Tuesday, October 19, 2004

Terkenang Eyang

Ini Ramadhan pertama tanpa Eyang Kakung. Semalam ketika tarawih di masjid kampung, di barisan jamaah laki-laki saya melihat sesosok sepuh yang mirip Eyang Kakung. Lalu menderaslah kenangan-kenangan tentang Eyang Kakung, lengkap dengan kesedihan yang mendera-dera.

Sejak lahir, saya selalu tinggal serumah dengan Eyang Kakung. Saat saya masih kecil, beliau yang kebagian mengasuh saya saat ditinggal bapak dan ibu bekerja. Lalu saat saya tumbuh dewasa, beliau juga mengisi hari-hari saya dengan berjuta-juta kenangan. Keluarga saya memang sangat dekat dengan kakek-nenek dari pihak ibu karena memang tinggal serumah sejak bapak-ibu saya menikah. Saya masih ingat, sejak masa SMU ketika saya sudah terbiasa bangun di sepertiga malam, saya tidak pernah sendirian. Saya hampir selalu ditemani oleh beliau yang memang juga terbiasa bangun dini hari. Saya dan beliau sama-sama penggemar berat sepakbola, berita, dan koran. Masih terekam jelas di ingatan, betapa serunya kami berteriak-teriak di depan televisi saat pertandingan sepakbola ditayangkan, atau betapa seringnya kami berebut koran pagi saking inginnya jadi yang pertama membaca berita hari itu.

Memang sudah bertahun-tahun Eyang Kakung menderita gangguan prostat. Sudah bertahun-tahun pula beliau tidak pernah mau pergi ke rumah sakit dan hanya mengandalkan obat-obatan dari paman saya yang seorang dokter umum. Minggu-minggu terakhir sebelum meninggal, gangguan prostat beliau mencapai puncaknya sehingga diputuskan untuk operasi. Setelah operasi baru diketahui bahwa pada prostat beliau terdapat kanker. Dan kanker itu semakin mengganas seusai operasi, menjalar ke mana-mana hanya dalam waktu seminggu. Sampai akhirnya menjalar sampai ke ginjal, membuat ginjal beliau tak lagi berfungsi. Sabtu 1 Mei beliau menjalani cuci darah. Dan itulah terakhir kalinya beliau sadar. Setelah beliau cuci darah, beliau mengalami koma sampai meninggal pada Selasa 11 Mei.

Saya sampai di Solo pada Ahad 2 Mei (saya tak pernah lagi menemui Eyang Kakung dalam keadaan sadar) dan langsung diberi tahu keluarga bahwa waktu Eyang Kakung sudah tak lama lagi. Meski sudah diberi tahu dokter, kami tetap tak mengira beliau akan pergi secepat ini. Meski kami sudah bersiap menerima kemungkinan yang terburuk, meski kami sudah berusaha memupuk ikhlas jika sewaktu-waktu beliau dipanggil oleh-Nya, tetap saja rasa kehilangan itu begitu perih. Sangat perih…

Eyang Kakung adalah dari siapa saya mewarisi kejawaan saya. Ritual adat dan literatur-literatur beraksara Jawa merupakan teman beliau sehari-hari. Di saat anak-anak muda Jawa saat ini mengalami krisis kejawaan yang sangat parah, saya merasa beruntung telah dibesarkan dalam suatu kultur yang adiluhung. Suatu kultur yang masih menghargai tradisi dan bahasa yang penuh pakem, tata krama, dan ewuh-pakewuh. Oh ya, tentu saya merasa beruntung. Betapa banyaknya anak-anak muda Jawa saat ini yang tidak bisa berbahasa krama bahkan kepada kedua orang tua mereka sendiri. Bukankah bahasa menunjukkan bangsa?

