berikutnya. Pokoknya asli keren banget. Pagelaran berlangsung dua jam diselingi masa istirahat lima belas menit, didukung oleh ratusan penari dan puluhan macam kostum, serta didukung oleh lighting ribuan watt yang memukau. Tata panggungnya juga asyik: ada banyak celah tempat keluar penari, dua di antaranya dari barisan bangku audiens. Two thumbs up buat penabuh gamelan yang dari awal sampai akhir menghidupkan cerita dengan iringan gamelan yang rancak. Yang paling heboh saat adegan Anoman Obong: dua gubuk di belakang panggung dibakar dengan api yang bener-bener besar. Wah, asli keren. Mungkin memang masih kalah gempita dibanding pagelaran Megalitikum Kuantum di Jakarta beberapa waktu lalu. Tapi harap diingat, Sendratari Ramayana tetap lebih unggul karena ia digelar tiap beberapa hari sekali dengan effort yang sama per penampilan. Bandingkan dengan Megalitikum Kuantum yang meski levelnya sangat besar tapi cuma digelar dua kali di Jakarta dan Bali.
Menyaksikan Sendratari Ramayana menyisakan beberapa hal dalam benak. Catatan pertama: ternyata masih ada sisi pariwisata kita yang seatraktif ini. Benar-benar nggak rugi menjadikan pengalaman menonton ini sebagai sesuatu yang berharga. Ternyata audiens nggak masalah tuh dengan harga tiket kalau memang yang disuguhkan sebanding. Pelajaran untuk pariwisata kita secara keseluruhan, bahwa usaha untuk meningkatkan kualitas pariwisata (bolehlah kalau berimbas pada harga tiket) LEBIH PENTING daripada mengeluhkan sedikitnya dana yang akhirnya membuat pengurus ogah-ogahan meningkatkan kualitas objek wisatanya. Duh, jadi merana kalau ingat pertunjukan wayang orang di Gedung Wayang Orang Sriwedari, Solo, yang sepi pengunjung.
Catatan kedua: bagi siapapun yang ingin menyaksikan Sendratari Ramayana, ada baiknya paham dulu jalan cerita pewayangan kita. Kalau nggak, bisa bingung setengah mati karena pagelaran ini minim dialog. Kalaupun ada, paling-paling berupa selipan tembang berbahasa Jawa di sana-sini. Nanti bisa bingung yang mana itu Lesmana, Jatayu, Indrajid, Kumbakarna, Sugriwa, apalagi Subali.
Hayooo yang ngaku orang Jawa, gimana... ngerti nggak? Sok-sokan banget aku nih. Padahal tanpa Papi yang malam itu bertindak sebagai translator adegan, aku juga nggak akan ngerti jalan ceritanya :p Wah, wayang memang kesukaan Papi. Bertahun-tahun lalu saat aku dan kakakku masih kecil, saat anak-anak lain didongengi kisah peri, putri, dan pangeran, kami kenyang menelan wayang sebagai dongeng pengantar tidur. Aku, kakakku, dan adikku sama-sama pernah merasakan malam minggu di Gedung Wayang Orang Sriwedari, melihat pertunjukan wayang orang sambil terkantuk-kantuk. Thanks to Papi, yang telah memperkenalkan dunia pewayangan ke dalam dunia kami, hingga aku merasa bangga terlahir menjadi orang Jawa (biarin narsis :D ). Nggak tahu apakah aku juga akan menurunkannya pada anak-anakku kelak, mengingat dunia pewayangan itu sedikit demi sedikit mulai terkikis dari ingatanku.
Monday, September 12, 2005
Monday, September 05, 2005
Menjelang Petang
Seketika ingatan melayang ke zaman SMU. Menunggu adzan maghrib tiba, bersama teman-teman menghabiskan waktu di lapangan bola belakang sekolah atau lapangan bola stadion. Duduk di rerumputan di tengah-tengah geletakan tas dan sepatu, memandang mereka yang berlarian. Sesekali ikut berdiri dan berlari menendang bola. Dan ketika senja hampir menggelap, kami pulang bercucur peluh dan berbalut kegembiraan. Kepenatan akibat hiruk pikuk tugas dan aktivitas sekolah lenyap sudah. Uff, rindunya... Rindu bau rumput itu, rindu bertelanjang kaki dan berlari ke sana kemari, rindu canda tawa itu, rindu segala keceriaan itu...
