Ada suatu masa dalam hidupku di mana aku mempertanyakan begitu banyak hal. Peristiwa demi peristiwa yang terjadi membuatku terjun ke titik nadir dan memaksaku merenungi kembali seluruh kisah itu. Lalu pertanyaan-pertanyaan yang tak kutahu jawabnya mendesak-desak ke permukaan sadar. ”Kenapa aku jadi seperti ini?” ”Apa yang sebenarnya telah dan sedang terjadi?” ”Apa yang salah?” ”Aku harus bagaimana?”
Pusing juga. Lalu malam-malam berlalu dengan tangis berkepanjangan, putus asa tiada akhir, gugatan-gugatan yang tak jelas ditujukan kepada siapa. Aku letih. Sepertinya dulu aku tidak seperti ini. Aku tumbuh dengan kasih sayang dan cinta. Aku berbagi tawa dan aktivitas. Lalu sejak kapan aku merasa asing dengan diriku sendiri?
Tanpa kusadari aku telah berubah jadi orang jahat, oportunis, pragmatis, sangat introvert, cenderung menarik diri dari orang banyak, suka meributkan hal-hal remeh, moody, dan labil. Ke mana perginya gadis itu, yang dulu selalu menganggap hidup itu menyenangkan? Ke mana perginya senyum dan tawa itu? Ke mana perginya kehangatan teman dan keluarga itu? Aku tak tahu.
Tampaknya aku harus mulai mendefinisikan ulang kehidupan yang kacau balau ini. Kembali mengambil kontrol. Mengendalikan perasaan, bukan dikendalikan perasaan. Kembali tersenyum, menegakkan kepala, dan meneriakkan dengan lantang, ”I don’t wanna be gloomy. I’m a tough girl. I want my life back!”
Bukankah cinta akan selalu ada bagi mereka yang punya keyakinan? Bukankah bahagia itu milik semua orang? Bukankah harapan akan selalu membuat kita tetap hidup?
Pusing juga. Lalu malam-malam berlalu dengan tangis berkepanjangan, putus asa tiada akhir, gugatan-gugatan yang tak jelas ditujukan kepada siapa. Aku letih. Sepertinya dulu aku tidak seperti ini. Aku tumbuh dengan kasih sayang dan cinta. Aku berbagi tawa dan aktivitas. Lalu sejak kapan aku merasa asing dengan diriku sendiri?
Tanpa kusadari aku telah berubah jadi orang jahat, oportunis, pragmatis, sangat introvert, cenderung menarik diri dari orang banyak, suka meributkan hal-hal remeh, moody, dan labil. Ke mana perginya gadis itu, yang dulu selalu menganggap hidup itu menyenangkan? Ke mana perginya senyum dan tawa itu? Ke mana perginya kehangatan teman dan keluarga itu? Aku tak tahu.
Tampaknya aku harus mulai mendefinisikan ulang kehidupan yang kacau balau ini. Kembali mengambil kontrol. Mengendalikan perasaan, bukan dikendalikan perasaan. Kembali tersenyum, menegakkan kepala, dan meneriakkan dengan lantang, ”I don’t wanna be gloomy. I’m a tough girl. I want my life back!”
Bukankah cinta akan selalu ada bagi mereka yang punya keyakinan? Bukankah bahagia itu milik semua orang? Bukankah harapan akan selalu membuat kita tetap hidup?