Monday, December 20, 2021

Selamat Tinggal, 2021!

Aku bukan tipe orang yang gemar beresolusi. Kalaupun ada target-target yang ingin kucapai, biasanya aku hanya mencantumkannya dalam daftar keinginan. Menoleh kembali ke belakang, sepanjang 2021 beberapa daftar keinginan ternyata tidak berhasil tercapai. Sebaliknya, beberapa hal indah di luar ekspektasi malah tercapai tanpa perencanaan.

Dalam kehidupan keluarga, keinginan yang akhirnya menjadi kenyataan adalah berakhirnya masa Long Distance Marriage (LDM) setelah tiga belas tahun. Ya, akhirnya aku, suami, dan anak-anak tinggal serumah seperti impian kami selama ini. Meskipun lokasinya bukan di Bandung seperti cita-citaku, ya sudahlah … yang penting kami semua bisa bersama-sama. Hal ini tidak ada dalam perencanaan jangka panjang sebelumnya. Langkah riil untuk bisa pindah baru kami mulai sekitar 2019 dan alhamdulillah Allah mudahkan, baik dalam hal mencari tempat tinggal, mencari sekolah anak-anak, maupun urusan mutasi pekerjaanku.

Dalam hobi olahraga, ada satu keinginan yang gagal tercapai, yaitu mengikuti pelatihan dan sertifikasi pelatih kebugaran. Kesibukan yang cukup menyita waktu dan jadwal yang belum pas menjadi penyebabnya. Namun, ada hal-hal indah yang Allah karuniakan dalam hobiku sebagai pelari rekreasional.

HM pada Pocari Sweat Run Indonesia, Oktober 2021

Yang pertama adalah target Half Marathon (HM). Sejak berhasil ikut race 10 km perdana pada 2020, aku sudah mencanangkan untuk bisa mewujudkan HM pada 2021. Tak disangka, bukan saja berhasil melaksanakannya, aku malah berhasil melakukan HM dua kali! Yang pertama adalah HM mandiri pada bulan April, yang kedua adalah HM pada pergelaran Pocari Sweat Run Indonesia pada bulan Oktober dengan perolehan waktu yang jauh lebih baik dibanding yang pertama.

Capaian podium pada IAE Virtual Runcovery, November-Desember 2021

Pencapaian kedua dalam kaitannya dengan hobi berlari adalah keberhasilan menggapai podium. Sungguh, selama enam tahun berlari, baru kali ini aku mendapatkan podium, hahaha. Podium pertama kudapatkan saat pergelaran IAE Virtual Runcovery untuk kategori berikut ini:

  • Juara kedua kategori top days accumulative (Tim CiYus AH): tim kedua tercepat yang menyelesaikan 42,2 km per orang (30 hari 6 jam 1 menit)
  • Juara pertama kategori ultimate furthest team run (Tim CiYus AH): 527 km selama sebulan
  • Juara kedua kategori furthest individual run (perseorangan): 155 km selama sebulan

Hasil lariku untuk Hyped Team

Hasil lariku untuk IAEsthetic Runner

Podium berikutnya kudapatkan saat pergelaran ITB Ultra Marathon akhir pekan kemarin. Dalam event ini aku tergabung di dalam dua tim yang sama-sama berlaga pada kategori T10 female (jarak 100 km dilarikan oleh 10 pelari dengan jarak tempuh masing-masing 10 km). Tim pertama adalah IAEsthetic Runner dari jurusan Teknik Elektro, tim kedua adalah Hyped Team dari MamahGajahBerlari. Setelah berlatih berminggu-minggu, selama dua hari berturut-turut aku berhasil menorehkan Personel Best melampaui catatan waktu lari sebelumnya. Alhasil dalam leaderboard, IAEsthetic Runner menduduki posisi kedua dan Hyped Team menduduki posisi ketiga.

Leaderboard ITB Ultra Marathon 18-19 Desember 2021

Dalam lomba lari yang dipertandingkan secara tim, aku tak menafikan kenyataan bahwa anggota-anggota tim yang lain berlari lebih kencang daripada aku. Memang betul aku masih menjadi personel yang paling lambat, tetapi pencapaian ini merupakan prestasi pribadi karena pace lariku makin membaik seiring berjalannya waktu.

Lalu daftar keinginan apa yang ingin kubuat untuk 2022? Tak muluk-muluk, aku ingin lebih mudah beradaptasi dengan lingkungan kantor baru. Kemudian, aku juga masih berkeinginan untuk mengikuti pelatihan dan sertifikasi pelatih kebugaran suatu hari nanti sebagai prasyarat menjadi postnatal corrective exercise specialist. Untuk hobi berlari, aku masih akan berkutat pada program race 10 km dan HM, tetapi dengan target perolehan waktu yang lebih baik. Mudah-mudahan tahun depan aku bisa finis dengan strong pada lomba-lomba lari yang kuikuti, syukur-syukur bisa mendapat podium kembali.

Monday, December 13, 2021

Gawai dan Produktivitas

Aku pernah menulis di sini tentang bagaimana gawai dapat membuat seseorang menjadi antisosial dan teralienasi dari orang-orang terdekat. Nilai positifnya tentu ada, dalam kaitannya dengan kepraktisan dan kemudahan. Memang gawai ini bagaikan dua sisi mata pisau, tinggal bagaimana kita menggunakannya. Lantas bagaimana hubungan antara gawai dengan produktivitas seseorang?

Dalam era kapitalisme seperti sekarang ini, dunia dikuasai oleh kaum pemodal. Dengan tatanan dunia baru yang mereka ciptakan, tujuan mereka adalah menguasai sumber daya demi mendapatkan keuntungan (materi) sebanyak-banyaknya. Dunia digital dan media adalah salah satu alat yang mereka gunakan untuk mencapai tujuan itu.

Oleh karena itu, tak mengherankan jika banyak komoditas yang mereka ciptakan sedemikian rupa sehingga menimbulkan ketergantungan masyarakat dengan harapan supaya orang mau melakukan apa saja untuk mendapatkannya. Sebut saja gawai jenis terbaru, aplikasi-aplikasi terkini, media sosial, game, atau produk-produk dunia digital lainnya, yang membuat generasi zaman sekarang begitu takut tertinggal dari lingkungannya jika tidak ikut serta memiliki atau menggandrungi (fear of missing out atau FOMO).

Jika dihubungkan dengan tugas utama kita sebagai hamba Allah, yaitu untuk menjadi khalifah di muka bumi dan untuk beribadah kepada-Nya, keriuhan dunia ini bisa jadi sangat melenakan. Alih-alih memikirkan kebermanfaatan kita untuk umat, kita malah sibuk memikirkan konten yang laku, sibuk scrolling media sosial, sibuk berjoget Tik-Tok, atau yang lainnya. Bahkan kadang-kadang kita jadi melalaikan waktu salat karena terlalu lama melihat-lihat feed Instagram atau Facebook. Astaghfirullah

Lalu apa yang harus kita lakukan? Apakah kita harus menghindari gawai sama sekali? Tentu bukan begitu kesimpulannya. Kemajuan teknologi harus didudukkan sesuai porsinya, sesuai dengan makna produktivitas menurut kacamata seorang muslim. Jika tidak demikian, kemajuan teknologi–termasuk gawai–justru dapat menimbulkan kehancuran. Kita produktif bekerja bukan sekadar untuk menjadi kaya, tetapi juga untuk beribadah karena Allah perintahkan demikian. Begitu juga halnya dengan gawai. Jika kita gunakan untuk produktif beribadah, insyaallah gawai akan mendatangkan kemaslahatan.

Beberapa langkah sederhana yang bisa kita lakukan:

  • Memastikan gawai digunakan untuk hal-hal produktif yang mendukung kebaikan, misalnya: untuk mengikuti kajian, untuk bekerja halal, untuk belajar, dll.
  • Memastikan gawai terhindar dari konten negatif, ujaran kebencian, dan hal-hal yang merusak atau mendukung keburukan.
  • Memastikan kita tidak menyibukkan diri untuk melakukan hal-hal yang sia-sia dengan gawai, misalnya: scrolling media sosial tanpa tujuan, ngepoin berita artis, dll.
  • Meningkatkan kebermanfaatan kita melalui gawai yang kita punya. Ini ada banyak caranya, misalnya: membuat tutorial memasak, tutorial yoga, tutorial berkebun, atau hal-hal lain sesuai kompetensi kita.

Yuk, kita maksimalkan gawai yang kita punya untuk kebaikan. Insyaallah manfaatnya akan kembali ke diri kita. Produktivitas tidak dinilai semata-mata dari hal-hal yang bersifat fisik atau materi yang kita miliki, tetapi juga dari keridaan Allah kepada kita.

Monday, December 06, 2021

Produktif dalam Bekerja

Bicara soal sifat produktif, tentu definisinya berbeda-beda tergantung siapa yang memandangnya. Menurut KBBI, produktif artinya bersifat atau mampu menghasilkan; mendatangkan (memberi hasil, manfaat, dan sebagainya); atau menguntungkan. Sebagai seorang manusia dan hamba Allah, mari kita mencoba untuk memahami makna produktif dalam bekerja melalui kacamata seorang muslim.

“Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat, ‘Aku hendak menjadikan khalifah di bumi.’ Mereka berkata, ‘Apakah Engkau hendak menjadikan orang yang merusak dan menumpahkan darah di sana, sedangkan kami bertasbih memuji-Mu dan menyucikan nama-Mu?’ Dia berfirman, ‘Sungguh, Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.’” (Q.S. Al Baqarah: 30)

“Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka beribadah kepada-Ku.” (Q.S. Adz Dzariyat: 56)

Dua tugas utama kita sebagai hamba Allah adalah menjadi khalifah di muka bumi dan beribadah kepada-Nya. Jadi, dua hal ini harus menjadi landasan kita dalam berpikir dan bertindak, termasuk dalam hal produktivitas. Kemudian ada juga hadis yang mengatakan bahwa seorang muslim juga dinilai dari aspek kebermanfaatannya. Rasulullah SAW dalam hal ini bersabda, "Sebaik-baik manusia di antaramu adalah yang paling banyak manfaatnya bagi orang lain." (H.R. Bukhari).