Modulasi
Semester ini aku mau coba mencari hal-hal asyik seputar modulasi biar semangat belajar Sistem Komunikasi I. Kalau kelihatannya nggak konkret, aku mau sambung-sambungin sama ceritaku sendiri biar tampak lebih konkret :D
Modulasi itu sendiri adalah sebuah proses di mana parameter gelombang pembawa (carrier) diubah-ubah sesuai dengan sinyal pemodulasinya. Kenapa gelombang carrier yang justru harus nurut sama gelombang pemodulasi? Jadi gini, kalau transmisi itu diumpamakan transportasi, gelombang pemodulasi adalah penumpang sementara gelombang carrier adalah mobilnya. Biasanya kan penumpang milih mobil sesuai seleranya. Ada yang milih naik BMW, Mercedes, Toyota, atau cuma Suzuki. Kayak gitu juga masalah modulasi ini: parameter gelombang carrier diubah-ubah sesuai gelombang pemodulasi, misalnya sesuai amplitudo gelombang pemodulasi.
Ini baru permulaan. Nantinya di kuliah ini juga akan dipelajari masalah modulasi sinyal kontinu lainnya, termasuk modulasi frekuensi dan modulasi fasa. Alamak! Kayaknya aku harus cari-cari analogi lagi biar mata kuliah yang nggak konkret ini tampak sedikit lebih masuk akal. [Buat anak-anak telekomunikasi: betapa menjemukannya duniamu, Nak! Huahahaha...].
Kuliah Asyik
Seperti yang udah pernah kusinggung, teknologi ini berkaitan erat dengan dunia utopis seperti yang kita lihat di film-film futuristik. Pak Sony dan Pak Arry bahkan menerangkan kuliah sambil mengambil contoh kasus seperti film Time Trax, trilogi Matrix, AI-nya Steven Spielberg, atau I. Robot.-nya Will Smith. Kapan-kapan kita harus nonton bareng film-film itu, begitu kata mereka.
Bukan tidak mungkin pada masa depan, komputer-komputer yang digunakan manusia tinggal seukuran kartu ATM. Di dalamnya sudah terintegrasi perangkat lunak dan perangkat keras sedemikian rupa yang tinggal dioperasikan manusia dengan teknologi text to speech dan speech recognition. Tampilannya pun sudah bukan lagi tampilan layar monitor, melainkan program hologram interaktif berwujud manusia. Keren banget.
Sebuah revolusi relasi antara komputer dan manusia yang kini sedang mengalami perkembangan cukup signifikan adalah dunia cyborg. Cyborg, akronim dari cybernetic-organism, adalah perkawinan hibrid antara manusia dan mesin. Chris Abel Gray dalam Cyborgology: Constructing the Knowledge of Cybernetic Organisms mendefinisikan cyborg sebagai ”peleburan antara organik dan mesin, antara sistem daging yang mati dengan sirkuit yang tak mati, antara sistem sel-sel hidup dan artifisial”. Di dalam sistem cyborg, yang terbentuk bukan lagi partnership antara manusia dan mesin, melainkan simbiosis yang diatur oleh cybernetika. Melalui simbiosis tersebut, sistem organisme dapat meningkatkan berbagai kapasitas, kemampuan, kekuatan, memori, daya pikir, dan daya tahan.
Eits, tapi jangan lantas berpikir cyborg cuma ada di Terminator, Bicentennial Man, atau I. Robot. Sekarang cyborg udah jadi bagian dari realitas sosial. Setiap orang yang memiliki organ, anggota badan, atau organ suplemen artifisial (misal: alat pacu jantung, contact lense, kacamata), setiap orang yang direprogram untuk mencegah penyakit (misal: diimunisasi), atau diberi obat untuk berpikir dan bertingkah laku (misal: psikofarmakologi), semuanya secara teknis adalah cyborg [berarti kita juga cyborg dong, hehehe...]. Sistem cyborg yang cukup ekstrem dengan menyambungkan organ artifisial (berupa mesin) dengan syaraf manusia juga sudah mulai dilakukan. Beberapa waktu lalu Pak Arry nonton Discovery Channel yang berkisah tentang penyambungan syaraf lengan manusia dengan tangan palsu berupa mesin robot, sehingga pada akhirnya tangan robot itu mampu digerakkan dengan syaraf-syaraf motorik yang terhubung ke otak.
Sementara dari kuliah Dasar Intelegensia Artifisial aku belajar tentang tiga komponen intelegensia artifisial, yaitu fakta, kaidah, dan inferensi. Fakta adalah hal-hal yang dipersepsi dari lingkungan oleh sistem artifisial. Kaidah (rules) adalah daftar aksi-aksi yang bisa dilakukan oleh sistem artifisial. Keduanya menemukan hubungan yang harmonis dengan adanya inferensi (penalaran) yang berfungsi mempersepsi dan memilih aksi yang paling tepat untuk mencapai tujuan (goal). Jadi sejatinya, fungsi inferensi terkait seputar rule matching dan rule selection yang nantinya membentuk sequence of rules untuk mencapai tujuan.
