Suatu hari di minggu pertama bulan November, suamiku mengabari kalau dia akan dinas ke Manado. Dengan semangat dia mengajakku dan anak-anak untuk ikut serta. Sedianya awal minggu itu setelah dinas di Surabaya hari Senin, kemudian dinas di Pontianak hari Selasa hingga Rabu, dia akan terbang untuk dinas di Manado pada Kamis sampai akhir pekan. Wah sudah terbayang segarnya laut Bunaken tempat kami akan snorkeling nanti. Namun seketika itu juga aku langsung terbayang repotnya traveling hanya bertiga dengan anak-anak untuk menyusul suami, plus memikirkan load pekerjaan di kantor yang bisa ditinggal atau tidak. Dengan segala kerepotan yang terbayang di benak, tak pelak ada ragu-ragu yang melintas sejenak. Apalagi suami masih menundaku untuk hunting tiket karena menunggu kepastian perjalanan dinas dari kantornya.
Sementara menunggu kepastian dari suami, aku berselancar di dunia maya dan bertanya ke beberapa orang untuk menyusun itinerary yang dirasa asyik untuk dilakukan di Manado. Rabu, 5 November, beberapa agenda sudah berhasil aku rencanakan dan aku sudah mulai hunting tiket. Tiba-tiba suami mengabari kalau dia tak jadi dinas ke Manado, malah disuruh dinas ke Batam. Suami menyuruhku untuk menyusul ke Batam dan bahkan merencanakan untuk menyeberang ke Singapura. Alasannya, dia ingin mengajak anak-anak merasakan pengalaman baru naik MRT, sekaligus menjajal paspor yang aku dan anak-anak peroleh di awal tahun.
Waw, kalang kabut deh. Dua hari lagi kami sudah harus terbang, itinerary belum disusun (jangankan itinerary, browsing saja belum dilakukan!), dan aku belum tentu mendapat izin atasan untuk bolos di hari Jumat. Suamiku menyanggupi untuk mengambil alih urusan hunting tiket. Ada rute langsung Bandung-Batam yang ditawarkan oleh Lion Air saat itu. Okelah, sedikit mengurangi beban, jadi aku bisa fokus untuk mencari informasi mengenai tempat-tempat main yang asyik di Singapura.
Alhamdulillah atasan memberi izin dengan mulus. Ketika konfirmasi ke suami, alangkah kagetnya aku karena ternyata suami salah memilih tanggal keberangkatan. Untung baru booking, belum dibayar. Dan untungnya aku ricek dulu, kalau tidak, bisa-bisa peristiwa Lombok terjadi lagi *geleng-geleng kepala*. Saat akan membeli tiket untuk kedua kalinya, ternyata tiket Bandung-Batam sudah terjual habis. Hiks, itu berarti kami harus berangkat dari Jakarta, meskipun kalau dihitung-hitung, tiketnya lebih murah (sudah termasuk tiket travel) dengan maskapai Garuda yang tentu lebih baik. Ya sudahlah, daripada tak bisa berangkat.
Jumat, 9 November 2014
Dari rumah, aku dan anak-anak berangkat dengan taksi. Travel Bandung-Soekarno Hatta yang membawa kami, berangkat tepat pukul 08.00. Tadinya aku deg-degan harus menempuh perjalanan yang cukup jauh dengan beberapa moda transportasi, hanya bertiga dengan anak-anak, tapi aku memberanikan diri. Alhamdulillah anak-anak sangat kooperatif. Mereka tidur cukup lama, dan ketika bangun kemudian asyik melihat-lihat pemandangan di luar jendela sambil mengudap. Satu hal yang paling kusyukuri adalah memiliki anak sulung seperti Hanif. Dia kakak yang sangat ngemong dan bertanggung jawab. Bisa menjaga adiknya dengan baik ketika kutinggal sebentar ke kamar mandi atau ketika check in di bandara. Sementara Dek Abi tipe yang suka keluyuran dan senang mengerjai kakaknya. Dia selalu berusaha kabur dari kakaknya sambil bertualang ke sana kemari memuaskan rasa ingin tahunya. Duh, resiko cuma pergi dengan anak-anak ya seperti ini deh, mesti cepat-cepat menyelesaikan urusan, tak bisa meleng, dan harus ekstra keras mengawasi dua anak laki-laki yang cukup aktif itu.
Menanti panggilan boarding |
Kami sampai di Soekarno-Hatta sekitar pukul 12.00. Setelah check in, aku mengajak anak-anak makan siang dulu, karena pesawat kami baru berangkat pukul 14.10. Sambil menunggu, mereka asyik mengawasi kesibukan kegiatan di bandara dan melihat pesawat cukup dekat dari balik kaca. Wah, mereka senang sekali. Setelah panggilan boarding menggema, kami masuk ke pesawat dengan antusias. Lagi-lagi Dek Abi tak mau duduk sendiri, seperti biasa. Kami harus merelakan kursi-yang-dibayar-penuh itu kosong tak berpenumpang. Tak apalah, yang penting anak-anak tidak rewel. Mereka menikmati penerbangan, sementara bundanya yang takut terbang ini deg-degan sepanjang perjalanan :D
Di dalam pesawat |
Setelah mendarat di Bandara Hang Nadim pukul 16.00 lebih, aku langsung mencari musholla dan mengontak suami. Rupanya suami baru bisa menjemput sejam kemudian. Tak apalah, daripada harus mencari taksi dan pergi ke hotel sendirian. Betapa leganya aku ketika melihat suami. Rasa waswas karena pergi cuma bertiga dengan anak-anak seketika lenyap sudah. Ah you really complete me. Setelah itu sopir kantor segera mengantar kami menuju Hotel Harris di Batam Center. Lokasinya tepat bersebelahan dengan pelabuhan Batam Center yang akan kami pakai sebagai tempat menyeberang ke Singapura esok paginya.
