Friday, April 11, 2008

Aku Bukan Malaikat

[Tanggapan untuk Amorita *gatal sekali aku pengen nulis ini*]

Wow! Hari yang spektakuler. Dalam satu hari aku mendapat beberapa kritik yang bertubi, datang dari orang yang berbeda. Kali ini aku ingin membahas komentar (atau masukan?) dari Amorita.

Komentar di bawah ini dia tujukan untuk postinganku yang ini.

Sebelumnya maaf jika komentar ini menyinggung perasaan Yustika.

Aku perhatikan selama ini kamu sangat tergantung pada suamimu, seolah-olah di dunia ini hanya ada suamimu. Kalau hanya ditinggal sementara kamu seperti ini, gimana kalau kamu ditinggalkan selamanya?

Bukankah lebih banyak nikmat yang Allah berikan padamu daripada sekedar cobaan kecil ini. Engkau memiliki keluarga yang baik, suami yang shalih, sudah punya rumah, sudah (akan) dikaruniai anak, ekonomi juga cukup, kurang apa sih? Banyak orang lain yang hidup di bawahmu.

Saranku, perbanyak silaturahim dengan orang lain. Masih aktif ikut pengajian kan? Insya Allah bergaul dengan orang-orang shalih akan memperkuat iman kita. Jangan sampai kesedihan ini menjadikan kita termasuk golongan ”yang berjatuhan di jalan dakwah” setelah menikah. Aku masih ingat lho, kamu dulu sering ngasih taushiyah yang menyejukkan di bukom Gamais. Sekarang? Kamu harus membuktikan bahwa kamu lebih dewasa.

Ingat nasihat seorang ustadz berikut : ”orang yang hatinya selalu bersama Allah, tidak akan merasa sedih dalam hidupnya”.

Lalu komentar yang berikut dia tujukan untuk postinganku yang ini.

(Sekali lagi) maaf ya atas komentar ini. Dari postingan-postingan terdahulu, bukankah kamu sudah cukup bahagia tinggal bersama suamimu di Cikarang dan hidup sebagai ibu rumah tangga? Kenapa sekarang kamu malah bekerja di Bandung? Aku yakin, sebelum kamu memutuskan hidup berjauhan dengan suamimu, kamu sudah mempertimbangkan masak-masak akan resiko yang akan kamu hadapi.

”Faidza ’azamta fatawakkal ’alallah” (apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakallah kepada Allah). Kamu sudah berani mengambil keputusan itu, sekarang kamu harus berani menjalaninya.

Bukankah akan menjadi kenangan yang lebih indah, jika kesedihan diikuti dengan ketegaran?

Fiuhh, tajam sekali ya komentar-komentar Amorita. Reaksi alamiah seseorang yang diberi kritik atau masukan adalah membela diri. Tapi sungguh, tanggapan ini kutulis bukan untuk membela diri, melainkan semata-mata untuk menjelaskan posisiku. Agar Amorita --atau siapapun yang membaca-- tidak men-judge sekehendak mereka. Karena mereka kan tidak berada di posisiku, tidak tahu secara persis apa yang kurasakan. By the way, sudah sejak bertahun-tahun yang lalu aku mencoba untuk tidak lagi men-judge orang sekehendak persepsiku, karena lewat sebuah kesempatan aku disadarkan bahwa yang berhak jadi hakim itu hanya Allah semata.

Oke, kuakui selama ini aku mungkin terlalu banyak mengeluh. Kalau diperhatikan, sebenarnya ”keluhanku” lebih banyak berpusar pada rasa ketidakberdayaanku dalam menentukan pilihanku sendiri, dalam memutuskan sesuatu untuk hidupku... sesuai keinginan, cita-cita, dan harapanku.

Kalau sering baca blog-ku, pasti sudah tahu bahwa gambaran ideal hidupku adalah berkarir sebagai stay-at-home mom, mengabdikan sepenuh waktu untuk suami dan anak-anak. Latar belakangnya kalau mau dijelaskan bisa panjang banget, tapi salah satunya adalah untuk menitikberatkan pengasuhan dan pendidikan anak --mengingat kami jauh dari keluarga besar-- serta dari pengalaman pribadi yang merasa ada yang ”hilang” akibat kedua orang tuaku berkarir di luar rumah.