Namanya juga intelegensia artifisial: idenya datang dari usaha untuk meniru perilaku dan cara berpikir manusia. Pak Bambang bilang, setiap manusia memiliki sisi heuristik, yaitu cara berpikir yang efektif dan efisien dengan mengolah state awal yang ada guna mencapai state akhir yang diinginkan. Sisi heuristik inilah yang coba ditanamkan manusia kepada intelegensia artifisial, sehingga perangkat artifisial ini mampu belajar laiknya manusia. Heuristik itu sendiri sebenarnya merupakan ciri kecerdasan. Semakin canggih sistem heuristiknya, semakin cerdas pula intelegensianya. Jadi kalau ingin melihat seberapa cerdas seorang manusia, kita lihat saja dari kemampuan heuristiknya: gimana cara dia menyelesaikan masalah. Kalau caranya muter-muter nggak efektif dan nggak efisien, berarti dia nggak cerdas [itu sih semua orang juga tau, hehehe...].
Wednesday, August 31, 2005
Duh...
Kenapa sih, Solo-ku jadi berubah? Orang-orangnya tak lagi berkepala dingin, gampang banget tersulut gara-gara sesuatu yang harusnya bisa diselesaikan dengan cara yang lebih manis. Kenapa pula bertengkar gara-gara hal keduniawian?
Kalo kayak gitu caranya, gimana Solo mau maju? Petinggi-petinggi yang katanya adiluhung harus mampu jadi contoh rakyatnya dong. Istana tak lagi punya pengaruh, tak lagi punya tempat di hati rakyat. Malu banget sama Jogja, padahal konstruksi sosio kulturalnya hampir sama.
Duh, Solo-ku…
Thursday, August 25, 2005
Dialog
Rasio: “Nanya apa?”
Hati: “Apakah ketika kita membuka diri pada orang lain, kita harus membuka diri sepenuhnya?”
Rasio: “Maksudmu gimana?”
Hati: “Maksudku, ketika kita memutuskan untuk berbagi dengan orang, apakah lantas kita akan kehilangan ruang untuk sendiri?”
Rasio: “Kenapa tiba-tiba nanya kayak gitu?”
Hati: “Mmm... kenapa ya? Mungkin karena belakangan ini aku merindukan ruang untuk sendiri.”
Rasio: ”Lalu?”
Hati: ”Yah, rasanya seperti kehilangan ruang untuk sendiri. Aku selalu merasa nyaman dengan ruang itu. Ketika aku berada di sana, rasanya seperti merdeka dari segala bentuk ikatan. Bebas melakukan apa saja. Tak peduli orang berkata apa.”
Rasio: “Oh, I see. Lantas ada orang yang membuatmu keluar dari ruang itu, gitu?”
Hati: ”Yup. Banyak orang bilang, kesendirian itu jangan terlalu dibiasain. Mereka juga bilang, aku harus mulai belajar percaya dan berbagi dengan orang lain. Karena, kata mereka, biar gimanapun aku nggak bisa hidup sendiri.”
Rasio: ”Lho, betul itu. Masa selamanya kamu bakal hidup sendiri? Aku nggak akan bicara soal manusia sebagai makhluk sosial, itu terlalu klasik. Tapi rasain sendiri deh, bukankah dunia terasa lebih indah kalau kita berbagi dengan orang?”
Hati: ”Nggak juga. Aku justru ngerasa nggak nyaman kalau orang terlalu banyak tahu tentang diriku, tentang apa yang aku rasain.”
Rasio: ”Oh ya? Lalu gimana kalau suatu saat kamu butuh orang untuk bicara? Bukankah itu artinya kamu juga butuh didengar? Butuh curhat?”
Hati: ”Ya, adakalanya emang seperti itu. Tapi kebutuhan itu seringkali tercukupi lewat perbincangan dengan jiwa. Kalaupun aku berbagi dengan orang, itu bukan untuk sesuatu yang esensial. Hanya sesuatu di permukaan.”
Rasio: ”Nggak pernah mencoba punya temen dekat yang bisa kamu percayai dan kamu ngerasa nyaman berbagi dengannya?”
Hati: ”Nope. Udah jadi bagian dari sejarah, bahwa aku selalu terluka oleh orang-orang yang semula kuanggap dekat. Lambat laun aku tak lagi bisa percaya siapapun kecuali diriku sendiri.”
Rasio: “Wah, kamu punya masalah kalau gitu.”
Hati: “Oh ya? Aku nggak ngerasa punya masalah tuh. Justru masalah muncul ketika aku ngerasa terlalu banyak berbagi sama orang.”