Golden Prawn
Selepas maghrib, aku mengusulkan untuk menjajal restoran seafood terkenal di Batam yang direkomendasikan oleh seorang teman. Namanya Golden Prawn, terletak di Bengkong Laut. Kami berkendara sekitar tiga puluh menit, diantar oleh sopir kantor. Bengkong Laut adalah wilayah Bengkong yang paling ujung. Dalam peta, wilayah Bengkong Laut sebenarnya dekat dengan daerah Batam Center, pusat kota. Namun, tidak ada jalan masuk lain selain masuk melewati jalanan Bengkong yang nyaris tanpa rambu lalu lintas. Posisinya akan berakhir jauh dari mana-mana. Meskipun jauh, wilayah Bengkong Laut ini tak pernah tak dianggap. Ribuan turis datang hampir setiap bulan. Masyarakat dari seluruh belahan Batam datang berkunjung. Alasannya untuk menikmati seafood, as simple as that.
Aku membaca di sini bahwa yang harus dilakukan begitu sampai di restoran ini adalah memesan. Abaikan sejenak pemandangan langit dan laut yang terhampar luas di kejauhan. Simpan hasrat melihat ikan sampai pelayan mencatat pesanan. Mengapa? Karena lama! Butuh waktu hingga tiga puluh menit untuk menunggu masakan jadi. Tergantung banyak tidaknya pesanan. Golden Prawn akan langsung menyediakan semua pesanan dalam satu waktu. Tidak satu per satu. Kelebihan ikan Golden Prawn terletak pada kesegaran ikannya. Ikan-ikan disimpan dalam keadaan hidup.
Ketika kami memasuki restoran, seorang pelayan sigap menyambut dan mengarahkan kami ke kolam-kolam kecil di bagian depan restoran tempat ikan hidup disimpan. Konon salah satu tips untuk menyantap hidangan lezat di sini dimulai dari pemilihan ikan, udang, kerang, dll. yang kita lakukan sendiri. So, datangi kolam-kolam kecil itu dan jangan hanya duduk menunggu ikan dipilihkan. Ikan yang ditangkap pelayan kemudian akan ditimbang, lalu kita memilih menu bagaimana ikan itu akan dimasak. Kita juga bisa meminta saran agar seafood yang kita minta sesuai dengan kebutuhan dan keinginan kita menikmatinya.
Memilih ikan |
Sambil menunggu seafood dimasak, kami berjalan ke area restoran yang luas dan lapang untuk memilih tempat duduk. Kursi-kursi disusun mengelilingi meja bundar, 7-10 kursi untuk satu meja. Meja dan kursinya tidak terlalu bersih, mungkin jarang dilap kalau tidak dipakai pelanggan. Malam itu tidak terlalu ramai, hanya ada beberapa pengunjung di beberapa spot. Restoran ini mempunyai konsep terbuka dengan banyak bukaan menghadap laut, bangunannya dibuat mengapung dan di bawahnya ada kolam dengan banyak ikan. Saat itu angin laut bertiup kencang, aku sampai takut Dek Abi masuk angin.
Area restoran |
Kami memesan tim ikan kerapu, udang galah goreng mentega, kerang asam manis, dan tumis brokoli. Porsi yang disajikan cukup besar, lebih dari cukup untuk kami berempat (ya iyalah, yang dua masih krucil). Rasanya lumayan enak. Sensasi asam-manis-pedas dalam kerang kuah nanas membuat air liur mengalir, tapi lezatnya udang galah mentega dan rasa bawang pada tumis brokolinya adalah yang paling juara dari menu malam itu. Meskipun enak, seafood di sini ternyata tidak terlalu wow. Membaca ulasan di internet kadang membuat ekspektasi membumbung. Well, buang ekspektasinya jauh-jauh ya, agak-agak di luar ekspektasi soalnya. Sewaktu kami makan, ada serombongan turis dari wilayah Asia Timur juga sedang makan di situ. Mereka tertawa dan bercakap heboh sekali. Terakhir setelah makan, mereka bahkan berkaraoke dan berdansa di atas panggung, menciptakan sedikit pertunjukan yang lumayan menarik hati anak-anak dan membuat kami cekikikan.
Tim ikan kerapu, udang galah goreng mentega, kerang asam manis, dan tumis brokoli |
Seusai makan dan sedikit beristirahat karena kekenyangan, kami memutuskan untuk pulang ke hotel. Hari sudah malam dan anak-anak membutuhkan istirahat setelah seharian di perjalanan. Ketika kami membayar di kasir, ternyata harganya mahal sekali—untuk ukuran kami *langsung tersedak*. Harga yang cukup fantastis untuk rasa yang sedikit di atas rata-rata alias so-so, alias “cuma segitu aja”. Iya memang enak sih, tapi kalau harganya segitu, harusnya bisa lebih enak lagi *remas-remas struk pembayaran*.
Struk pembayaran |
Sambil menunggu sopir datang menjemput, kami duduk-duduk di pintu masuk restoran. Saat itu aku baru sempat memperhatikan sekeliling: halaman parkir restoran ini cukup luas sehingga mampu menampung banyak kendaraan termasuk bus. Tempat ini juga menjual aneka suvenir dan camilan untuk dijadikan oleh-oleh. Satu tips baru yang kuperoleh setelah makan di sini adalah: sebaiknya kita menanyakan dulu harga menu saat penimbangan, agar kita bisa menyiapkan budget dan tidak terlalu kaget ketika membayar di kasir *heuuu*.
Sampai di hotel kami langsung membersihkan diri dan beristirahat. Siap-siap menjelajah Singapura esok hari :)
...bersambung...