Sebulan telah berlalu semenjak kaki ini menapak Kuta. Rangkaian perjalanan meninggalkan banyak kisah, tapi tak ada yang sebanding dengan damai yang kurasa malam itu di tepian Kuta.
Malam itu, menjelang tengah malam, Kuta menitipkan damai yang luar biasa ke dalam tiap penjuru relung hatiku. Cahaya yang berpendar warna-warni sepanjang jalan tak mampu menghalau sepi dan gulita yang merayapi Kuta. Daun-daun pohon yang melambai seolah meningkahi debur ombak di kejauhan. Kemilau bintang turut berdendang bersama sinar bulan di balik kapas awan yang bergeser pelan. Gelak tawa dan suara kecipak air mengiringi langkah tiga sobatku yang sedang berlarian.
Tapi aku tidak bersama mereka, meski ragaku nyata ada. Kakiku yang tak beralas memang tengah merasai lembut pasir Kuta, tapi jiwaku sibuk melayang bersama simfoni alam. Jantungku berdenyut bersama debur ombak yang memecah keheningan. Mataku mengerjap bersama cahaya bulan, yang dengan perlahan membuatku berkaca-kaca. Nafasku berhembus bersama belaian angin malam yang melantunkan orkes sunyi. Sementara telingaku menangkap suara seseorang yang tengah kurindu di seberang. Malam itu, segala ego rebah musnah. Hanya ada satu hasrat: menyatu dengan damai suasana.
Sungguh, tak mampu aku lukiskan malam itu dengan sebenar-benarnya. Lautan kata-kata takkan pernah cukup menggambarkan lautan damai yang berlimpah-limpah mengaliri hatiku. Ingin benar aku kembali ke sana, kembali berbagi damai dengan semesta Kuta menjelang tengah malam.
No comments:
Post a Comment