Rasio: “Berbagi sama orang kok jadi masalah?”
Hati: ”Ya. Ketika kita membuka diri pada orang, tak bisa dipungkiri akan timbul keterkaitan emosi dengan orang itu. Timbul perasaan mempercayai dan dipercayai. Kalau hal itu berlangsung terus menerus, akan timbul semacam ketergantungan yang adiktif dengan orang yang bersangkutan. Lantas kita akan merasa rindu untuk selalu berbagi dengannya. Dan, boom! Tiba-tiba tanpa kita sadari, orang itu sudah tahu diri kita luar-dalam, lahir-batin.”
Rasio: ”Itu namanya kedekatan. Bukankah hal itu menceriakan, menghangatkan?”
Hati: ”Bagiku tidak. Ceria dan hangat itu kan cuma di permukaan. Justru kita akan sakit banget kalau ternyata orang seperti itu tiba-tiba mengkhianati kita, padahal antara kita dan dia sudah tak ada lagi sekat.”
Rasio: ”Ah, kamu terlalu skeptis.”
Hati: ”Bukan skeptis. Luka hati paling menyakitkan justru datang dari orang-orang dekat, orang-orang yang selama ini kita labuhkan asa padanya, orang-orang yang kita kira bisa kita percayai. Dan bukan cuma itu. Bagiku, ketergantungan juga menyebalkan. Kita jadi susah ke mana-mana sendiri, ngerasa nggak utuh tanpa orang itu, ngerasa takut kehilangan. Jadi nggak mandiri. Nggak banget.”
Rasio: “Mmm...”
Hati: “Aku paling benci tergantung sama orang. Dan buatku, merindukan seseorang yang dekat dengan kita, bikin kita malah nggak bisa ngapa-ngapain, kangen melulu. Itulah sebabnya aku nggak pernah melibatkan diriku terlalu dalam dengan orang lain.”
Rasio: ”Lalu gimana halnya dengan pasangan hidup? Bukankah suatu saat nanti kamu juga bakal menikah? Bukankah pasangan kamu nanti bakal jadi orang dekatmu?”
Hati: “Ya, tentu. Itu hal yang tak bisa dihindari. Hanya saja, terhadap pasangan hidup kita sekalipun, kita berhak memutuskan hal apa yang bisa kita bagi dan hal apa yang kita pengen simpan sendiri. Dia nggak berhak menuntut kita membuka diri kita sepenuhnya. Kita berhak atas ruang untuk sendiri.”
Rasio: “Ck ck ck... segitunya kamu.”
Hati: “Tentu saja. Bagiku, hak untuk tidak berbicara sama besarnya dengan hak untuk bicara. Bukan manusia namanya kalau dia nggak punya privasi. Bukankah tiap manusia berhak atas kebebasan dan keleluasaan pribadi? Bodoh sekali orang yang nggak bisa paham akan hal itu.”
Rasio: ”Iya sih. Cuma, menurutku kamu terlalu mengagungkan kesendirian.”
Hati: “Bukan mengagungkan kesendirian. Hanya memilih untuk tidak terlalu dekat sama orang. Karena kedekatan berarti ketergantungan. Dan ketergantungan bikin kita kecanduan. It sucks!”
Rasio: ”Dasar paranoid.”
Hati: (tertawa penuh kemenangan).
Tuesday, August 23, 2005
My Spiritual Advisers
Satu hal yang paling menyenangkan dari kehidupan mahasiswa adalah: ada banyak sekali kesempatan untuk memperkaya ilmu dan mengembangkan pola pikir. Tak hanya ilmu dalam artian materi kuliah, melainkan juga ilmu tentang hidup dan kehidupan.
Sejak duduk di bangku kuliah dan mengecap status menjadi mahasiswa, saya kerap bertemu dengan orang-orang yang menurut saya hebat. Mereka mengajarkan nilai-nilai, memberi masukan-masukan berharga, serta meluruskan cara pandang saya akan sesuatu. Hidup jadi terasa lebih bernas.
Dua dari orang-orang hebat itu adalah Yuti dan Zaki. Syukurlah mereka menjadi bagian dari hidup saya. Meskipun jarang berdiskusi lewat tatap muka, saya selalu merasa dekat karena senantiasa merutinkan diri membaca tulisan-tulisan mereka. Tulisan-tulisan itu membuat saya merenungkan berbagai hal, untuk kemudian diambil hikmahnya. Ingin benar saya mencontoh mereka yang selalu memandang hidup dengan cara yang positif. Dari mereka saya juga belajar tentang perenungan yang panjang atas hakikat hidup dan kesejatian pencarian.
