Setengah delapan malam kurang seperempat, aku berjalan menaiki pintu masuk yang berundak-undak. This is my first time, jadi setelah karcis masuk kuserahkan, aku segera memandang berkeliling. Dari pintu masuk, aku sampai di pelataran temaram yang bersuasana khas Jawa. Cahaya-cahaya lilin berpendaran menentramkan. Petugas berbusana adat Jawa sibuk mengatur dan menunjukkan posisi tempat duduk kepada audiens. Tak jauh dari kolam bersinarkan lampu hijau redup, ada seperangkat meja-kursi dari balok kayu. Di dekatnya ada dua gazeebo. Satu gazeebo bertuliskan coffe shop, tempat audiens bertiket VIP menukarkan kupon soft drink. Satu gazeebo lain sedang berdendang melantunkan tembang-tembang Jawa, lengkap dengan sinden dan penabuh gamelan. Waktu aku berdiri di depan gazeebo itu menikmati lantunan tembang, semilir angin makin lama makin membuai rasa. Gileeee... baru masuk aja udah keren banget... Tak lupa foto-foto ala wong ndeso :p
Jalan ke panggung open air masih berupa undakan. Alhamdulillah kami mendapat tempat duduk yang sangat ideal, meskipun itu berarti harus merogoh kocek sedikit lebih dalam. Di depan, belakang, dan samping kami semuanya Mr/Mrs Bule. Serasa jadi bule nih ;) Panggung gelap di bawah sana masih bisu. Latar belakangnya Candi Prambanan dan langit malam yang berbintang-bintang. Keren bangettttt...
Jalan cerita sendratari akan aku ceritakan di postingan berikutnya. Pokoknya asli keren banget. Pagelaran berlangsung dua jam diselingi masa istirahat lima belas menit, didukung oleh ratusan penari dan puluhan macam kostum, serta didukung oleh lighting ribuan watt yang memukau. Tata panggungnya juga asyik: ada banyak celah tempat keluar penari, dua di antaranya dari barisan bangku audiens. Two thumbs up buat penabuh gamelan yang dari awal sampai akhir menghidupkan cerita dengan iringan gamelan yang rancak. Yang paling heboh saat adegan Anoman Obong: dua gubuk di belakang panggung dibakar dengan api yang bener-bener besar. Wah, asli keren. Mungkin memang masih kalah gempita dibanding pagelaran Megalitikum Kuantum di Jakarta beberapa waktu lalu. Tapi harap diingat, Sendratari Ramayana tetap lebih unggul karena ia digelar tiap beberapa hari sekali dengan effort yang sama per penampilan. Bandingkan dengan Megalitikum Kuantum yang meski levelnya sangat besar tapi cuma digelar dua kali di Jakarta dan Bali.
Menyaksikan Sendratari Ramayana menyisakan beberapa hal dalam benak. Catatan pertama: ternyata masih ada sisi pariwisata kita yang seatraktif ini. Benar-benar nggak rugi menjadikan pengalaman menonton ini sebagai sesuatu yang berharga. Ternyata audiens nggak masalah tuh dengan harga tiket kalau memang yang disuguhkan sebanding. Pelajaran untuk pariwisata kita secara keseluruhan, bahwa usaha untuk meningkatkan kualitas pariwisata (bolehlah kalau berimbas pada harga tiket) LEBIH PENTING daripada mengeluhkan sedikitnya dana yang akhirnya membuat pengurus ogah-ogahan meningkatkan kualitas objek wisatanya. Duh, jadi merana kalau ingat pertunjukan wayang orang di Gedung Wayang Orang Sriwedari, Solo, yang sepi pengunjung.
Catatan kedua: bagi siapapun yang ingin menyaksikan Sendratari Ramayana, ada baiknya paham dulu jalan cerita pewayangan kita. Kalau nggak, bisa bingung setengah mati karena pagelaran ini minim dialog. Kalaupun ada, paling-paling berupa selipan tembang berbahasa Jawa di sana-sini. Nanti bisa bingung yang mana itu Lesmana, Jatayu, Indrajid, Kumbakarna, Sugriwa, apalagi Subali.
Hayooo yang ngaku orang Jawa, gimana... ngerti nggak? Sok-sokan banget aku nih. Padahal tanpa Papi yang malam itu bertindak sebagai translator adegan, aku juga nggak akan ngerti jalan ceritanya :p Wah, wayang memang kesukaan Papi. Bertahun-tahun lalu saat aku dan kakakku masih kecil, saat anak-anak lain didongengi kisah peri, putri, dan pangeran, kami kenyang menelan wayang sebagai dongeng pengantar tidur. Aku, kakakku, dan adikku sama-sama pernah merasakan malam minggu di Gedung Wayang Orang Sriwedari, melihat pertunjukan wayang orang sambil terkantuk-kantuk. Thanks to Papi, yang telah memperkenalkan dunia pewayangan ke dalam dunia kami, hingga aku merasa bangga terlahir menjadi orang Jawa (biarin narsis :D ). Nggak tahu apakah aku juga akan menurunkannya pada anak-anakku kelak, mengingat dunia pewayangan itu sedikit demi sedikit mulai terkikis dari ingatanku.
No comments:
Post a Comment