Setiap insan tentu dikaruniai kelebihan, kemampuan, potensi, dan peran yang berbeda-beda. Ada orang yang berkarir di luar rumah dan ada juga yang bekerja dari dalam rumah. Apapun peran bekerja yang mereka jalankan, aktivitasnya tersebut tentu juga bernilai pahala karena produktif bekerja dan mencari nafkah sesungguhnya juga perintah Allah.

“Apabila salat telah dilaksanakan, maka bertebaranlah kamu di bumi; carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak agar kamu beruntung.” (Q.S. Al Jumuah: 10)

Ayat di atas mengandung perintah untuk bertebaran di bumi dalam rangka bekerja dan berbisnis; untuk mencari karunia Allah dalam bentuk rezeki yang halal dan berkah. Tentunya perintah tersebut juga diiringi dengan perintah untuk mengingat Allah ketika salat maupun ketika bekerja agar menjadi pribadi yang beruntung.

Selain itu, masih ada beberapa hadis tentang bekerja sebagai berikut.

“Barangsiapa yang di waktu sore merasa capek (lelah) lantaran pekerjaan kedua tangannya (mencari nafkah) maka di saat itu diampuni dosa baginya.” (H.R. Thabrani).

“Tidak ada seseorang yang memakan satu makanan pun yang lebih baik dari makanan hasil usaha tangannya (bekerja) sendiri. Dan sesungguhnya Nabi Allah Daud as. memakan makanan dari hasil usahanya sendiri.” (H.R. Bukhari)

“Tidak ada yang lebih baik dari usaha seorang laki-laki kecuali dari hasil tangannya (bekerja) sendiri. Dan apa saja yang dinafkahkan oleh seorang laki-laki kepada diri, istri, anak dan pembantunya adalah sedekah.” (H.R. Ibnu Majah).

Produktifnya muslim dalam bekerja tidak hanya bernilai ibadah, tetapi juga dapat berpengaruh luas untuk kemaslahatan umat. Hal ini bukan hanya menjadikannya paripurna sebagai khalifah yang menunaikan kewajiban beribadah, melainkan juga meningkatkan nilai kebermanfaatan dirinya bagi umat.

Monday, November 22, 2021

Aku dan Kesehatan Mental

Menurut WHO, kesehatan mental adalah kondisi saat seorang individu merasa sejahtera, yang ditandai dengan kemampuan untuk mengetahui dan memaksimalkan potensi tersebut, kemampuan untuk mengelola stres kehidupan atau situasi yang menekan, serta kemampuan untuk bekerja secara produktif dan bermanfaat di tempat kerja, keluarga, dan komunitasnya [1].

Yang terjadi pada otak saat stres [1]

Tiga gangguan mental yang pernah mampir dalam kehidupanku ialah depresi ringan, baby blues, dan gangguan kecemasan. Depresi ringan kualami saat kuliah. Merasa kesulitan menghadapi perkuliahan dan merasa kesepian adalah beberapa penyebab depresiku saat itu. Secara umum, depresi ditandai dengan suasana hati yang selalu sedih, kehilangan motivasi, tidak percaya diri, mudah menangis, khawatir berlebihan, mudah tersinggung, dan cenderung menyakiti diri [1]. Aku membutuhkan waktu yang tidak sebentar untuk kembali bangkit, menumbuhkan self esteem dan self love, serta membangun citra diri yang positif. Aku tidak pergi ke psikolog, tetapi aku mendapat dukungan yang kubutuhkan dari calon suami.

Baby blues kualami setelah melahirkan anak pertama. Gegar terhadap kondisi sebagai ibu baru, ditambah dengan ketakutan, kekhawatiran, dan perilaku dari orang dekat yang terasa mengerdilkan, membuatku dirundung baby blues kala itu. Alhamdulillah sifatnya ringan saja. Pada persalinan-persalinan berikutnya aku sudah tahu trik yang harus kulakukan. Selain menghindari pihak-pihak yang toxic, aku berusaha lebih terhubung dengan diri dan bayi, baik saat hamil maupun setelah melahirkan.

Gangguan kecemasan kualami setelah pandemi hadir. Pada masa awal Covid-19 masuk ke Indonesia, aku dilanda kecemasan berlebihan. Apalagi saat itu aku memiliki bayi yang baru berusia beberapa bulan. Tiap malam kudekap bayi itu sambil berharap Covid-19 tidak pernah mampir ke rumah kami. Qadarullah suamiku terkena Covid-19 juga pada November 2020 sehingga harus dirawat di rumah sakit selama dua puluh lima hari. Meskipun kejadian itu sudah lama berlalu, hingga saat ini aku kadang-kadang masih terkena panick attack.

Gangguan mental bisa sangat mengganggu kehidupan dan aktivitas sehari-hari karena bersifat psikosomatik. Secara morfologi, psikosomatik berasal dari kata psyche (pikiran) dan soma (tubuh). Secara istilah, psikosomatik merupakan keluhan fisik yang diduga disebabkan atau diperparah oleh faktor mental, seperti stres dan rasa cemas [1].

Hubungan emosi dan fisik [2]

Gejala psikosomatik sebenarnya cukup tricky karena hasil pemeriksaan tubuh seseorang bisa jadi normal, tetapi dia merasakan gejala nyata berupa gangguan fisik. Ini tidak mengherankan karena sejatinya emosi dan fisik manusia itu saling berhubungan dan saling mendukung. Salah satu hipotesis yang dapat menjelaskan gangguan psikosomatik adalah emosi negatif yang dapat memengaruhi sistem otonom tubuh, keseimbangan hormon, serta imunitas tubuh sehingga jika seseorang merasakan emosi negatif yang berlebih, dia akan lebih rentan terkena penyakit [2].

Hormon-hormon kebahagiaan [3]

Seperti yang pernah kutulis di sini, salah satu cara untuk membuat otak dan mental kita sehat—selain dengan nutrisi—ialah dengan olahraga. Olahraga yang dilakukan dengan tepat dapat merangsang keluarnya hormon-hormon kebahagiaan. Hal inilah yang membuatku konsisten meluangkan waktu untuk berolahraga. Kesibukan yang berkejaran antara urusan domestik dan karir seringkali membuat fisik penat dan pikiran ruwet. Olahraga menjagaku tetap waras sehingga keletihan fisik dan mental dapat berkurang.

Sebagai poin terakhir, kesehatan mental juga dapat terpelihara dengan baik jika kita memperbaiki hubungan dengan Allah. Beberapa kali sesi terapi dengan psikolog tidak membawa hasil, aku malah “sembuh” dengan mengikuti kajian. Memang tidak semua kajian cocok untuk setiap orang, tetapi ada satu kajian yang benar-benar menyadarkanku tentang qadha dan qadar hingga akhirnya membuatku berpasrah kepada Allah. Ketika kita berada di titik nadir, berserah kepada Allah benar-benar memberi ketenangan.

"Sesungguhnya orang-orang yang berkata, 'Tuhan kami adalah Allah,' kemudian mereka tetap istiqamah, tidak ada rasa khawatir pada mereka, dan mereka tidak (pula) bersedih hati." (Q.S. Al-Ahqaf: 13)


Sumber:
[1] Happy Brain, dr. Kennia (2018)
[3] "Hidup Sehat, Bugar, dan Seimbang", Yustika (2020)

Monday, November 15, 2021

Olahraga, Yuk!

Seperti yang pernah kutulis di sini, asupan makan memberi pengaruh sebanyak 80% terhadap pola hidup sehat, sedangkan olahraga memberi pengaruh sebanyak 20% [1]. Meskipun porsinya jauh lebih sedikit, olahraga memegang peranan penting dalam pola hidup sehat secara keseluruhan. Kita harus berolahraga secara rutin minimal tiga puluh menit dalam sehari [2] karena tubuh kita membutuhkan haknya untuk bergerak aktif dan mendapatkan oksigen yang berkualitas. Jika hak ini diabaikan, sel-sel tubuh menjadi lemah.

Olahraga memiliki banyak manfaat untuk kesehatan fisik, di antaranya:

  • Menyehatkan jantung
  • Menguatkan tulang
  • Membuat kulit bersinar
  • Memperbaiki postur tubuh
  • Mengurangi rasa sakit dan nyeri
  • Mengoptimalkan komposisi tubuh
  • Mengontrol berat badan
  • Meningkatkan sirkulasi darah
  • Mengoptimalkan pasokan oksigen
  • Meningkatkan energi dan stamina
  • Meningkatkan kualitas tidur
  • Meningkatkan libido
  • Meningkatkan kekebalan tubuh
  • Menurunkan kadar kolesterol
  • Meningkatkan kinerja otak (lihat gambar di bawah)

Manfaat olahraga bagi otak [3]

Supaya memberikan hasil yang maksimal, olahraga harus disesuaikan dengan kondisi masing-masing orang. Berdasar indeks massa tubuh, olahraga untuk orang normal tentu berbeda dengan olahraga untuk orang yang overweight. Orang yang mengalami obesitas tidak boleh melakukan olahraga middle impact atau high impact karena membebani sendi dan jantung.

Olahraga yang optimal juga harus dilakukan sesuai kebutuhan dan tujuan. Ada kaidah-kaidah yang harus dipenuhi, yaitu sesuai rangkaian yang tepat (mulai dari pemanasan, gerakan inti, hingga pendinginan), memperhatikan intensitas dan volume, terukur dan terstruktur, serta terprogram atau rutin dilakukan [4]. Bila ditujukan untuk membakar lemak, olahraga sebaiknya dilakukan pada zona aerobik—yaitu ketika heart rate mencapai 80% dari heart rate maksimal—sehingga tubuh mengakses lemak sebagai sumber energi.

Nah, aku sering mendapatkan pertanyaan dari para ibu: apakah aktivitas domestik seperti menyapu, mengepel, naik-turun tangga, atau mengejar-ngejar anak itu termasuk olahraga? Jawabannya tidak, ya, Teman-Teman. Aktivitas-aktivitas tersebut termasuk Non-Exercise Physical Activity (NEPA) dan tidak bisa dikategorikan sebagai kegiatan olahraga [4][5]. Meskipun membuat kita berkeringat, NEPA tidak memenuhi kaidah olahraga seperti yang kutulis di atas. NEPA memang meningkatkan pembakaran kalori, tetapi kemampuannya untuk meningkatkan level kebugaran tidak sama dengan olahraga. Lagi pula olahraga tidak bisa dilihat hanya dari indikasi keluarnya keringat. Toh ketika kita sedang rebahan di kamar yang panas, kita juga berkeringat, bukan? Hahaha.