Thanks to both of you, Guys! You are my inspirations.
Monday, August 22, 2005
Anak Komputer
Habis nonton, anak-anak ramai berceloteh mengungkapkan persepsinya masing-masing tentang Matrix. Namanya juga persepsi, tentu sarat dengan subjektivitas. Hehe, obrolan tentang persepsi ini sebenarnya aku yang menyulut. Habis pengen tahu, sejauh apa anak-anak mengapresiasi film ini.
Buatku, konsep Matrix nyambung sama kuliah Arsitektur Komputer. Analoginya bisa dijelaskan dengan cukup gamblang. Dunia matrix yang digambarkan dalam film merupakan interface antara dunia manusia dan dunia mesin. Dengan kode-kode digital yang melewati kanal-kanal informasi, manusia bisa berinteraksi dengan mesin. Jadi, diagramnya seperti ini: manusia <=> matrix sebagai interface <=> mesin. Nah, lalu Oracle yang dalam film digambarkan sebagai seorang wanita peramal, adalah operating system-nya. Makanya nggak aneh kalau dia serba tahu. Dia kan yang mengatur sistem interface-nya. Lalu, peran God (atau entah siapa disebutnya, pokoknya yang berjanggut dan berpakaian putih-putih) dalam Matrix Revolution bisa dianalogikan sebagai prosesornya, karena dia yang mengawasi, mengetahui, sekaligus memegang kendali seluruh sistem. Jadi selama ini, dalam mengapresiasi trilogi Matrix, aku memandangnya lewat kacamata yang kental dengan nuansa kuliah.
Rupa-rupanya, ada temen yang sependapat denganku. Hanya saja, menurut dia Oracle itu bukan operating system, melainkan data base. Makanya dia serba tahu, karena emang dia bagian yang nyimpen segala informasi. Trus si God itu yang jadi operating system-nya. Dia nggak mungkin jadi prosesor, karena cara kerjanya nggak mutlak. Toh dalam satu adegan, dia memberi kesempatan pada Neo untuk memilih. Aku manggut-manggut. Kayaknya pendapat temenku ini lebih masuk akal daripada versiku. Okelah, aku setuju. Tapi kalau begitu, siapa yang jadi prosesornya? Bagian mana yang menganalogikan si prosesor? Hehe, aku malah jadi bertanya-tanya sendiri, belum bisa menemukan penjelasan yang tepat. Maklum, kuliah sistem mikroprosesor belum lulus-lulus juga nih.
Di tengah perbincangan seru itu, ada juga temen yang garuk-garuk kepala. “Kok kalian mikirnya rumit gitu sih? Aku nggak pernah kepikir yang kayak gitu. Nonton mah nonton aja.” Hehe, namanya juga persepsi. Dalam hal ini, persepsiku cukup dipengaruhi oleh kuliah. Weiss, akhirnya ada juga aura-aura sebagai anak komputer :p
Bicara soal kuliah, semester ini masih full banget. Gimana TA-nya ya? Bagi Zaki, TA berarti Tugas Asyik. Bagi Yuti, TA berarti Tugas Ariani. Lah, kalau bagiku, TA berarti apa ya? Tugas Abstrak ’kali ya? Habis nggak pernah konkret, huehehehehe. Ah, kebanyakan becanda ni. Padahal udah masanya harus mulai serius. Kalau udah masuk ranah serius, rasanya dunia kok jadi kelihatan item-putih doang...
Sunday, August 21, 2005
Ve dan Semester Baru
Besok udah mulai kuliah lagi. Semester baru, semangat baru. Eh, semangat baru? Iya gitu? Aku pernah baca di Intisari, katanya intuisi itu berbatas tipis dengan realita. Jadi kalau kita punya afirmasi yang secara sadar atau tanpa sadar kita tanamkan berulang-ulang ke diri kita, maka realita yang terjadi akan mengikuti afirmasi itu, karena afirmasi telah berubah menjadi intuisi. Hehe, bingung tak? Pokoknya mah, positive thinking aja. Afirmasi negatif akan membuat realita ikut jadi negatif, afirmasi positif akan membuat realita ikut jadi positif.
Jadi kalau aku terus-terusan bilang cita-cita lulus Maret itu berat, mungkin bakal nggak jadi lulus Maret beneran gitu? Meskipun berat beneran, berarti harus bikin afirmasi positif nih. Oke Yus, kamu pasti bisa. Padahal semester ini masih 20 SKS. Huahahaha, ini mah, afirmasi positif yang skeptis. Mungkin aku harus bikin teori baru tentang mimpi yang jadi realita :p
Saturday, August 20, 2005
Fe
Balik ke Fe, kompie-ku itu bener-bener bawa kebahagiaan yang besar. Thanks to Papi, yang dengan gampang meluluskan keinginanku untuk punya kompie sendiri sejak awal tahun 2002 lalu. Segala hal jadi jauh lebih mudah sejak Fe hadir. Kalau diperhatikan, program yang paling sering digunakan ternyata Winamp dan Microsoft Office. Ya iyalah, kan paling seneng nulis sambil dengerin musik :) Pokoknya Winamp itu wajib.