Namun, memang tidak semua tradisi Jawa melekat dalam pribadi saya. Banyak tradisi kejawen yang tidak islami yang saya buang jauh-jauh dari hidup saya. Usaha yang sulit tentu, mengingat Eyang Kakung mempunyai pengaruh yang sangat kuat dalam keluarga besar kami. Apalagi adat patriarkat yang berlaku di Jawa cenderung membuat kami berlaku sendika dhawuh pada titah Eyang Kakung. Pernah juga saya merasa risih bercampur geli ketika mendengar wejangan Eyang Kakung seusai lebaran, “Kamu itu orang Jawa, Ndhuk. Kalau kamu tidak membiasakan diri berbusana Jawa, kamu bisa lupa asal-usulmu. Malah membiasakan diri berpakaian seperti orang Arab.”. Jujur, waktu itu saya ingin marah sekaligus ingin tertawa. Marah karena seharusnya busana muslimah itu tidak hanya untuk orang Arab. Memangnya orang Jawa tidak boleh berbusana muslimah? Saya juga merasa tersinggung karena di mana pun saya berada, saya tidak pernah lupa bahwa saya adalah orang Jawa! Saya sekaligus merasa geli ketika membayangkan diri saya sendiri berbusana adat Jawa ke mana pun saya pergi. Memangnya sedang ada perayaan Hari Kartini sampai saya harus berbusana adat Jawa terus? Memangnya saya hidup di lingkungan keraton? Pikir saya, orang keraton saja nggak gitu-gitu amat.

Ah, masa-masa yang penuh kenangan bersama Eyang Kakung.

Saya tak tahu berapa lama hati saya bisa pulih atas rasa kehilangan ini. Kedekatan kami begitu nyata, dan tampaknya baru kemarin saya mencium takzim tangan keriput yang masih kukuh itu. Tak ada lagi yang menemani saya bangun di sepertiga terakhir malam, tak ada lagi yang berebut baca koran dengan saya, tak ada lagi suara seruan beliau yang begitu bersemangat kala menonton sepakbola, tak ada lagi yang memberi wejangan panjang buat saya. Saya begitu rindu pada beliau. Saya tahu ini yang terbaik dari Allah buat Eyang Kakung dan buat kami semua. Saya tahu, tapi tetap saja berat buat saya. Bahkan hari ini, air mata saya belum lagi kering…

3 comments:

  1. berbeda dengan yang dialami yustika, saya belum pernah sekalipun menghadapi langsung meninggalnya salah seorang anggota keluarga. saat ini, kedua kakek dan seorang nenek saya sudah tidak ada. dan tidak satupun saya bisa hadir di saat terakhirnya.
    tidak juga saat ada paman atau famili lain yang meninggal. bahkan teman dekat sekalipun. Dus, tak pernah sekalipun saya menyaksikan wafatnya seseorang yang memiliki hubungan tertentu dengan saya.
    dan ini menyisakan pertanyaan pada diri saya.

    tapi, disamping itu, ada pertanyaan lain yang lebih besar. yaitu : tidak ada rasa kehilangan. saya sadar bahwa ini bukan sesuatu yang baik.
    yang lebih besar lagi : saya bahkan pernah merasa, jikalah terkirim kabar bahwa orangtua saya di semarang meninggal, rasanya saya akan sanggup menghadapi hal itu, tanpa terlalu merasa kehilangan. dan sekali lagi saya sadar ini bukan sesuatu yang baik.

    Entahlah,
    hidup saya yang telah terbiasa sendiri [meskipun saya anak bungsu sebenarnya] membuat saya tidak merasa terlalu terikat dan bergantung pada keluarga. saya tidak tahu bagaimana cara untuk menormalkan ini, hanya saja yang saya tahu.. itu tak boleh sedikit pun menghambat saya untuk terus berusaha mengabdi pada orangtua dan keluarga.

    pada akhirnya,
    mungkin rasa perih yang sangat itu, pada saat yang sama dapat disyukuri. dan cinta kita yang dalam pada orang yang telah meninggalkan kita, InsyaAllah akan memampukan kita untuk senantiasa mengenang kebaikannya, mendoakannya di alam sana, menteladani sikapnya, dan memuliakannya di tengah keluarga dan lingkungan kita.

    saya tidak pernah seberuntung yustika yang memiliki kedekatan dengan kakek, yang dapat dikenang indah seperti ini. saya hanya bisa berharap suatu saat nanti, saya dikengan dengan cara seperti ini, oleh anak dan cucu saya.

    wassalaam.