Manfaat olahraga bagi jiwa [3]

Selain bermanfaat untuk menyehatkan fisik, olahraga juga bermanfaat untuk menyehatkan mental, di antaranya:

  • Membuat bahagia
  • Mengurangi stres dan gejala depresi
  • Membantu berpikir positif tentang penerimaan diri
  • Meningkatkan mood
  • Memperbaiki fungsi kognitif dan memori
  • Memperbaiki body image dan rasa percaya diri

Mengingat banyak sekali manfaat olahraga untuk kesehatan fisik dan mental, rasanya kok sayang jika kita tidak meluangkan waktu untuk berolahraga. People will always make time for the things they want to do. Jika kita merasa sulit berkomitmen pada diri kita sendiri untuk berolahraga, itu berarti mungkin kita belum benar-benar menginginkannya. Berdasarkan pengalamanku, motivasi pribadi sangat berpengaruh terhadap komitmen. Beberapa orang mungkin berolahraga untuk menurunkan berat badan atau menormalkan angka-angka hasil medical check up. Beberapa orang yang lain mungkin hanya ingin aging gracefully (menua dengan sehat dan bugar) supaya tidak merepotkan anak cucu. Apa pun itu, find your why then commit to it.

Beberapa tips untuk mulai berolahraga:

  • Olahraga tidak harus berat, mulai dari yang ringan. Indikasi aktivitas yang baik: denyut jantung meningkat dan tubuh terasa hangat walaupun tidak berkeringat.
  • Lakukan minimal 30 menit sehari atau 60 menit 3-4 kali seminggu untuk memelihara kebugaran dan kesehatan [6].
  • Variasikan jenis olahraga antara kardio dan penguatan otot [7].
  • Lakukan dengan rangkaian yang tepat: pemanasan atau peregangan, gerakan inti, lalu pendinginan.
  • Sesuaikan jenis olahraga dengan kondisi kesehatan.
  • Mulai dengan durasi yang sebentar, lalu tingkatkan.
  • Pilih olahraga yang disukai sehingga terasa menyenangkan.
  • Lakukan bersama keluarga, teman, atau komunitas.

Sebagai penutup, yuk kita simak video di bawah ini [8] sebagai motivasi supaya kita makin rajin berolahraga.


Sumber:
[1] Kelas Edukasi, Ayi Intan (2018)
[3] Happy Brain, dr. Kennia (2018)
[5] Konten-konten Instagram dr. Andhika Raspati, Sp.KO. (@dhika.dr) dari PPDS Kedokteran Olahraga, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia

Monday, October 25, 2021

Pola Hidup Sehat dengan Menjaga Asupan Makan

Bicara soal hubungan makanan dan kesehatan, sebenarnya ada banyak ruang lingkup yang mencakupnya. Secara garis besar, ilmu gizi mempelajari hubungan manusia dan makanan, termasuk hubungan antara makanan dan asupan nutrisi di dalamnya dengan kesehatan dan penyakit-penyakit terkait gizi serta kondisi medis tertentu. Ahli gizi berkompetensi memberikan informasi tentang gizi, rekomendasi makanan, dan pola makan sehat kepada masyarakat pada umumnya. Sementara dokter gizi adalah dokter spesialis yang fokus menangani masalah kesehatan pasien terkait gizi, serta memberikan terapi medis gizi sesuai kondisi pasien dan berorientasi pada riwayat penyakit dan keadaan umum pasien.

Transformasi sejak 2001 hingga 2020

Karena aku tidak berkompeten untuk membahasnya secara keilmuan, kali ini aku hanya ingin berbagi pengalaman pribadi saja. Perjalananku dengan pola hidup sehat berawal sejak masa kuliah. Sebelum tahun 2005, kesehatan tidak pernah menjadi prioritas buatku. Sebagai anak indekos, hobiku bergadang dan makan mi instan. Baru setelah masa-masa Tugas Akhir tahun 2005, aku mulai rutin melakukan senam aerobik serta menerapkan kesadaran saat makan, belajar berpikir sebelum makan, dan menerapkan food combining. Dalam kurun waktu 2006-2007, berat badanku turun 13-14 kg akibat menjaga pola makan dan berolahraga secara rutin.

Foto tahun 2016 di atas adalah foto saat aku hamil anak keempat dalam usia kandungan 16 minggu. Aku tampak lebih langsing daripada zaman kuliah. Saat itu olahraga sudah jauh lebih bervariasi: senam, yoga, lari, zumba, dan berenang. Penurunan berat badan secara drastis tak lagi terjadi meskipun aku sudah menerapkan clean eating. Tidak masalah, yang penting berat badan tetap terjaga, kenaikan berat badan selama hamil dan sesudah melahirkan tetap terkendali, dan hasil MCU tahunan selalu bagus.

Kiri: kondisi postpartum September 2019
Kanan: Mei 2021

Lantas sejak saat itu hingga sekarang, apakah aku tidak pernah bermasalah dengan berat badan? Tentu saja pernah, hahaha. Setelah melahirkan anak kelima, berat badanku merangkak naik akibat tidak terlalu menjaga pola makan. Saat itu bayiku sedang berkutat dengan masalah kenaikan berat badan yang kurang—bahkan hampir gagal tumbuh—sehingga aku merasa harus banyak makan supaya produksi ASI berlimpah. Aku berusaha tidak terlalu memikirkan berat badanku dan hanya berfokus pada berat badan bayiku, tetapi kenyataannya tubuhku mulai menggendut dan hasil cek kolesterol sempat berada di atas batas. Setelah anakku berusia setahun dan berat badannya aman, aku mulai kembali menerapkan pola makan secara lebih ketat.

Jika ingin hidup sehat, kita perlu memberi perhatian khusus pada pola makan. Asupan makan memberi pengaruh sebanyak 80% terhadap pola hidup sehat, sedangkan olahraga hanya memberi pengaruh sebanyak 20% saja. Menurut WHO, diet sehat membantu melindungi terhadap kekurangan gizi dalam segala bentuknya serta melindungi dari penyakit tidak menular (Non Communicable Disease) seperti diabetes, penyakit jantung, strok, dan kanker.

Ada banyak aliran diet di dunia ini. Pemilihan diet yang paling tepat tentu harus disesuaikan dengan kondisi masing-masing tubuh. Kita juga harus memperhatikan kebutuhan kalori harian. Jangan sampai demi defisit kalori, kita mengorbankan kebutuhan energi tubuh. Kementerian Kesehatan telah mengeluarkan panduan gizi seimbang yang diadopsi dari WHO. Gizi seimbang adalah konsumsi kalori, makronutrien, dan mikronutrien dalam jumlah dan proporsi yang tepat sesuai dengan kebutuhan, tanpa menghilangkan jenis nutrisi tertentu. Memenuhi kebutuhan nutrisi harian dengan asupan bergizi seimbang sangat penting dilakukan agar tubuh tetap fit dan terhindar dari beragam penyakit.

Nutrisi makro dalam pedoman gizi seimbang

Menilik kembali perjalananku dalam menerapkan pola hidup sehat, aku bersyukur masih diberi kesempatan dan kesadaran untuk menjadikan kesehatan sebagai prioritas. Kesehatan adalah investasi jangka panjang. Usia memang hak prerogratif Allah, tetapi berusaha hidup sehat dan bugar insyaallah bermanfaat untuk kebaikan kita juga supaya bisa membersamai anak cucu hingga usia senja.

Sebagai penutup, yuk kita simak video di bawah ini untuk bahan renungan.


Monday, October 18, 2021

Ketahanan Pangan Keluarga

Menurut Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan, ketahanan pangan adalah kondisi terpenuhinya pangan bagi negara sampai dengan perseorangan, yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, beragam, bergizi, merata, dan terjangkau serta tidak bertentangan dengan agama, keyakinan, dan budaya masyarakat untuk dapat hidup sehat, aktif, dan produktif secara berkelanjutan. Ketahanan pangan juga menyangkut hak setiap orang untuk memiliki akses pada makanan yang aman dan bergizi, hak atas kecukupan pangan, dan hak dasar setiap orang untuk bebas dari kelaparan. Empat pilar dalam ketahanan pangan adalah ketersediaan yang cukup, akses yang memadai, pemanfaatan yang tepat, serta stabilitas stok dan harga pangan.

Di Indonesia ketahanan pangan lebih sering diidentikkan dengan ketersediaan pangan. Hal ini tidak sepenuhnya salah karena bertahun-tahun pemerintah berfokus pada program swasembada pangan demi kedaulatan pangan nasional. Namun, sejatinya ketahanan pangan tidak hanya berbicara soal produksi pangan yang cukup, tetapi juga berbicara tentang tingkat harga yang pantas dan terjangkau oleh masyarakat miskin serta tidak merusak lingkungan.

Dalam tataran keluarga, contoh nyata ketahanan pangan ini ada pada keluarga suamiku. Secara turun temurun, banyak di antara mereka yang berprofesi sebagai petani dan peternak. Sebenarnya petani dan peternak ini adalah profesi yang—bisa dibilang—sangat orisinal karena sejak zaman dahulu pun manusia bertani dan beternak. Kita tentu ingat ketika sistem perdagangan belum terlalu masif, tiap keluarga memiliki lahan untuk bercocok tanam dan memelihara hewan ternak untuk memenuhi kebutuhan pangan mereka sendiri. Baru setelah itu, mekanisme pemenuhan bahan pokok berkembang menjadi sistem barter hingga perdagangan dengan alat tukar uang seperti sekarang ini.

Kembali ke keluarga suamiku, saat ini sebagian besar dari mereka yang tinggal di desa masih mempertahankan profesi petani dan peternak. Kalau kita melihat dari perspektif materi, kedua profesi itu sering dipandang sebelah mata. Mereka adalah ujung tombak ketahanan pangan, tetapi faktanya mereka sendiri juga harus berjuang untuk tidak terpuruk dalam kemiskinan. Kisah mengenai rentenir dan sistem ijon, harga jual hasil panen yang tidak menutup modal, hingga sulitnya mereka bersaing dengan bahan makanan impor tentu sering kita dengar dari berita-berita. Namun, ketika melihat dengan mata kepala sendiri bagaimana sawah bapak mertua gagal panen karena diserang hama atau ayam-ayam peliharaan kakak ipar mati karena terkena penyakit … tentu ikut membuat kami merasa makin miris.