Sayang, Fe kemarin kena virus. Udah gitu, Norton 2004 yang installer-nya pinjeman dari temen, ternyata trial version. Setelah expired, di-uninstall nggak bersih-bersih juga. Nggak tahu kenapa (ada yang bisa bantuin?). Wuih, nggak pantes banget jadi anak komputer. Habis ternyata aku gaptek juga :p
Friday, August 19, 2005
Damai di Kuta
Malam itu, menjelang tengah malam, Kuta menitipkan damai yang luar biasa ke dalam tiap penjuru relung hatiku. Cahaya yang berpendar warna-warni sepanjang jalan tak mampu menghalau sepi dan gulita yang merayapi Kuta. Daun-daun pohon yang melambai seolah meningkahi debur ombak di kejauhan. Kemilau bintang turut berdendang bersama sinar bulan di balik kapas awan yang bergeser pelan. Gelak tawa dan suara kecipak air mengiringi langkah tiga sobatku yang sedang berlarian.
Tapi aku tidak bersama mereka, meski ragaku nyata ada. Kakiku yang tak beralas memang tengah merasai lembut pasir Kuta, tapi jiwaku sibuk melayang bersama simfoni alam. Jantungku berdenyut bersama debur ombak yang memecah keheningan. Mataku mengerjap bersama cahaya bulan, yang dengan perlahan membuatku berkaca-kaca. Nafasku berhembus bersama belaian angin malam yang melantunkan orkes sunyi. Sementara telingaku menangkap suara seseorang yang tengah kurindu di seberang. Malam itu, segala ego rebah musnah. Hanya ada satu hasrat: menyatu dengan damai suasana.
Sungguh, tak mampu aku lukiskan malam itu dengan sebenar-benarnya. Lautan kata-kata takkan pernah cukup menggambarkan lautan damai yang berlimpah-limpah mengaliri hatiku. Ingin benar aku kembali ke sana, kembali berbagi damai dengan semesta Kuta menjelang tengah malam.
Wednesday, August 10, 2005
Kura-Kura
Seekor kura-kura senantiasa berjalan lambat-lambat dengan segala kesendiriannya. Kadang ia berhenti sejenak untuk mengamati sekitar, kemudian kembali melanjutkan pengembaraan dalam keterasingan. Ia bahagia bertemu dengan air. Ia bahagia bertemu dengan sesamanya. Namun, ketika ia terluka, ia akan sepenuhnya menarik diri dari dunia luar, dari hal-hal yang dirasa melukainya. Ia akan mengurung diri rapat-rapat dalam tempurungnya, hingga orang lain tak tahu apa yang dirasakannya di dalam sana.
Pun bagi saya, dunia luar selalu memberi sensasi-sensasi tak terbayangkan. Melukai dan dilukai. Mencintai dan dicintai. Melupakan dan dilupakan. Ternyata butuh perenungan yang panjang, untuk sekedar memahami hidup...
[Apakah itu sebabnya, kura-kura sering berusia puluhan hingga ratusan tahun?]
Tuesday, August 09, 2005
Ve
Bukan main terkejutnya aku kala mendapatinya tertunduk sedih dengan wajah berantakan. Aduh, makin compang-camping saja penampilannya. Bikin aku merana melihatnya.
Ve-ku sayang, bersabarlah. Kelak akan kubawa kau ke tempat orang yang bisa membuatmu cantik kembali.
(Ve adalah motorku tersayang. Kependekan dari velocity. Kaca lampu depan, kaca spion, dan kaca helmnya pecah berantakan ketika jatuh di parkir Landmark Braga kemarin. Untung dapat kompensasi ganti rugi.)
Thursday, July 28, 2005
Supermom
"You're a smart, social person who probably likes to have deep conversations, read books and magazines, and have a little think time to yourself. That's why we're not surprised that when it comes to motherhood, your super strength lies in your ability to connect with your kids.