    ReplyDelete
  2. Kehilangan...
    Bagi saya kata itu sangat cocok dalam kisah perpisahan saya dengan teman-teman dan guru di IC. Meski teknologi memungkinkan saya untuk tetap berhubungan dengan orang-orang yang saya sayangi tersebut, tapi ada yang sudah berakhir. Kedekatan, canda tawa, serta nasehat-nasehat yang senantiasa datang manakala gundah menyapa.

    Tak perlu ada kata, "Dengerin gw dong." Jauh sebelum kata itu terucap, sudah ada kuping yang terbuka atau coklat cap ayam jago untuk sekadar mengembalikan senyum yang terenggut. Pernah juga suatu kali diajak main catur yang berakhir dengan pembantaian habis-habisan dan akhirnya diganti dengan catur jawa.

    Atau kisah bersama sobatku Rini. Wah ada berbagai canda tawa yang kami lewati bersama. Kini kebersamaan itu hanya diisi dengan kata-kata kangen dan rindu. Lewat buku yang tiap tahun kami kirimkan secara bergantian pada bulan Juni dan Oktober, sesuai dengan bulan kelahiran kita berdua.

    Kehilangan...
    Kata yang masih kuresapi, kurasakan dan kuhirup sepanjang hari. Orang-orang yang tidak tergantikan dan senantiasa memiliki ruang di hati. Tapi kehilangan... aku berharap kehilangan tak membuatku berhenti melangkah untuk bertemu orang-orang baru yang dapat mewarnai hari-hariku.

    ReplyDelete
  3. Assalamu alaikum

    Bismillah

    Saya sendiri tidak terlalu akrab dengan kakek-nenek saya. Seingat saya, ketika berita meninggalnya kakek dari pihak ibu sampai, ibu saya menangis sesenggukan di telepon. Dia ngomong bahasa Makassar campur Bugis, yang artinya kira-kira, "Aduhai, sampai juga waktunya." Lantas beliau lari ke kamar dan berdiam sampai setengah jam-an. Saya waktu itu kelas satu SMP. Tapi anehnya, saya tidak merasa sedih.

    Sebenarnya, orang yang paling dekat dengan saya adalah bapak saya. Saya ingat, ada selembar foto tua yang 3/4nya sudah robek, dimana di situ terlihat saya yang berumur kurang satu tahun sedang digendong bapak. Di mata bapak saya terlihat jelas cinta yang dalam, oh ini mungkin persepsi saya. Potret itu sekarang hilang, dan itulah satu-satunya kehilangan foto yang pernah saya pedulikan.

    Tapi anehnya, saya dan bapak sebenarnya jarang mengobrol. Kalau kami berdua-duaan di rumah, biasanya saya sibuk dengan bundel-bundel majalah Tempo, HAI dan Femina kesayangan saya. Sementara ayah saya sibuk dengan kertas-kertas ceramah dan buku-buku agamanya. Keakraban kami justru muncul kalau rumah sedang ramai-ramainya, saat makan & nonton TV, atau saat saya bertanya dan berdebat macam-macam.

    Mungkin ada satu kesamaan antara bapak dan eyang kakungmu Yus. Bapak saya betul-betul membentuk hampir semua sisi pribadi saya. Cara pandangnya terhadap diri sendiri, agama dan dunia, sikapnya terhadap masalah, kegemarannya, hampir semuanya (kecuali selera makan saya).

    Saya rasa yang paling menakjubkan dari orang-orang yang kita kasihi adalah, sebagian dari diri mereka sebenarnya terus hidup dalam diri kita meskipun mereka telah tiada. Itulah persembahan cinta mereka yang terdalam. Saya berdoa, Allah berkenan meridhoi setiap langkahnya,menambal kekeliruan-kekeliruannya, dan membalas amal-amalnya. Mudah-mudahan Eyang Kakungmu juga Yus. Amin.

    Wassalamu alaikum.

    ReplyDelete