Dulu aku pernah menyayangkan keputusan adik ipar untuk tidak bekerja kantoran. Dia lebih memilih untuk membantu bapak mertua mengurus sawah dan hewan ternak. Belakangan aku mengerti, mungkin itu adalah caranya berbakti untuk orang tua sekaligus meneruskan spirit perjuangan keluarga suami dalam menekuni profesi petani dan peternak. Aku juga pernah mempertanyakan keputusan suami untuk membeli sawah ketika memiliki uang menganggur. Memang secara materi tidak menguntungkan, tetapi di baliknya … ternyata itu adalah salah satu cara untuk menjaga keberlanjutan ketahanan pangan.

Salah satu cara yang bisa kita lakukan untuk menjaga ketahanan pangan—jika kita bukan petani atau peternak—adalah urban farming. Urban farming dapat dijadikan sebagai alternatif upaya untuk mengatasi ancaman ketahanan pangan di masa pandemi seperti sekarang ini. Pandemi berpengaruh terhadap penurunan kegiatan produksi pertanian dan distribusinya sehingga mengancam ketersediaan pangan dalam jumlah yang cukup. Urban farming yang dilakukan dalam tataran keluarga dapat mencegah kekurangan nutrisi karena masing-masing keluarga memanfaatkan pekarangan atau lahan untuk berkebun. Dengan demikian, mereka dapat memenuhi kebutuhan pangan keluarga dengan cara sederhana.

Monday, October 11, 2021

Setup Makaroni, Resep Simpel Andalan Ibu

Seperti yang pernah kutulis di sini, ibuku adalah seorang wanita karir yang cukup sibuk selama masa produktifnya, baik dalam hal karir maupun aktivitas sosial. Sebagai ibu yang harus mengatur waktu dengan jeli, masakan-masakan yang beliau siapkan untuk kami biasanya berupa sajian sederhana dan tidak membutuhkan waktu lama untuk mengolahnya. Salah satu masakan khas Solo yang menjadi menu andalan beliau adalah Setup Makaroni.

Melihat bahan dasar Setup Makaroni yang berupa pasta, tentu kita langsung mengerti bahwa makanan ini bukan makanan asli orang Jawa. Setup Makaroni adalah menu peninggalan orang Belanda yang diadaptasi oleh kalangan bangsawan keraton menjadi salah satu makanan yang disajikan di acara-acara besar Keraton Surakarta. Resep aslinya konon menggunakan topping keju parut dalam jumlah cukup banyak. Namun dalam perjalanannya, keju menjadi sesuatu yang opsional karena menyesuaikan dengan lidah orang Jawa yang cenderung asing terhadap keju.

Setup Makaroni yang memiliki manfaat untuk menghangatkan badan ini biasa disajikan sebagai menu pembuka sebelum menyantap menu utama. Meskipun demikian, saat ini restoran-restoran di Solo juga menyajikan makanan ini sebagai menu tunggal yang bisa dikategorikan sebagai light meal. Hal ini cocok untuk orang-orang yang lebih suka makan sedikit untuk sekadar mengisi perut sepertiku, hehehe.

Jadi, seperti apa, sih, resep simpel yang selama ini menjadi andalan ibuku? Yuk, kita simak resep di bawah ini.

Foto diambil dari sini

Bahan-bahan:

  • 250 gr makaroni
  • 250 gr daging ayam
  • 250 ml susu cair
  • 2 butir telur ayam kocok
  • 1 buah bawang bombai diiris-iris
  • 2 siung bawang putih diiris halus
  • Secukupnya merica bubuk
  • Secukupnya gula
  • Secukupnya garam
  • Sedikit margarin untuk menumis
  • Sedikit minyak goreng
  • Air untuk merebus ayam

Cara membuat:

  1. Siapkan panci untuk merebus, isi dengan air, lalu beri sedikit minyak goreng. Masukkan makaroni, rebus hingga setengah matang. Angkat, buang airnya, tiriskan.
  2. Sementara menunggu makaroni empuk, siapkan panci lain, rebus ayam dengan air secukupnya. Bila daging ayam sudah empuk, angkat.
  3. Pisahkan daging ayam dari air rebusan. Air rebusan jangan dibuang. Suwir-suwir daging ayam.
  4. Siapkan wajan, panaskan margarin. Tumis bawang bombai dan bawang putih hingga wangi. Tambahkan merica bubuk.
  5. Masukkan air rebusan ayam, susu cair, dan ayam yang sudah disuwir-suwir. Kecilkan api.
  6. Masukkan kocokan telur, aduk agar telur tidak menggumpal.
  7. Tambahkan gula dan garam secukupnya. Tes rasa, sesuaikan selera.
  8. Setelah mendidih, masukkan makaroni. Aduk hingga makaroni matang lalu angkat. Sajikan hangat-hangat.
  9. Dapat ditambahkan topping sosis, keju parut, atau bawang goreng sesuai selera.


Monday, October 04, 2021

Jajanan Solo yang Membuat Kangen

Bicara soal makanan favorit sepanjang masa, ingatanku melayang pada dua kudapan favorit yang sarat akan kenangan masa kecil. Dua kudapan itu adalah lenjongan dan cabuk rambak. Keduanya termasuk makanan tradisional Solo yang biasa dijual di pasar dan pusat jajanan, serta kerap disebut sebagai street food-nya masyarakat Solo.

Lenjongan (foto diambil dari sini)

Lenjongan adalah sebutan dari satu set camilan manis yang terdiri atas gendar, klepon, sawut, jongkong, gatot, getuk, tiwul, cenil, ketan hitam, ketan putih, dan gerontol. Isinya sebagian besar terbuat dari singkong, jagung, ketan, dan aneka jenis tepung sehingga mengenyangkan. Topping-nya yang berupa parutan kelapa memberikan cita rasa gurih. Meskipun demikian, manis menjadi rasa dominan lenjongan karena parutan kelapa seringkali ditaburi dengan gula pasir atau dituangi juruh (gula merah cair).

Lenjongan menjadi favorit karena menyatukan berbagai jenis rasa kudapan tradisional dalam satu wadah. Teksturnya pun beraneka ragam: ada yang lunak seperti ketan dan getuk, ada yang kenyal seperti klepon dan cenil, ada juga yang seret seperti tiwul yang biasa digunakan sebagai pengganti nasi. Lenjongan dihidangkan dengan sebuah pincuk yang terbuat dari daun pisang. Seporsi lenjongan dijual seharga Rp3.000,00 hingga Rp5.000,00.

Lenjongan tercatat sebagai Warisan Budaya Tak Benda oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia pada tahun 2020. Jajanan ini telah ada sejak zaman penjajahan Belanda dan tak pernah lekang oleh waktu hingga kini. Buatku pribadi, lenjongan menyimpan banyak memori masa kecil sebagai camilan yang kerap dibeli ketika menemani ibu atau nenekku berbelanja di pasar.

Cabuk rambak (foto diambil dari sini)

Selain lenjongan, jajanan khas Solo yang menjadi kesukaanku adalah cabuk rambak. Makanan ini dulu dijajakan berkeliling oleh penjualnya—biasanya ibu-ibu berjarik—dengan menggendong bakul. Meskipun sudah mulai langka, makanan ini masih bisa ditemukan di pasar dan pusat jajanan tradisional. Cabuk rambak dibuat dari irisan ketupat yang kemudian disiram dengan saus yang terbuat dari wijen dan kelapa sangrai. Pelengkapnya adalah kerupuk gendar yang biasa disebut karak. Harga satu porsi cabuk rambak bervariasi antara Rp5.000,00 hingga Rp7.500,00.

Cabuk rambak yang murah meriah ini dulu menjadi jajanan kesukaanku semasa sekolah. Dengan uang saku yang pas-pasan, membeli cabuk rambak adalah salah satu trik supaya tetap kenyang hingga waktu pulang sekolah tiba. Meskipun sering diejek sebagai makanan rakyat jelata karena miskin gizi, cabuk rambak selalu menjadi makanan incaran yang wajib dibeli kala aku mudik ke Solo.

Monday, September 27, 2021

Berkata Baik atau Diam

“Barang siapa yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir, maka hendaknya dia berkata baik atau diam.” (H.R. Muslim nomor 222).

Dalam hadis di atas, Rasul mengatakan bahwa salah satu tanda keimanan adalah menjaga lisan dari perkataan yang tidak baik. Jika tidak mampu berkata baik, lebih baik kita diam. Pentingnya menjaga lisan ini juga diisyaratkan dalam hadis lain yang dinukil oleh Imam Nawawi dalam kitab Riyadhus Salihin. Beberapa di antara hadis tersebut tertulis di bawah ini.

Dari Abu Musa r.a., katanya: “Saya berkata: ‘Ya Rasulullah, manakah kaum Muslimin itu yang lebih utama?’ Beliau s.a.w. menjawab: ‘Yaitu yang orang-orang Islam lain merasa selamat dari gangguan lisannya—yakni pembicaraannya—serta dari tangannya.’” (Muttafaq 'alaih)

Dari Abu Hurairah r.a. bahwasanya ia mendengar Nabi s.a.w. bersabda: “Sesungguhnya seorang hamba itu niscayalah berbicara dengan suatu perkataan yang tidak ia pikirkan baik atau buruknya, maka dengan sebab perkataannya itu ia dapat tergelincir ke neraka yang jaraknya lebih jauh daripada jarak antara sudut timur dan sudut barat.” (Muttafaq 'alaih)

Hadis-hadis di atas memberikan pemahaman bahwa seorang muslim sebaiknya berpikir dahulu sebelum berbicara. Jika sekiranya informasi atau perkataan yang akan ia sampaikan memuat keraguan mengenai kebenarannya, sebaiknya ia diam. Apalagi jika perkataannya mengandung keburukan, sudah pasti ia harus diam.

Dalam dunia digital seperti sekarang ini, lingkup menjaga lisan juga mencakup menjaga tulisan. Tidak dapat dipungkiri, teknologi internet of things membawa platform digital masuk ke dalam kehidupan kita sehari-hari dalam berbagai aspek. Begitu mudah kita menuliskan kata dalam pesan singkat (SMS), Whatsapp, forum, blog, jejaring sosial, dan kolom komentar di situs berita daring sebagai pengganti ucapan lisan dalam berinteraksi. Bentuk komunikasinya mungkin berbeda, tetapi sejatinya ia memiliki esensi yang sama.