Thursday, July 21, 2005
Cerita dari Bali [1]
Penyeberangan Ketapang-Gilimanuk
Nusa Dua, Bali [1]
Nusa Dua, Bali [2]
Siap-Siap Parasailing di Nusa Dua, Bali [1]
Siap-Siap Parasailing di Nusa Dua, Bali [2]
Siap-siap Parasailing di Nusa Dua, Bali [3]
Monday, July 11, 2005
TransJakarta
Aturan Offside Baru
Tuesday, July 05, 2005
Seorang Istri
Rubrik itu bercerita tentang Soekanto SA (75), seorang penulis cerita anak legendaris di negeri ini. Namanya langsung mengingatkan kita pada Si Kuncung, majalah anak pada akhir tahun 1950-an sampai pertengahan tahun 1970-an. Selain bercerita tentang hidupnya sebagai penulis cerita anak, ia juga sedikit berkisah tentang Surtiningsih, almarhumah istrinya, yang meninggal 3 Mei lalu dalam usia 67 tahun.
”Saya ini ’selamat’ karena ’digembala’ Ibu,” ujarnya, tersenyum. ”Dia keras, disiplin, dan tak bisa ditawar dalam prinsip. Rapor anak boleh merah, tetapi tidak akhlaknya. Dia sangat peka terhadap penderitaan orang lain dan selalu memberi contoh bertindak kepada kami.” Ia terdiam. Lalu memandang lurus tamunya dan berkata, ”Kita bicara hal-hal yang menyenangkan saja ya...”
Santi WE, satu dari lima putrinya, mengatakan bahwa tidak mudah bagi ayahnya ditinggal sang ibu. Bagi Soekanto, Surtiningsih bukan sekedar istri dan ibu dari sembilan anak mereka. Di dalam diri almarhumah, Soekanto yang memiliki ijazah sarjana di bidang keuangan negara menemukan kekuatan untuk menjalani hidupnya sebagai penulis. Surtiningsih juga dikenal sebagai penulis cerita anak pada zamannya.
”Kami bersyukur dengan hidup yang sangat sederhana sehingga, alhamdulillah, semua anak kami hidup produktif. Mereka rukun, saling mengasihi, saling membantu,” sambungnya. Itulah kebanggaannya, kebahagiaannya. Harapannya ke depan sangat bersahaja, seperti perjalanan hidupnya. ”Mudah-mudahan akhir hidup saya dipandang-Nya sebagai akhir yang baik. Saya boleh bertemu lagi dengan kekasih dan pendukung saya sepanjang hidup, istri saya,” tuturnya.
Ingin benar saya menjadi istri semacam itu. Menjadi pendukung utama suami, menjadi kekasih sepanjang hidup, dalam suka dan duka. Saling menguatkan, melengkapi, dan bahu-membahu dalam menghadapi hidup. Saling menjaga kasih, kehangatan, dan kebersamaan sampai usia senja. Kala hidup disayang dan dibutuhkan, kala tiada dirindukan. Agaknya, pepatah ”di belakang seorang laki-laki hebat selalu ada perempuan hebat” menjadi begitu benilai maknanya.
(Pfff, menulis tulisan ini benar-benar membuat mata saya berkaca-kaca...)
Kampung Halaman
Hari-hari ini ketika saya berkesempatan mengitari kota Solo kembali, ada sebongkah rasa haru membuncah. Solo masih sedamai yang dulu. Solo masih tetap menjadi kota yang tak pernah tidur, dengan banyaknya warung hik --warung gerobak sederhana yang buka malam hari-- bertebaran di seantero kota. Di situ orang-orang berkumpul melepas penat sehari sambil bertukar pikiran, bercanda, dan wedangan, juga sesekali mencomot kikil goreng atau tempe bacem.
Solo juga masih sebersahaja yang dulu. Meskipun resto-resto beken semacam Pizza Hut atau McDonald mulai membuka gerai-gerai baru, orang-orang masih suka pergi beramai-ramai ke warung lesehan di pinggir-pinggir jalan. Di Solo, beberapa warung pinggir jalan malah lebih beken dibanding resto-resto beken, seperti warung tenda sepanjang Kota Barat, warung susu segar asli Boyolali, warung jagung bakar di depan Kantor Pos Besar, warung masakan ayam di Purwosari, warung nasi liwet di bilangan Keprabon, warung hik Mbok Gerok di depan Ursulin, atau warung hik Pak Kumis di Manahan. Orang-orang harus berebut tempat dan mengantri lama kalau ingin bersantap di tempat-tempat itu.
Bicara tentang Solo juga berarti bicara tentang sejarah panjang sebuah kota. Mulai dari kerajaan Mataram yang terbagi dua menjadi Keraton Yogyakarta dan Keraton Surakarta (Solo) lewat perjanjian Giyanti, sampai terbaginya Keraton Surakarta menjadi Keraton Kasunanan dan Keraton Mangkunegaran. Bangunan-bangunan tua bersejarah beserta ritual adat kejawaan seolah menjadi budaya yang tak terpisahkan dari desah nafas masyarakat Solo.
