Pekan kemarin adalah pekan yang penuh dengan aura pernikahan. Kamis 20 Oktober 2005/16 Ramadhan 1426 H, sepasang teman melangsungkan pernikahan di Masjid Salman. Semalam sebelumnya, aku merenungkan banyak hal tentang pernikahan mereka dan bagaimana aku menatap masa depan. Hmmph...
Saat pernikahan mereka dilangsungkan, air mata meleleh di kedua pipiku. Berbagai hal berkecamuk dalam benak. Berbagai rasa berlarian dalam dada. Allah Maha Tahu betapa aku juga ingin menyegerakan pernikahanku. Telah begitu banyak hal terjadi...
”Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. Ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya. (Mereka berdoa): ’Ya Tuhan kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau kami tersalah. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau bebankan kepada kami beban yang berat sebagaimana Engkau bebankan kepada orang-orang yang sebelum kami. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau pikulkan kepada kami apa yang tak sanggup kami memikulnya. Beri maaflah kami; ampunilah kami; dan rahmatilah kami. Engkaulah Penolong kami, maka tolonglah kami terhadap kaum yang kafir’.” (Q.S. 2: 286)
Ahad 23 Oktober 2005, seorang teman lain berkata padaku, ”Yus, aku batal menikah.” Aku tercenung mendengarnya. Persiapan pernikahannya telah memakan waktu berbulan-bulan dengan begitu banyak usaha kompromi dan ikhtiar berlapang dada. Kedua keluarga sudah bertemu, persiapan tinggal finishing, bahkan gedung sudah hampir dipesan. Karena perbedaan dalam satu hal prinsip, mereka memutuskan untuk tidak melanjutkan proses pernikahan. Allah... beginikah jadinya kalau kehendak-Mu yang bicara?
”...Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.” (Q.S. 2: 216)
Pekan kemarin adalah pekan yang penuh dengan tanya dalam benak, tentang sebuah tahapan kehidupan bernama pernikahan...
Saat pernikahan mereka dilangsungkan, air mata meleleh di kedua pipiku. Berbagai hal berkecamuk dalam benak. Berbagai rasa berlarian dalam dada. Allah Maha Tahu betapa aku juga ingin menyegerakan pernikahanku. Telah begitu banyak hal terjadi...
”Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. Ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya. (Mereka berdoa): ’Ya Tuhan kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau kami tersalah. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau bebankan kepada kami beban yang berat sebagaimana Engkau bebankan kepada orang-orang yang sebelum kami. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau pikulkan kepada kami apa yang tak sanggup kami memikulnya. Beri maaflah kami; ampunilah kami; dan rahmatilah kami. Engkaulah Penolong kami, maka tolonglah kami terhadap kaum yang kafir’.” (Q.S. 2: 286)
Ahad 23 Oktober 2005, seorang teman lain berkata padaku, ”Yus, aku batal menikah.” Aku tercenung mendengarnya. Persiapan pernikahannya telah memakan waktu berbulan-bulan dengan begitu banyak usaha kompromi dan ikhtiar berlapang dada. Kedua keluarga sudah bertemu, persiapan tinggal finishing, bahkan gedung sudah hampir dipesan. Karena perbedaan dalam satu hal prinsip, mereka memutuskan untuk tidak melanjutkan proses pernikahan. Allah... beginikah jadinya kalau kehendak-Mu yang bicara?
”...Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.” (Q.S. 2: 216)
Pekan kemarin adalah pekan yang penuh dengan tanya dalam benak, tentang sebuah tahapan kehidupan bernama pernikahan...
No comments:
Post a Comment