Zaman muda dulu aku tidak terlalu memusingkan isi tulisanku di media sosial. Kebanyakan tulisanku memang berkisah seputar aku sendiri dan tidak menyinggung orang lain, tetapi hampir semua isinya tidak disaring terlebih dahulu. Segala kegalauan, kekecewaan, dan kesedihan ditumpahkan begitu saja hingga pernah mengundang komentar negatif dari seseorang yang membuatku meradang. Belakangan ketika aku lebih dewasa, aku banyak berpikir tentang jejak digital dan bagaimana kita meninggalkan kebaikan. Kita tidak pernah tahu seberapa jauh tulisan kita melanglang buana dan seberapa banyak orang yang telah membacanya. Jika tulisan itu membawa keburukan, jangan-jangan kita telah melakukan dosa jariyah, astaghfirullah.

Oleh karena itu, sekarang aku berusaha hanya menulis konten yang positif saja. Aku melakukannya bukan dalam rangka “cari aman”, tetapi karena aku sadar bahwa lebih dari itu … kelak di akhirat kita juga akan dimintai pertanggungjawaban. Lagipula rasanya malu, bukan, ketika tulisan-tulisan kita yang buruk dibaca oleh anak cucu? 

Melihat dunia digital saat ini yang sangat carut-marut karena terlalu banyak ujaran kebencian dan konten negatif, kita membutuhkan kecerdasan dalam literasi digital supaya komunikasi daring berjalan dengan bijak, memuat konten-konten positif, dan membuat nyaman penggunanya. Apalagi sebagai seorang muslim, kita terikat pada norma agama yang mengharuskan kita memelihara lisan (dan tulisan) dalam pergaulan. Dengan pemahaman seperti ini, mudah-mudahan kita dapat selalu wawas diri untuk menjaga adab dalam berkomunikasi, baik secara luring maupun secara daring.

Monday, September 20, 2021

Cara Mudah Belajar Sains

Jika melihat laman-laman para ibu binangkit yang sering membuat sendiri bahan ajar maupun prakarya untuk anak-anaknya, kadang aku merasa cemburu. Selain tidak kreatif, aku juga tidak memiliki banyak waktu untuk membersamai anak. Untungnya di zaman serba praktis seperti saat ini, ada beberapa vendor yang menyediakan bahan-bahan siap pakai untuk berbagai kegiatan bersama anak, mulai dari eksperimen sains, seni, hingga kerajinan tangan.

Dulu ketika anakku masih dua, aku berkenalan dengan Planet Sains, sebuah komunitas penggiat sains yang menyediakan kit eksperimen sains siap pakai dengan beragam tema untuk berbagai usia. Sebagai ibu yang miskin kreasi, aku sangat terbantu dengan kit-kit yang mereka sediakan. Kit-kit itu berisi alat dan bahan percobaan sains sederhana, komplet dengan instruksi dan langkah kerja. Yang lebih mengasyikkan, kit itu dilengkapi juga dengan tulisan pendek yang menceritakan fenomena sains dari percobaan yang dilakukan. Dengan demikian, sambil mendampingi anak bereksperimen, orang tua dapat memberikan pengetahuan tentang landasan ilmiahnya.


Eksperimen mencampur baking soda dengan larutan asam sitrat sehingga menghasilkan gas karbondioksida untuk menggembungkan balon

Teknik melapis logam dengan cara sederhana menggunakan serbuk asam sitrat dan garam yang dilarutkan ke dalam air

Belajar prinsip oksidasi melalui pencampuran pewarna makanan dengan cairan pemutih pakaian

Ketika anak-anakku masuk SD, aku sangat senang mengetahui bahwa Planet Sains melakukan pendampingan untuk ekstrakurikuler sains di sekolah mereka. Setiap minggu mereka akan berkumpul dan melakukan percobaan sederhana, mencatat hasilnya pada buku catatan, serta berdiskusi bersama. Kegiatan ini tentu sangat bermanfaat untuk merangsang keingintahuan anak terhadap fenomena sains dan membiasakan anak berpikir menggunakan metode berpikir ilmiah.

Ketika kami pindah dari Bandung, alhamdulillah di sekolah anak-anak yang baru juga ada ekstrakurikuler sains. Vendor yang mendampingi mereka adalah Rumah Eksplorasi yang juga menyediakan kit eksperimen lengkap seperti Planet Sains. Berhubung masih pandemi, kit-kit eksperimen itu diambil dari sekolah setiap awal bulan, kemudian anak-anak “berkumpul” melalui Zoom untuk melakukan percobaan bersama. Eksperimen mandiri di rumah seperti ini tentu ada kekurangannya. Karena anakku tidak didampingi secara langsung oleh orang dewasa—dia melakukan semuanya sendiri—beberapa percobaan sempat mengalami kegagalan. Jika ada waktu, sepulang kerja aku akan mendampinginya untuk mengulik percobaan itu demi mengetahui penyebab kegagalannya, lalu mencoba memperbaikinya bersama-sama.


Penjelasan mengenai eksperimen tornado botol dari Rumah Eksplorasi


Jadi, pesanku untuk para orang tua yang cukup sibuk: jangan khawatir, ya. Ketiadaan waktu untuk menyediakan atau membuat alat dan bahan eksperimen bisa diakali dengan memanfaatkan kit eksperimen sains siap pakai. Yang kita lakukan tinggal menyediakan waktu untuk beraktivitas bersama anak, membuka diri untuk dihujani dengan pertanyaan-pertanyaan anak, dan berusaha menjawab keingintahuan mereka dengan informasi yang memadai. Mudah-mudahan kelak anak bisa tumbuh besar dengan tetap mempertahankan keingintahuan mereka terhadap peristiwa dan fenomena yang terjadi di dunia ini—apapun profesi mereka nanti—karena keingintahuan adalah modal dasar untuk belajar.

Monday, September 13, 2021

Aku, Anak-Anak, dan Minat Baca

Sejak aku kecil, membaca sudah menjadi duniaku. Aku tak ingat persisnya mulai usia berapa aku gemar membaca. Namun, aku ingat jelas: masa kecilku kuhabiskan dengan menekuri lembar demi lembar majalah Bobo; komik bergambar macam Nina, Tintin, Asterix, atau Steven Sterk; komik Jepang semisal Candy Candy, Pansy, Mari-chan, atau Doraemon; novel seperti Lima Sekawan, Trio Detektif, Stop, atau Malory Towers; bahkan novel detektif karya Agatha Christie.

Begitu senangnya aku membaca sehingga pergi ke perpustakaan, toko buku, atau tempat persewaan buku menjadi suatu agenda yang menyenangkan. Aku tak tahu pasti penyebab minat bacaku waktu itu tumbuh dengan pesat. Hal itu mungkin dikarenakan orang tuaku sering membelikan buku dan menyediakan aneka bacaan di rumah.

Beranjak dewasa, aku menyadari bahwa buku adalah jendela dunia. Aku pernah menjadi salah satu kandidat terbaik dalam seleksi yang diadakan oleh sebuah kantor surat kabar di Jakarta ketika mereka mencari calon wartawan baru. Pertanyaan dan tes yang diajukan kebanyakan tentang pengetahuan umum. Aku yakin kegemaranku membaca rubrik pengetahuan di majalah, membaca koran, dan melihat berita di televisi, turut andil dalam hal itu.

Anak yang minat bacanya tinggi cenderung lebih gampang menerima informasi. Tentu pengetahuan mereka juga lebih banyak. Untuk menulis, mereka tidak akan menemui kesulitan yang berarti karena perbendaharaan kata sudah beragam. Bahkan aku pernah membaca—entah di mana aku lupa—anak yang suka membaca lebih pandai dan lebih kritis, terutama dalam diskusi, dibanding dengan yang tidak suka membaca.

Karena menyadari hal-hal tersebut di atas, aku bertekad ingin selalu menimbulkan minat baca pada anak. Eksperimen pertama kulakukan pada adikku bertahun-tahun lalu untuk membuktikan bahwa usaha membombardir anak dengan buku akan bisa menjadikan anak suka membaca. 

Sejak adikku berusia tujuh tahun, aku selalu rutin menghadiahinya buku ketika dia berulang tahun, mulai dari buku bergambar hingga novel tebal ketika dia sudah beranjak remaja. Ternyata benar, dia tumbuh menjadi seseorang yang gemar membaca. Waktu aku kuliah, masa-masa mudik selalu kuisi dengan agenda pergi ke toko buku bersamanya. Dia sudah berhasil menamatkan novel Harry Potter yang setebal bantal dalam waktu dua hari ketika dia belum lagi lulus SD. Ketika SMP, dia mulai suka membaca koran. Pengetahuannya bertambah; kemampuan menulisnya juga bertambah. Aku tak bisa lebih bangga, dia masuk dalam jajaran anak-anak pintar di kelasnya.

Eksperimen kedua kulakukan pada anak-anakku. Yah, ini sebenarnya bukan lagi eksperimen, melainkan suatu tindakan yang didasarkan pada kesadaran nyata tentang pentingnya menumbuhkan minat baca pada anak. Sejak anak sulungku berusia enam bulan, kami rutin membelikan softbook, boardbook, dan buku-buku bergambar yang lebih beraneka ragam. Aku, suami, dan pengasuh sering mengadakan sesi membaca buku. Rata-rata ketika anak-anakku berusia dua tahun, mereka sudah mulai bisa memahami jalan cerita. Biasanya setelah bercerita, kami mengajukan beberapa pertanyaan untuk menguji seberapa jauh pemahaman mereka. Kadang-kadang kami menyuruh mereka bercerita dengan kalimat mereka sendiri.

Kebiasaan membaca sudah mulai menjadi kebiasaan yang tertanam pada diri anak-anak, terutama anak sulungku yang kelihatannya paling gemar membaca dibanding adik-adiknya. Sesaat sebelum naik ke tempat tidur di malam hari, mereka akan memastikan barang-barang favoritnya sudah dibawa serta, seperti mainan kesukaan dan buku pilihan untuk malam itu. Dengan gembira mereka akan membuka-buka buku lalu bercerita tentang halaman tertentu dengan antusias. Jika minta dibacakan, mereka akan duduk manis di pangkuanku setelah sebelumnya menyodorkan buku padaku. Hmm … buah dari usahaku selama ini untuk menjadikan mereka suka membaca, alhamdulillah sudah mulai terlihat sedikit demi sedikit.

