Thursday, August 25, 2005

Dialog

Hati: “Pengen nanya…”

Rasio: “Nanya apa?”

Hati: “Apakah ketika kita membuka diri pada orang lain, kita harus membuka diri sepenuhnya?”

Rasio: “Maksudmu gimana?”

Hati: “Maksudku, ketika kita memutuskan untuk berbagi dengan orang, apakah lantas kita akan kehilangan ruang untuk sendiri?”

Rasio: “Kenapa tiba-tiba nanya kayak gitu?”

Hati: “Mmm... kenapa ya? Mungkin karena belakangan ini aku merindukan ruang untuk sendiri.”

Rasio: ”Lalu?”

Hati: ”Yah, rasanya seperti kehilangan ruang untuk sendiri. Aku selalu merasa nyaman dengan ruang itu. Ketika aku berada di sana, rasanya seperti merdeka dari segala bentuk ikatan. Bebas melakukan apa saja. Tak peduli orang berkata apa.”

Rasio: “Oh, I see. Lantas ada orang yang membuatmu keluar dari ruang itu, gitu?”

Hati: ”Yup. Banyak orang bilang, kesendirian itu jangan terlalu dibiasain. Mereka juga bilang, aku harus mulai belajar percaya dan berbagi dengan orang lain. Karena, kata mereka, biar gimanapun aku nggak bisa hidup sendiri.”

Rasio: ”Lho, betul itu. Masa selamanya kamu bakal hidup sendiri? Aku nggak akan bicara soal manusia sebagai makhluk sosial, itu terlalu klasik. Tapi rasain sendiri deh, bukankah dunia terasa lebih indah kalau kita berbagi dengan orang?”

Hati: ”Nggak juga. Aku justru ngerasa nggak nyaman kalau orang terlalu banyak tahu tentang diriku, tentang apa yang aku rasain.”

Rasio: ”Oh ya? Lalu gimana kalau suatu saat kamu butuh orang untuk bicara? Bukankah itu artinya kamu juga butuh didengar? Butuh curhat?”

Hati: ”Ya, adakalanya emang seperti itu. Tapi kebutuhan itu seringkali tercukupi lewat perbincangan dengan jiwa. Kalaupun aku berbagi dengan orang, itu bukan untuk sesuatu yang esensial. Hanya sesuatu di permukaan.”

Rasio: ”Nggak pernah mencoba punya temen dekat yang bisa kamu percayai dan kamu ngerasa nyaman berbagi dengannya?”

Hati: ”Nope. Udah jadi bagian dari sejarah, bahwa aku selalu terluka oleh orang-orang yang semula kuanggap dekat. Lambat laun aku tak lagi bisa percaya siapapun kecuali diriku sendiri.”

Rasio: “Wah, kamu punya masalah kalau gitu.”

Hati: “Oh ya? Aku nggak ngerasa punya masalah tuh. Justru masalah muncul ketika aku ngerasa terlalu banyak berbagi sama orang.”

Rasio: “Berbagi sama orang kok jadi masalah?”

Hati: ”Ya. Ketika kita membuka diri pada orang, tak bisa dipungkiri akan timbul keterkaitan emosi dengan orang itu. Timbul perasaan mempercayai dan dipercayai. Kalau hal itu berlangsung terus menerus, akan timbul semacam ketergantungan yang adiktif dengan orang yang bersangkutan. Lantas kita akan merasa rindu untuk selalu berbagi dengannya. Dan, boom! Tiba-tiba tanpa kita sadari, orang itu sudah tahu diri kita luar-dalam, lahir-batin.”

Rasio: ”Itu namanya kedekatan. Bukankah hal itu menceriakan, menghangatkan?”

Hati: ”Bagiku tidak. Ceria dan hangat itu kan cuma di permukaan. Justru kita akan sakit banget kalau ternyata orang seperti itu tiba-tiba mengkhianati kita, padahal antara kita dan dia sudah tak ada lagi sekat.”

Rasio: ”Ah, kamu terlalu skeptis.”

Hati: ”Bukan skeptis. Luka hati paling menyakitkan justru datang dari orang-orang dekat, orang-orang yang selama ini kita labuhkan asa padanya, orang-orang yang kita kira bisa kita percayai. Dan bukan cuma itu. Bagiku, ketergantungan juga menyebalkan. Kita jadi susah ke mana-mana sendiri, ngerasa nggak utuh tanpa orang itu, ngerasa takut kehilangan. Jadi nggak mandiri. Nggak banget.”

Rasio: “Mmm...”

Hati: “Aku paling benci tergantung sama orang. Dan buatku, merindukan seseorang yang dekat dengan kita, bikin kita malah nggak bisa ngapa-ngapain, kangen melulu. Itulah sebabnya aku nggak pernah melibatkan diriku terlalu dalam dengan orang lain.”

Rasio: ”Lalu gimana halnya dengan pasangan hidup? Bukankah suatu saat nanti kamu juga bakal menikah? Bukankah pasangan kamu nanti bakal jadi orang dekatmu?”

Hati: “Ya, tentu. Itu hal yang tak bisa dihindari. Hanya saja, terhadap pasangan hidup kita sekalipun, kita berhak memutuskan hal apa yang bisa kita bagi dan hal apa yang kita pengen simpan sendiri. Dia nggak berhak menuntut kita membuka diri kita sepenuhnya. Kita berhak atas ruang untuk sendiri.”

Rasio: “Ck ck ck... segitunya kamu.”

Hati: “Tentu saja. Bagiku, hak untuk tidak berbicara sama besarnya dengan hak untuk bicara. Bukan manusia namanya kalau dia nggak punya privasi. Bukankah tiap manusia berhak atas kebebasan dan keleluasaan pribadi? Bodoh sekali orang yang nggak bisa paham akan hal itu.”

Rasio: ”Iya sih. Cuma, menurutku kamu terlalu mengagungkan kesendirian.”

Hati: “Bukan mengagungkan kesendirian. Hanya memilih untuk tidak terlalu dekat sama orang. Karena kedekatan berarti ketergantungan. Dan ketergantungan bikin kita kecanduan. It sucks!”

Rasio: ”Dasar paranoid.”

Hati: (tertawa penuh kemenangan).

3 comments:

  1. Ehm.. koq aku merasa sehati ama tokoh hati ya? Aku selalu merasa takut kalau ada yang masuk terlalu dalam, takut kalau sewaktu-waktu akan ketagihan, dan ketika seseorang atau sesuatu itu pergi dari kehidupanku, aku tidak akan menjadi sama lagi.

    Fiu...h sama banget... tapi aku sekarang lagi belajar untuk lebih terbuka. Miss u

    ReplyDelete
  2. Kepercayaan bagiku bukanlah sesuatu yang linier. Ia adalah fungsi waktu. Kadang bisa eksponensial naik, gradien positif, atau turun dengan curam.

    Memberi kepercayaan berarti bermain diantara menemukan ruang berbagi dan keberanian untuk dikecewakan.

    ReplyDelete
  3. Ketergantungan sama seseorang memang kadang membuat kecanduan. Tapi tidak bisa dipungkiri bahwa kita membutuhkan seseorang sebagai tempat untuk berbagi cerita. Kita pun harus terbuka dengan orang tersebut. Tapi kita pun harus siap dikecewakan oleh orang tersebut. Jadi hati - hati dalam memilih "teman" :D

    ReplyDelete