Kalau Amorita bilang aku sangat tergantung pada suami alias tidak mandiri, itu salah besar. Sejak kecil aku dididik dengan keras oleh ibuku untuk mandiri. Ini ada latar belakangnya sendiri, yaitu karena ibuku adalah sulung dari sembilan bersaudara yang kehidupan masa mudanya cukup sulit. Ditambah lagi aku kan ditinggal orang tua bekerja, jadi sejak kecil aku terbiasa mandiri, melakukan segalanya sendiri. Aku tak pernah tergantung pada orang. Semua hal kulakukan sendiri. Bahkan untuk curhat pada teman pun jarang kulakukan, semata-mata karena aku terbiasa menyimpan semuanya sendirian.

Nah, semasa kuliah aku mulai kena getahnya. Beban yang kurasakan ketika kuliah --masih belum tahu apa itu? Yaa, sebut saja ber-IP satu koma selama tiga semester berturut-turut dan sempat dapat surat peringatan soal tenggang waktu DO-- dan kebiasaanku untuk menyimpan semua sendirian membuatku terkena depresi berat. Sayang aku tidak punya nyali untuk menemui psikolog atau psikiater, meskipun waktu itu aku sempat mencari. Alhamdulillah aku tidak sampai membutuhkan obat antidepresan untuk bangkit dari masa-masa gelap itu.

Jadi ya, aku memang punya bakat depresi :D Pernah dengar soal bipolar disorder? Kalau belum, cari tahu ya. Aku memang nggak separah itu sih. Poin yang ingin kusampaikan adalah, kamu tidak bisa membuat orang depresi merasa gembira semudah membalikkan telapak tangan. Kamu tidak bisa berkata, ”Ayo, ceria dong!” sambil berharap mereka langsung bahagia. Sebab depresi tidak bisa disembuhkan semudah dan secepat itu. Kamu tidak akan bisa paham sebelum kamu bisa menyelami perasaan orang-orang yang depresi.

Eh, ini bahas apa sih kok jadi ke sini. Balik lagi ke soal menentukan pilihan hidupku sendiri, aku nggak bisa memungkiri bahwa aku nggak punya pilihan. Yah, bisa saja sih aku menolak tawaran bekerja di Bandung. Kamu bisa bilang begitu. Tapi kan kamu nggak tahu seberapa besar harapan suamiku agar aku bekerja, sama besarnya seperti harapan mertuaku agar aku bekerja. Kamu nggak tahu karena kamu nggak ada di posisiku, nggak merasakan tiap saat disuruh mencari lowongan kerja, tes dan wawancara ke sana kemari sampai capek. Aku bisa saja berkata tidak pada tawaran pekerjaan yang datang, tapi apa kamu tahu setelah itu aku harus berhadapan dengan kekecewaan suami dan kesedihan karena membuyarkan impiannya untuk punya istri yang bekerja? Kamu nggak tahu itu kan?

Kamu bilang, ”Aku yakin, sebelum kamu memutuskan hidup berjauhan dengan suamimu, kamu sudah mempertimbangkan masak-masak akan resiko yang akan kamu hadapi.”. Hal itu nggak sepenuhnya benar. Sampai saat ini pun aku merasa masih belum siap tinggal sendiri dan kelak mengasuh anak tanpa pendampingan suami. Saat aku menjejakkan kaki di Bandung, aku hanya berbekal kenekatan dan ridha suami. Aku mencintai suamiku. Ketaatanku padanya terbingkai oleh kecintaanku pada Allah dan niat untuk beribadah pada-Nya. Aku rela melakukan apa saja untuk kebahagiaan suamiku, meskipun untuk itu aku harus mengorbankan perasaanku. Itu namanya cinta, just in case kamu nggak tahu :p

Satu lagi, kamu juga nggak tahu kan kalau wanita hamil itu perasaannya berubah menjadi sangat sensitif? Kamu mungkin nggak tahu karena kamu belum pernah hamil *baca-baca buku tentang kehamilan juga dong, jangan buku soal harokah melulu, biar nanti kalau aku kena baby blues... aku nggak disalahkan lagi*. Secara alami, wanita hamil --yang paling mandiri sekalipun-- pasti menginginkan perhatian dan belaian suami. Saat-saat hamil adalah saat-saat butuh dukungan. Beberapa orang teman yang pernah hamil berkata kepadaku, ”Pasti berat jauh dari suami ketika hamil begitu.”. Nah lho, yang pernah hamil aja bilang begitu sama aku.