“A reader lives a thousand lives before he dies, said Jojen. The man who never reads lives only one.” ― George R.R. Martin, A Dance with Dragons

Monday, September 06, 2021

Aku dan Literasi

Menurut KBBI, literasi adalah kemampuan menulis dan membaca; pengetahuan atau keterampilan dalam bidang atau aktivitas tertentu; atau kemampuan individu dalam mengolah informasi dan pengetahuan untuk kecakapan hidup. Ternyata definisi literasi ada banyak, ya—meskipun kebanyakan orang langsung mengaitkannya dengan kemampuan menulis dan membaca saja. Jenisnya pun bermacam-macam, mulai dari literasi baca tulis, numerasi, sains, finansial, digital, hingga budaya dan kewargaan.

Perjalananku dalam literasi baca tulis dimulai sejak TK. Saat itu aku termasuk anak yang antusias mempelajari huruf dan kata sehingga aku sudah bisa membaca ketika masuk SD. Di masa SD, rasanya aku tidak memiliki kesulitan dalam memahami bacaan dan menuangkan ide ke dalam tulisan. Bahkan mengarang menjadi subjek pelajaran favoritku karena aku dapat bebas merangkai kata sesuai imajinasi. Sejak usia belia aku sangat menikmati aktivitas menulis puisi dan cerita pendek. Berbagai jenis bacaan kulahap dan waktu istirahat sangat kunantikan untuk pergi ke perpustakaan sekolah.

Menginjak bangku kuliah, aku sempat menulis untuk jurnalistik kampus. Selepas lulus aku bahkan sempat diterima bekerja menjadi editor dan wartawan. Namun, ternyata jalan hidupku tidak di situ karena aku memilih bekerja di tempat lain. Ketika sudah berumah tangga dan memiliki anak, aku berkesempatan menerbitkan beberapa antologi nonfiksi, kumpulan cerpen anak, antologi cerpen, dan antologi fiksi mini. Beberapa pengakuan yang kudapat dari hasil lomba atau event menulis membuatku makin percaya diri untuk terus menekuni dunia menulis ini.

Berbeda dengan literasi baca tulis, kemampuanku sebagai literat di bidang lain tidak terlalu menonjol. Dalam hal literasi numerasi, misalnya, aku tidak terlalu pandai membaca angka dan simbol. Kalau ada grafik, tabel, atau bagan yang agak rumit—seperti tabel-tabel dalam jurnal ilmiah—aku membutuhkan waktu sedikit lebih lama untuk memahaminya dibanding orang lain. Dalam hal literasi sains, yang diartikan sebagai kemampuan memahami fenomena alam di sekitar dengan menggunakan metode berpikir inkuiri, aku juga tak terlalu pandai. Mengulik fenomena sainsnya sih aku suka, seperti membahas sebab akibat pada suatu peristiwa sains. Namun, untuk menelitinya sesuai metode ilmiah, aku malas, hahaha. Oleh karena itu, aku memilih untuk tidak menjadi peneliti meskipun bekerja di lembaga riset.

Bicara soal literasi budaya dan kewargaan, menurutku pemahaman terhadap keragaman budaya serta pemahaman terhadap hak dan kewajiban sebagai warga masyarakat mutlak perlu dimiliki oleh seseorang. Kita semua adalah makhluk sosial yang harus mengerti bahwa ada batasan norma dan aturan dalam berinteraksi. Seperti yang pernah kusinggung di sini, konsep keberagaman seharusnya tidak hanya berada pada tataran teori. Praktik tentang keberagaman—misalnya pergi ke berbagai tempat, menuntut ilmu di beraneka institusi, dan bertemu dengan bermacam-macam orang—dapat membuat kita memahami arti perbedaan dan arti toleransi yang sesungguhnya.

Menumbuhkan kemampuan literasi memang bukan pekerjaan semalam. Indeed usaha ini tidak mudah, mengingat kurangnya kemampuan literasi kebanyakan masyarakat kita. Yuk, kita bersama-sama berusaha mulai dari apa yang kita bisa dan mulai dari keluarga terdekat sehingga dapat mencapai slogan yang digaungkan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan: dengan literasi, kita mampu menjalani hidup sekarang dan nanti di masa depan dengan lebih baik.

Monday, August 23, 2021

Manusia Sebagai Makhluk Sosial

Hal yang paling drastis mengalami perubahan pada masa pandemi ini adalah kehidupan sosial. Betapa tidak … menjaga jarak dan tidak berkerumun adalah dua protokol kesehatan yang harus selalu diterapkan. Dua hal ini menjadi penghalang utama bagi manusia—yang katanya adalah makhluk sosial yang tidak bisa hidup tanpa orang lain—untuk berkumpul dan bersosialisasi secara tatap muka.

Bicara tentang aspek manusia sebagai makhluk sosial, kebutuhan untuk bertemu dan berkumpul dengan orang lain itu sudah mendarah daging dalam filosofi hidup bangsa kita—mumpung masih bulan Agustus, nih … tema kebangsaan masih terasa hangat dalam ingatan. Itulah alasan sila keempat Pancasila dilambangkan dengan kepala banteng. Sekadar informasi, banteng adalah hewan yang suka berkumpul dengan kawanannya sehingga dipandang paling pas untuk menggambarkan “Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan Perwakilan”. Sejarah panjang nenek moyang kita yang hidup dalam kerukunan dan gotong royong tentu tidak bisa dilepaskan dari kebiasaan berkumpul ini.

Untungnya kita sekarang hidup di zaman yang serba dimudahkan oleh teknologi. Meskipun tidak bisa bertatap muka secara langsung, kita masih bisa bertemu melalui aplikasi komunikasi yang menggunakan video dalam berbagai perangkat baik seluler maupun desktop. Dengan adanya internet of things, manusia di zaman milenial ini masih bisa berkumpul secara daring, menatap wajah yang lain, dan menyaksikan ragam ekspresi lawan bicara melalui layar. Hubungan sosial semacam ini tentu pada akhirnya menjadi lazim dilakukan di masa pandemi ini karena kita tidak memiliki pilihan lain.

Ada nilai plus dan minus dari kehidupan sosial yang seperti itu. Nilai plusnya banyak terkait dengan kepraktisan dan kemudahan. Kita tidak perlu pergi menaklukkan jarak keluar rumah untuk bertemu dengan orang lain. Bahkan dalam kondisi berdaster pun kita bisa mengadakan rapat dari pojokan rumah. Namun, beberapa nilai minus juga terpaksa kita rasakan. Terlalu banyak screen time dan paparan gawai pada suatu titik justru dapat menjadikan kita antisosial dan teralienasi dari orang-orang terdekat. Bagi sebagian orang, engagement yang didapat dari jumlah like pada postingan dianggap lebih penting daripada kualitas hubungan pertemanan.

Mari berdoa semoga pandemi ini cepat berakhir agar kita dapat bertemu kembali dan berbagi jabat tangan, pelukan, tawa renyah, tatapan hangat, bahasa tubuh, dan kontak mata yang tak lagi berjarak.

In a world of algorithms, hashtags, and followers, know the true importance of human connection.” — unknown

Monday, August 16, 2021

Perayaan Tujuh Belasan

Yang selalu kuingat dari perayaan tujuh belasan adalah kemeriahan perayaan tujuh belasan zaman aku kecil dulu di Solo. Kami tinggal di lingkungan perumahan yang sangat guyub. Saat itu muda-mudi karang taruna dan pengurus RT/RW sangat aktif membuat kegiatan setiap 17 Agustus menjelang. Biasanya perayaannya merupakan satu rangkaian mulai dari jalan sehat, lomba tujuh belasan, panggung perayaan, hingga malam tirakatan.

Acara jalan sehat terbuka untuk semua warga dari segala usia. Rutenya dipilih sangat ramah untuk anak-anak dan lansia, jadi jarak tempuhnya tidak terlalu jauh. Kami melewati area pemukiman dan persawahan di tengah udara pagi yang sangat segar. Sepanjang rute kami sibuk mengobrol, bercanda, dan tertawa. Setelah sampai di garis finish, kami disuguhi aneka kudapan dan hidangan yang menggugah selera, terutama karena kami merasa kelaparan seusai berjalan beberapa kilometer, hahaha. Acara makan digelar secara prasmanan sehingga kami bebas mengambil apa saja. Sambil menikmati santapan, kami duduk lesehan dan menyaksikan pembagian doorprize.

Lomba tujuh belasan diadakan di lain waktu. Lomba untuk anak-anak dilaksanakan dalam beberapa cabang lomba yang cukup lazim seperti tarik tambang, memasukkan pensil ke dalam botol, balap karung, bakiak, balap cepat sambil mengulum sendok berisi kelereng, dll. Lomba untuk orang dewasa tidak terlalu banyak ragamnya, biasanya hanya berupa panjat pinang dan pertandingan voli saja.

Pada malam hari setelah sorenya diadakan lomba tujuh belasan, panggung perayaan digelar. Para muda-mudi Karang Taruna menjadi panitia pagelaran panggung ini. Isi acaranya berupa pertunjukan unjuk bakat dan keberanian warga untuk tampil di atas panggung. Setiap orang bebas menyumbangkan penampilan setelah mendaftar dan latihan bersama sejak beberapa minggu sebelumnya. Pada pagelaran panggung ini biasanya aku menampilkan baca puisi, seni tari, atau drama sederhana bersama teman-teman sepermainan di bawah bimbingan pamanku yang sudah malang-melintang di dunia teater.

Sebagai puncak perayaan tujuh belasan, malam tirakatan diadakan pada tanggal 16 Agustus malam. Acara ini hanya melibatkan para warga yang sudah dewasa saja. Mereka akan mengenang jasa para pahlawan dan berdoa bersama untuk kebaikan negeri. Sebenarnya aku tidak terlalu paham bentuk acaranya seperti apa karena aku tidak pernah ikut serta, hihihi. Aku hanya mendengar cerita Ibu yang berkisah sepulang dari sana sambil makan camilan dari dus kudapan yang Ibu bawa pulang untuk anak-anaknya.

