Menurut Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan, ketahanan pangan adalah kondisi terpenuhinya pangan bagi negara sampai dengan perseorangan, yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, beragam, bergizi, merata, dan terjangkau serta tidak bertentangan dengan agama, keyakinan, dan budaya masyarakat untuk dapat hidup sehat, aktif, dan produktif secara berkelanjutan. Ketahanan pangan juga menyangkut hak setiap orang untuk memiliki akses pada makanan yang aman dan bergizi, hak atas kecukupan pangan, dan hak dasar setiap orang untuk bebas dari kelaparan. Empat pilar dalam ketahanan pangan adalah ketersediaan yang cukup, akses yang memadai, pemanfaatan yang tepat, serta stabilitas stok dan harga pangan.
Di Indonesia ketahanan pangan lebih sering diidentikkan dengan ketersediaan pangan. Hal ini tidak sepenuhnya salah karena bertahun-tahun pemerintah berfokus pada program swasembada pangan demi kedaulatan pangan nasional. Namun, sejatinya ketahanan pangan tidak hanya berbicara soal produksi pangan yang cukup, tetapi juga berbicara tentang tingkat harga yang pantas dan terjangkau oleh masyarakat miskin serta tidak merusak lingkungan.
Dalam tataran keluarga, contoh nyata ketahanan pangan ini ada pada keluarga suamiku. Secara turun temurun, banyak di antara mereka yang berprofesi sebagai petani dan peternak. Sebenarnya petani dan peternak ini adalah profesi yang—bisa dibilang—sangat orisinal karena sejak zaman dahulu pun manusia bertani dan beternak. Kita tentu ingat ketika sistem perdagangan belum terlalu masif, tiap keluarga memiliki lahan untuk bercocok tanam dan memelihara hewan ternak untuk memenuhi kebutuhan pangan mereka sendiri. Baru setelah itu, mekanisme pemenuhan bahan pokok berkembang menjadi sistem barter hingga perdagangan dengan alat tukar uang seperti sekarang ini.
Kembali ke keluarga suamiku, saat ini sebagian besar dari mereka yang tinggal di desa masih mempertahankan profesi petani dan peternak. Kalau kita melihat dari perspektif materi, kedua profesi itu sering dipandang sebelah mata. Mereka adalah ujung tombak ketahanan pangan, tetapi faktanya mereka sendiri juga harus berjuang untuk tidak terpuruk dalam kemiskinan. Kisah mengenai rentenir dan sistem ijon, harga jual hasil panen yang tidak menutup modal, hingga sulitnya mereka bersaing dengan bahan makanan impor tentu sering kita dengar dari berita-berita. Namun, ketika melihat dengan mata kepala sendiri bagaimana sawah bapak mertua gagal panen karena diserang hama atau ayam-ayam peliharaan kakak ipar mati karena terkena penyakit … tentu ikut membuat kami merasa makin miris.
Dulu aku pernah menyayangkan keputusan adik ipar untuk tidak bekerja kantoran. Dia lebih memilih untuk membantu bapak mertua mengurus sawah dan hewan ternak. Belakangan aku mengerti, mungkin itu adalah caranya berbakti untuk orang tua sekaligus meneruskan spirit perjuangan keluarga suami dalam menekuni profesi petani dan peternak. Aku juga pernah mempertanyakan keputusan suami untuk membeli sawah ketika memiliki uang menganggur. Memang secara materi tidak menguntungkan, tetapi di baliknya … ternyata itu adalah salah satu cara untuk menjaga keberlanjutan ketahanan pangan.
Salah satu cara yang bisa kita lakukan untuk menjaga ketahanan pangan—jika kita bukan petani atau peternak—adalah urban farming. Urban farming dapat dijadikan sebagai alternatif upaya untuk mengatasi ancaman ketahanan pangan di masa pandemi seperti sekarang ini. Pandemi berpengaruh terhadap penurunan kegiatan produksi pertanian dan distribusinya sehingga mengancam ketersediaan pangan dalam jumlah yang cukup. Urban farming yang dilakukan dalam tataran keluarga dapat mencegah kekurangan nutrisi karena masing-masing keluarga memanfaatkan pekarangan atau lahan untuk berkebun. Dengan demikian, mereka dapat memenuhi kebutuhan pangan keluarga dengan cara sederhana.
No comments:
Post a Comment