Depresi pada ibu yang sedang mengandung disebabkan banyak hal. Pertama, adanya perubahan hormon yang menpengaruhi mood ibu secara keseluruhan sehingga si ibu sering merasa kesal, jenuh, atau sedih. Ibu akan terus-menerus mengkhawatirkan keadaan anak dan ini akan membuat dia merasa tertekan. Depresi dapat juga dialami setelah sang ibu melahirkan bayinya. Di Amerika Serikat, sekitar 30 persen dari ibu yang baru saja melahirkan diduga mengalami depresi pascamelahirkan.

Itulah sebabnya, saat ini, peran suami terhadap ibu yang sedang mengandung dan setelah melahirkan amat besar. Ibu hamil harus mendapatkan dukungan yang sebesar-besarnya dari suami. Dukungan suami ini bisa ditunjukkan dengan berbagai cara, seperti memberi ketenangan kepada istri, membantu sebagian pekerjaan istri atau bahkan sekadar memberi pijatan ringan bila istri merasa pegal. Diharapkan, dengan dukungan total dari suami, istri dapat melewati masa keamilannya dengan perasaan senang dan jauh dari depresi.

Sumber: dari sini.

Karena aku selalu nggak nyaman curhat secara verbal sama orang, maka biasanya segala curhat kutulis dalam blog. Jadi kalau nggak suka atau jengah baca curhatku yang (mungkin menurutmu) berisi keluhan, ya nggak usah baca. Gitu aja kok repot.

Jadi begitu ya. Aku bukan malaikat. Aku hanya perempuan biasa yang sedang berjuang melawan (gejala) depresi (lagi!) dan sensitivitas menjadi ibu hamil. Aku hanya perempuan biasa yang sedang beradaptasi dengan jalan hidup yang (mungkin) melenceng dari perkiraanku. Sekali lagi, tulisan ini bukan justifikasi. Hanya berharap semoga tulisan ini menjadi pencerahan bagi yang tidak mengerti.

7 comments:

  1. Sabar ya, Mbak...

    Susahnya di dunia maya ya begini ini.

    *Hugs*

    ReplyDelete
  2. sabar say..

    emang ga mudah jadi kehamilan pertama jauh dari suami.. udah gitu kamu juga bekerja.

    sabar..dan sabar.. banyak2 dzikir, jaga kesehatan.


    (nanti kalo pas aku hamil ingetin aku juga ya,hehe)

    ReplyDelete
  3. Dari blog Rita, terus mampir kesini.
    Menjadi ibu rumah tangga, atau menjadi wanita pekerja diluar rumah adalah suatu pilihan, dengan segala risiko dan plus minusnya. Tentu saja ini tak perlu diperdebatkan, karena bisa saja, walaupun masih saudara dekat berbeda pendapat.

    Jika bekerja, kita tak perlu menjadi super woman, jadi pasti ada yang didelegasikan pada pihak lain (suami, saudara/ponakan, pembantu dll)...apakah ini salah? Tentu saja tidak. Membangun rumah tangga yang bahagia adalah murni hasil kerjasama antara suami isteri, ibaratnya mengemudikan perusahaan.

    Saya bersyukur, selama ini suami mendukung saya berkarir, mau menjaga anak-anak jika saya harus tugas keluar pulau ataupun luar negeri. Dan alhamdulillah, anak-anak sehat dan keduanya telah selesai kuliah (di UI dan ITB). Saya berterima kasih pada suami, dan sejak awal saya kerja di Jakarta dan suami di Bandung.