Setelah aku tumbuh dewasa dan berkeluarga, lalu menetap di Bandung dan sekarang Tangerang Selatan, aku belum pernah mendapati perayaan tujuh belasan semeriah zaman kecilku dulu. Mudah-mudahan setelah pandemi usai, acara semacam ini dapat kembali diadakan untuk mempererat relasi antarwarga.

Monday, August 09, 2021

ITBMotherhood dan MamahGajahBerlari





Salah satu hal yang kusyukuri dari menjadi alumni Institut Teknologi Bandung adalah bisa bergabung dengan komunitas ITBMotherhood. Komunitas ini dibuat pada 2010 untuk mewadahi mahasiswi atau alumni perempuan ITB yang tertarik pada dunia ibu dan anak. Hingga saat ini grup ITBMotherhood di Facebook telah memiliki 4.487 anggota dan kegiatannya berkembang menjadi lebih dari 30 komunitas internal―yang kegiatannya tidak hanya bersifat daring, tetapi juga luring.

ITBMotherhood memiliki iklim yang sangat kondusif untuk menjadi sebuah support system. Di dalamnya kita dapat bertanya tentang apa saja tanpa takut merasa dihakimi, dapat melakukan jual beli dengan rasa aman dan asas kepercayaan, atau mencari dukungan dalam bentuk apapun. Sebagai contoh, beberapa tahun silam aku sempat bergabung dengan subgrup ASIX dan subgrup ibu hamil yang sangat memberi dukungan dalam hal motivasi maupun pengetahuan seputar kehamilan, persalinan, dan ASI. Beberapa subgrup di ITBMotherhood juga bergerak dalam hal beasiswa, donasi, dan relawan.

Subgrup ITBMotherhood yang ingin kuceritakan dalam tulisanku kali ini adalah komunitas MamahGajahBerlari (MGB). Ketika mulai berlari beberapa tahun lalu, sedikit sekali ilmu yang kumiliki. Saat itu hanya terpikir, kalau mau rutin berlari ya tinggal berlari saja. Wong awalnya hanya bermula dari self challenge menjajal kemampuan diri: apakah benar bisa menaklukkan olahraga yang dulu amat kubenci ini.

Mendekati pertengahan 2019, iseng-iseng aku bergabung dengan MGB, salah satu subgrup ITBMotherhood yang berisikan mamah-mamah alumni ITB yang menekuni hobi berlari di tengah-tengah kesibukan mengurus keluarga dan karir. Pertemanan sehat bersama MGB ini ternyata di luar ekspektasiku. Selain beroleh banyak ilmu tentang lari, di sini aku bagai menemukan keluarga baru yang really fits the idea of being support group. Sekecil apapun progres kita, di sini kita dikeprokin ramai-ramai. Sesuai dengan tag #PaceRecehTapiKeceh: tidak ada hal yang remeh di sini, setiap orang dihargai dengan target dan pencapaian masing-masing. Having fun dengan berlari demi hidup yang lebih sehat dan bugar menjadi yang terpenting.

Dulu sebelum pandemi, selain berlari dan coaching bersama, mamah-mamah MGB rajin bertemu luring untuk acara santai, makan-makan, botram, juga popotoan. Kami juga rajin saling jastip belanja perintilan lari dan saling menularkan semangat shopping, hahaha. Grup selalu ramai membahas tentang girls stuff dalam dunia lari, suatu hal yang tak akan mungkin ditemui di grup runners umum yang isinya juga ada para bapak 😛

Setiap orang akan bisa tumbuh dan berkembang jika mereka berada di lingkungan dan komunitas yang tepat. Begitulah yang kurasakan ketika berada di dalam MGB. Selama dua tahun bergabung di dalamnya, ada banyak pencapaian yang aku peroleh, mulai dari berhasil membangun training plan dan mengatur waktu untuk menyempatkan berlari di tengah kesibukan, memperbaiki heart rate dan VO2Max, memperbaiki endurance, hingga berhasil menempuh long run mulai dari 10 km sampai 21,1 km. Hal-hal ini mungkin tak akan tercapai bila aku tidak tahu ilmunya dan tidak punya motivasi seperti yang selalu disemangatkan oleh para mamah MGB.

Perempuan memang harus saling mendukung satu sama lain. Sebuah penelitian oleh Harvard Business Review mengatakan bahwa perempuan yang memiliki inner circle sesama perempuan cenderung dapat menempati posisi eksekutif dengan otoritas yang lebih besar dan gaji yang lebih tinggi, bila dibandingkan dengan laki-laki yang memiliki inner circle yang sama. Hal ini dikarenakan perempuan yang memiliki hubungan dekat dengan kelompok perempuan yang mendukungnya, akan lebih mudah menghadapi berbagai rintangan melalui berbagi pengalaman dengan perempuan lain yang pernah menghadapi situasi dan kesulitan yang sama. Mudah-mudahan dengan adanya ITBMotherhood dan subgrup-subgrup lain di bawahnya, para alumni perempuan ITB dapat memberikan manfaat yang nyata demi Tuhan, bangsa, dan almamater.

Monday, August 02, 2021

Keberagaman di Mata Anak-Anak

Anak-anakku mengenal konteks keberagaman kira-kira ketika mereka memasuki usia SD. Pasalnya ada pelajaran Bahasa Sunda di sekolah, yang akhirnya membuat kami bercerita lebih banyak tentang asal-usul leluhur mereka akibat lontaran pertanyaan “Kenapa Ayah dan Bunda nggak ngerti bahasa Sunda?”, hahaha. Ya, kami memang sudah dua puluh satu tahun tinggal di Bandung. Namun, karena seluruh keluarga berasal dari Jawa Tengah dan sejak dulu lingkaran pertemanan kami banyak berkisar di komunitas orang Jawa, kami tidak terlalu fasih berbahasa Sunda.

Konsep keberagaman ini merupakan konsep yang unik bagi anak-anak. Maklum, di usia itu mereka masih mempertanyakan banyak hal akibat keingintahuan yang tinggi, terutama ketika mereka melihat ada orang yang berbeda dengan mereka. Sesederhana kenyataan mengapa orang lain menggunakan bahasa yang berbeda atau mengapa orang lain memiliki agama yang berbeda, dapat mengusik keingintahuan mereka. Sebagai orang tua, kami tentu harus membahasakan perbedaan itu dengan kalimat yang baik dan mudah dimengerti, tanpa menimbulkan rasa intoleransi.

Di sekolah mereka belajar teori mengenai bermacam-macam suku, budaya, bahasa, atau agama. Mereka juga belajar adab saling menghargai dari buku teks. Namun di dunia nyata, kehidupan tidak semudah teori. Adakalanya anak-anak tidak mengerti apa yang teman-teman mereka obrolkan karena berbeda bahasa. Untungnya hal itu tidak pernah menjadi masalah sejauh ini. Mereka punya cara sendiri untuk bisa berbaur dengan teman meski berbeda bahasa ibu.

Yang agak susah adalah menyederhanakan pemahaman mereka soal perbedaan agama atau keyakinan. Terus terang aku agak kelimpungan menjelaskan mengapa orang lain melakukan ritual agama yang berbeda dengan kami. Pertanyaan-pertanyaan ini menjadi susah karena sebelumnya kami harus meletakkan pondasi ketauhidan terlebih dahulu dalam dada mereka, sehingga ketika mereka melihat orang lain yang berbeda … hal itu tidak akan menjadi masalah sebab mereka tahu bagaimana harus menyikapinya. Yang lebih tricky sebenarnya ketika mereka melontarkan pertanyaan dengan suara keras di depan orang yang bersangkutan, misalnya “Bun, kenapa Tante itu nggak pake jilbab?”. Kalau sudah begitu kami terpaksa harus cepat-cepat menarik mereka untuk menjauh karena khawatir perkataan mereka dapat menyinggung orang lain.

Konsep keberagaman memang seharusnya tidak hanya diajarkan secara teoritis. Bukankah banyak manusia di negeri ini yang sudah hafal kalimat-kalimat yang menggaungkan toleransi sejak mereka SD, tetapi gagal menerapkannya dalam kehidupan bermasyarakat? Saat ini anak-anak kami memang masih bersekolah di sekolah islami demi penguatan pondasi nilai-nilai beragama, tetapi aku berharap kelak suatu hari nanti mereka dapat pergi ke berbagai tempat, menuntut ilmu di beraneka institusi, dan bertemu dengan bermacam-macam orang supaya mereka memahami arti perbedaan dan arti toleransi yang sesungguhnya.

يٰٓاَيُّهَا النَّاسُ اِنَّا خَلَقْنٰكُمْ مِّنْ ذَكَرٍ وَّاُنْثٰى وَجَعَلْنٰكُمْ شُعُوْبًا وَّقَبَاۤىِٕلَ لِتَعَارَفُوْا ۚ اِنَّ اَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللّٰهِ اَتْقٰىكُمْ ۗاِنَّ اللّٰهَ عَلِيْمٌ خَبِيْرٌ

“Wahai manusia! Sungguh, Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, kemudian Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa. Sungguh, Allah Maha Mengetahui, Mahateliti.” (Q.S. Al-Hujurat: 13)

Monday, July 26, 2021

Keterampilan Interpersonal

Memiliki tiga anak yang sudah bersekolah membuatku belajar banyak hal mengenai karakter sosial mereka, terutama dalam hal mencari teman. Ada anakku yang cukup mudah berbaur di lingkungan baru. Tak perlu waktu lama, dia akan mulai nimbrung di obrolan. Tak heran beberapa kali aku menemuinya sedang berbincang asyik dengan orang yang baru ditemuinya, seperti tukang parkir, tukang yang datang ke rumah, penjual pinggir jalan, dll. Kami dengan mudah melepasnya bergaul dengan lingkungan baru tanpa khawatir—seperti acara-acara liburan yang banyak diadakan berbagai event organizer—karena biasanya dia supel membawa diri.

Kebetulan dia ini cukup talkative. Dia tidak sungkan bertanya jika ada hal yang tidak dimengerti. Bahkan kalau dia sudah mulai tune in dengan lingkungan atau forumnya, dia akan melempar celetuk atau respon dengan aktif. Dia cukup populer di kalangan teman-temannya dan beberapa kali terpilih menjadi Ketua Murid atau pengurus angkatan.