Desing-desing akrab bahasa Jawa medhok yang selama ini asing di ranah Sunda, dapat dengan mudah saya ditemui di berbagai penjuru kota Solo. Kesopanan dan kehalusan bahasa yang menjadi ciri orang Solo selalu membuat saya merindukan kota ini habis-habisan. Bukan merupakan hal yang aneh lagi ketika seorang sopir angkot atau sopir bis kota berbahasa krama kepada penumpangnya. Sapaan-sapaan seperti “Badhe tindak pundi, Mbak?” atau “Mandhap mriki, Mbak?” menjadi biasa bertebaran di dalam angkot dan bis kota. Bahkan kemarin saya masih tercengang-cengang ketika membayar angkot, kakek tua yang menyopirinya tersenyum mengangguk sambil berkata, “Nggih. Maturnuwun, Mbak.”
Sayangnya, tidak selamanya Solo bersikap stagnan. Kerinduan saya pada kota ini sedikit menipis kala menyadari adanya perubahan-perubahan signifikan. Solo jadi seperti kehilangan karakteristik khasnya: pusat-pusat perbelanjaan megah dibangun di sana sini; gaya hidup masyarakat lambat laun telah menggeliat menjadi lebih konsumtif dan borjuis; sikap masyarakat yang cenderung nrima mulai berubah menjadi lebih egois, semau gue, dan sulit diatur (masih ingat bagaimana Solo luluh lantak saat kerusuhan Mei 1998?); jumlah sepeda motor mulai tersisih oleh banyaknya mobil berseliweran akibat gengsi yang berlebihan; atau yang paling menyedihkan, lunturnya kebanggaan berbahasa Jawa di kalangan generasi muda (terutama usia pelajar). Saya sering geleng-geleng kepala menyaksikan mereka lebih merasa akrab berbincang dengan bahasa Indonesia. Tak ada salahnya memang, tapi kalau lantas mereka mulai meninggalkan bahasa Jawa sama sekali, pasti ada yang salah dengan “kejawaannya”. Jangankan berbahasa krama kepada orang tua, berbicara Jawa dengan teman sebaya saja mereka masih terbata-bata. Ck… ck…
Yah, berubah atau tidak berubah, Solo masih tetap kota kelahiran saya. Meskipun kedamaian dan kebersahajaan sedikit demi sedikit mulai terkikis, saya berharap masih ada nilai-nilai adiluhung bertahan dari generasi ke generasi. Saya tahu Solo tidak berubah sendirian. Mungkin demikian juga halnya dengan kota-kota lain di tanah Jawa yang dulu tampak sangat proletar dan tradisional. Berpuluh-puluh tahun ke depan saat Solo (mungkin sudah) kehilangan wajah aslinya, saya akan tetap punya kenangan manis tentang kejawaan, kedamaian, dan kebersahajaan kota ini. Dan kenangan itu pulalah yang akan selalu membawa saya menjejakkan kaki kembali di kota ini.
Menghargai Perbedaan
Sejak bergabung dengan sebuah komunitas setahun silam, saya merasa lebih dewasa dalam memandang perbedaan. Saya bongkar habis-habisan pola pikir yang homogen dan cara pandang yang sempit itu. Saya belajar dari karakter mereka yang heterogen, bahwa perbedaan seharusnya tidak menjadi masalah besar. Saya banyak bertanya, berdiskusi, mendengar, dan membaca. Kunci menghargai perbedaan ternyata sederhana saja: open minded dan tidak menghakimi. Dengan dua hal itu saja, kita mampu memandang berbagai hal dengan cara yang berbeda. Akibatnya, kita lebih mudah berempati dan memahami orang lain. Kita tidak akan merasa paling benar. Kita akan merasa nyaman berada di mana saja tanpa merasa tidak aman terhadap konfrontasi yang berlebihan. Wacana berpikir kita pun menjadi lebih luas. Sebuah pembelajaran yang sangat berharga.
Sayangnya, saya masih sering bertemu dengan orang-orang yang kurang dewasa dalam menyikapi perbedaan. Mereka senantiasa menghakimi dan tidak mau berusaha memahami orang lain dengan cara pandang yang berbeda. Betapa membosankan dan menyebalkannya bertemu dengan orang-orang seperti ini. Mungkin mereka terlalu lama berkubang dalam sebuah komunitas homogen yang menjunjung tinggi keseragaman...
(Wake up, Guys! Get real! Nggak usah hidup di dunia kalo nggak mau ketemu sama yang namanya perbedaan.)