    ReplyDelete
  4. wah, terima kasih ya.. telah membahas komentarku dalam satu postingan, panjang lagi... :)

    maaf, karena selama ini aku tidak begitu mengenal yustika, dan mungkin ada postingan yustika yang kelewatan aku baca, sehingga aku tidak tau cerita yang sebenarnya.

    oya, aku percaya kok kalau yustika sudah bisa mandiri, dibandingkan aku yang belum punya rumah, hutang masih menumpuk, dan masih disubsidi ortu. cuma yang aku maksud di komentarku itu mandiri secara "hati". maksudnya, apakah hati kita bisa mandiri selama berjauhan dengan suami. karena bahagia itu letaknya di hati. seberat apapun ujian yang kita hadapi, jika hati bisa menatanya, pasti kita tetap bisa bersyukur dan bahagia.

    ya, aku hanya mengingatkan saja, sekaligus mengingatkan diri sendiri..

    btw, aku memang belum pernah merasakan hamil. karena suamiku meminta menunda dulu sampai kondisiku benar-benar fit. selama 9 bulan ini aku sedang menjalani terapi intensif penyakit yang menggerogoti paru-paruku, yang rencananya berakhir bulan ini (tergantung dokter sih, mau berakhir atau diperpanjang). Doakan sembuh ya... sehingga aku bisa menyusul yustika menjadi calon ibu :)

    ReplyDelete
  5. ikutan komentar ya...
    tentang kata2 mbak amorita
    mirip banget dg yg dikatakan ibu sy dulu...

    "nak, sekarang kamu bisa hidup enak, ada bapak dan ibu yg selalu ada di sisimu. tapi ini tdk utk selamanya, suatu saat ibu akan meninggal, bapak pensiun, jadi kamu hrs siap hidup mandiri. ntar kalo ibu atau bapak meninggal, kamu jgn sedih lama2, kamu hrs tegar, buktikan kamu seorg muslim yg kuat"

    kalimat itu diucapkan ibu sy, seminggu sebelum ibu sy meninggal. ibu sy kecelakaan di siang hari, pdhl pagi harinya kami msh tertawa2 bersama.

    skrg sy udah punya istri yg lg hamil 6 bulan. sy katakan pd istri sy kalimat yg dikatakan ibu sy tsb. istri sy sampai menangis, tp syukurlah ia istri yg kuat. jd ia pun mulai menyiapkan bekal jk sy tiba2 dipanggil olehNYA. istri sy seorg yg

    ReplyDelete
  6. Saya dapat link ini dari blognya m'Rita.

    Buat m'Rita: Semoga lekas sembuh ya mba', saya salut sama mba' yang tidak pernah mengeluh atas penyakit mba' dan jutaan rupiah (betul gak?) yang telah keluarga mba' keluarkan untuk upaya penyembuhan mba'.

    Buat m'Yustika: Salam kenal. Saya coba baca tulisan2 terakhir mba'. Kesan saya terhadap mba': kok sepertinya mba' sedih terus sih? Coba nulis yang ceria2 githu lho... Hidup kok diisi dengan keluhan terus (maaf ya mba', jangan tersinggung ya).

    Soal komentar m'Rita di blog m'Yustika: saya setuju sekali!
    Tiga tahun saya kenal m'Rita, yang saya tahu m'Rita seorang muslimah yang 'tahan banting', setelah banyak cobaan yang menimpanya, dari meninggalnya ibunya di saat m'Rita membutuhkannya, ayahnya yang sakit, sampai m'Rita sendiri yang sakit.
    Saya pikir cobaan yang m'Yustika alami tidak seberapa dengan cobaan yang menimpa m'Rita (mungkin...)

    Maaf jika ada salah dalam komentar saya, kalau tidak berkenan... hapus aja... :)

    ReplyDelete
  7. wah... blognya bagus banget.
    di-link yah..
    biar bisa dipantau terus.

    gua setuju dengan loe Yus... emang lebih baik bersikap jujur dalam segala hal. Gua yakin YANG KUASA juga lebih suka kalo kita bersikap jujur dari pada berpura-pura kuat karena tekanan sekitar.

    Go mommy. Atau calon mommy yah... Jaga ponakan kami baik-baik yah...

    ReplyDelete