Berbeda halnya dengan dua anakku yang lain. Mereka tidak terlalu ekspresif seperti kakaknya. Ketika berkenalan dengan orang baru, mereka cenderung “lambat panas” dan lebih senang mengamati pada awalnya. Mereka juga agak picky dalam memilih teman. Biasanya mereka hanya mau bermain dengan teman-teman yang “klik” saja. Salah satu dari mereka jarang mau terlibat jika ada kegiatan-kegiatan dan lebih memilih lingkungan yang nyaman buat dia. Namun, anak yang lain cukup partisipatif dalam berbagai kegiatan. Aku dan suami selalu memotivasi mereka untuk mengikuti beraneka aktivitas supaya mereka bisa berkenalan dengan orang dan lingkungan baru, meskipun kadang salah satu dari mereka tampaknya tidak cukup tertarik. Yah, kami sebagai orang tua tidak bisa memaksa.

Tulisan ini tidak bermaksud membandingkan anak satu dengan yang lainnya. Justru karena memiliki anak dengan karakter berbeda-beda, sebagai orang tua kami harus terus belajar bagaimana menyikapi karakter mereka dengan tepat. Tentunya ini bukan hal yang mudah di masa pandemi ini, kala karakter yang berbeda-beda berkumpul dalam satu atap hampir dua puluh empat jam. Anak kami yang cenderung suka berteman dan bertualang tentu bosan ketika dia hanya bisa bertemu dengan saudara-saudaranya saja. Sementara anak kami yang lain ada juga yang merasa baik-baik saja dengan keberadaannya di rumah terus-menerus. Dia sudah cukup asyik mojok dengan buku, gawai, atau game.

Keterampilan berbaur dengan teman dan menyesuaikan diri dengan lingkungan adalah salah satu softskill yang berada pada tataran aspek interpersonal. Bagaimanapun juga, kemampuan ini sangat diperlukan oleh anak—baik ketika mereka masih kanak-kanak maupun ketika mereka sudah dewasa—untuk membangun komunikasi dan kerja sama dengan orang lain. Mudah-mudahan anak-anak dapat memperkuat aspek ini dengan karakter dan pembawaan mereka masing-masing supaya kelak mereka bisa survive menghadapi dunia luar.

Monday, July 19, 2021

Pendidikan Anak

Bicara soal pendidikan anak adalah sesuatu yang sulit buatku karena aku tahu sistem yang berjalan di keluarga kecilku tidak ideal. Di rumah kami masih ada TV dan gawai—yang kadang-kadang masih menimbulkan kesulitan dalam pengaturannya. Kesibukan kami bekerja membuat kami terbatas membersamai anak-anak dan membimbing mereka. Kami juga masih susah mengontrol kesabaran dan masih sering marah-marah. Meskipun demikian, aku dan suami selalu berusaha memilihkan pendidikan yang terbaik untuk anak-anak. Kriteria terbaik tentunya berbeda-beda bagi tiap keluarga. Apa yang baik buat suatu keluarga belum tentu baik pula untuk keluarga lain, maka pendidikan yang kami pilihkan untuk anak-anak disesuaikan dengan visi dan misi keluarga kami.

Ada banyak metode yang dijalankan oleh para orang tua saat ini. Melihat keberhasilan dan kesuksesan teman-teman kami yang menjalankan homeschooling (HS) untuk anak-anak mereka, pernah terbersit keinginan untuk menjalankan metode serupa. Namun, keterbatasan kami sebagai orang tua yang bekerja tentu membutuhkan usaha yang luar biasa untuk memastikan sistem HS berjalan dengan baik. Jadi, setelah berpikir ulang, tampaknya kami tidak akan sanggup.

Sebagai orang-orang yang dibesarkan dengan sistem pendidikan sekolah negeri mulai dari TK hingga perguruan tinggi, kami merasa ada yang kurang dalam hal pendidikan agama. Bukan berarti sekolah negeri tidak baik, hanya saja kurang pas dalam memenuhi visi dan misi keluarga kami. Oleh karena itu, sejak anak-anak PG hingga SMP, mereka kami sekolahkan di institusi pendidikan yang memiliki titik tekan pada islamic character building dan leadership sebagai salah satu tujuan pembelajaran. Aspek kognitif bisa dikejar karena alhamdulillah kemampuan akademik mereka bisa dibilang bagus, tetapi pembentukan karakter akan susah dikejar jika tidak ditanamkan sejak dini. Harapan kami, jika nilai-nilai sebagai seorang muslim ini tertanam sebagai pondasi yang kuat, ke depannya mereka akan lebih tangguh memegang nilai-nilai agama dalam keseharian.

Selain ikhtiar memilihkan pendidikan yang menurut kami terbaik buat mereka, tak lupa kami juga menitipkan anak-anak kepada Sang Empunya. Allah-lah sebaik-baik penjaga dan pelindung yang akan membimbing mereka untuk tetap lurus di jalan-Nya. Kami tahu sebagai orang tua kami tidak bisa mendampingi anak-anak 24/7. Oleh karena itu, jika anak-anak paham dan sadar bahwa Allah Maha Melihat, mudah-mudahan mereka tidak terombang-ambing oleh dunia dan tetap berpegang teguh pada orientasi akhirat.

Memilihkan mereka sekolah yang terbaik adalah satu hal; bekerja sama dengan sekolah untuk keberhasilan belajar adalah hal lain. Keduanya harus berjalan seimbang karena kita tidak bisa melepas tanggung jawab dan membebankan proses pendidikan hanya kepada sekolah. Sekolah adalah mitra kami dalam mendidik anak-anak, maka kami berusaha untuk tidak bawel dan percaya pada sistem yang mereka miliki. Kepercayaan ini penting supaya kerja sama yang terbangun antara sekolah dan orang tua berjalan baik. Tak bisa dipungkiri selama tahun-tahun mereka bersekolah pasti ada saja masalah yang terjadi. Jika kerja sama tidak berjalan baik—misalnya ada ketidakpercayaan orang tua pada kebijakan yang diambil sekolah—proses mendidik anak juga tentu tidak akan berjalan mulus.

Pada akhirnya, pendidikan anak adalah proses untuk menjadikan mereka siap menjadi pribadi yang mandiri dan tangguh saat berpisah dengan kita, baik karena mereka keluar rumah (misalnya karena menikah, kuliah, merantau) atau karena kematian kita.

وَلْيَخْشَ الَّذِينَ لَوْ تَرَكُوا مِنْ خَلْفِهِمْ ذُرِّيَّةً ضِعَافًا خَافُوا عَلَيْهِمْ فَلْيَتَّقُوا اللَّهَ وَلْيَقُولُوا قَوْلًا سَدِيدًا

"Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan di belakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. Oleh sebab itu hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar." (Q.S. An-Nisa': 9)

Hari Arafah

Hari Arafah adalah hari kesembilan dalam bulan Dzulhijjah, hari yang bertepatan dengan dilakukannya wukuf oleh umat muslim yang menunaikan haji. Tahun ini Hari Arafah jatuh pada Senin, 19 Juli 2021. Wukuf sendiri adalah salah satu rangkaian ibadah haji yang paling pokok yang dilakukan dengan cara berdiam di Arafah mulai tenggelamnya matahari pada 9 Dzulhijjah hingga terbitnya fajar di tanggal 10 Dzulhijjah. Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam ditanya oleh sekelompok orang dari Nejed tentang haji, maka beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab,

الْحَجُّ عَرَفَةُ

“Haji itu adalah Arafah.” (H.R. at-Tirmidzi no. 889, an-Nasâ’i no. 3016 dan Ibnu Mâjah no. 3015, dihukumi shahih oleh al-Albâni)

Hari Arafah merupakan salah satu hari dalam sepuluh hari pertama di bulan Dzulhijjah yang memiliki banyak keutamaan. Oleh karena itu kita disunnahkan memperbanyak amal salih di sepuluh hari pertama ini, dan hari Arafah termasuk di dalamnya. “Tidak ada amalan yang lebih baik di sisi Allah dan lebih besar pahalanya dibanding amal salih yang dilakukan di 10 hari pertama di bulan Dzulhijjah.” (H.R. Baihaqi, lihat Fathul Baari 3/390 dan Shahih Targhib 2/15)

Beberapa amalan yang dianjurkan dilakukan pada Hari Arafah adalah berdoa, berdzikir, dan berpuasa. Dari ‘Amr bin Syu’aib, dari ayahnya, dari kakeknya, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

خَيْرُ الدُّعَاءِ دُعَاءُ يَوْمِ عَرَفَةَ وَخَيْرُ مَا قُلْتُ أَنَا وَالنَّبِيُّونَ مِنْ قَبْلِى لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيكَ لَهُ لَهُ الْمُلْكُ وَلَهُ الْحَمْدُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَىْءٍ قَدِيرٌ

“Sebaik-baik doa adalah doa pada hari Arafah. Dan sebaik-baik yang kuucapkan, begitu pula diucapkan oleh para Nabi sebelumku adalah ucapan ‘La ilaha illallah wahdahu la syarika lah, lahul mulku walahul hamdu wahuwa ‘ala kulli syaiin qadir’ (Tidak ada sesembahan yang berhak disembah kecuali Allah semata, tidak ada sekutu bagi-Nya. Milik-Nya segala kerajaan, segala pujian dan Allah yang menguasai segala sesuatu).” (H.R. Tirmidzi no. 3585; Ahmad, 2:210)

Sementara puasa pada Hari Arafah memiliki keutamaan yang besar. Puasa sehari ini menghapuskan dosa dua tahun, sebagaimana dijelaskan dalam hadits Abu Qatadah Radhiyallahu anhu bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

صِيَامُ يَوْمِ عَرَفَةَ أَحْتَسِبُ عَلَى اللَّهِ أَنْ يُكَفِّرَ السَّنَةَ الَّتِى قَبْلَهُ وَالسَّنَةَ الَّتِى بَعْدَهُ

“Puasa Hari Arafah aku harapkan dari Allah bisa menghapuskan dosa setahun sebelumnya dan setahun setelahnya.” (H.R. Muslim no. 1162).

Semua ibadah yang disebutkan di atas bukan hanya untuk para jamaah haji yang sedang berwukuf di Arafah, melainkan semua umat muslim juga memiliki kesempatan yang sama untuk mendulang pahala dan ampunan dari Allah. Yuk, mari kita jemput keutamaan Hari Arafah.