”Suster, bisa minta tolong dinaikin suhunya? Saya kedinginan.”
”Suhu apa ya?”
”Suhu AC-nya.”
”Lho, di sini kan nggak ada AC-nya, Mbak.”
Saya sering terkikik sendiri ketika mengingat dialog di atas, kala saya terbaring sendirian di Gedung Maria kamar 2311 Rumah Sakit Borromeus, 13 Juni 2005. Malam itu malam pertama saya di berada di ruangan itu, setelah sebelumnya terbaring satu setengah jam di UGD. Kakak laki-laki saya, satu-satunya keluarga yang mengurus saat itu, sedang pulang sebentar untuk bersiap bermalam di rumah sakit menemani saya.
Beberapa hari setelah UAS terakhir berakhir, selama empat hari badan saya panas tinggi. Semula saya berpikir hanya kecapekan biasa, karena sebelumnya saya sering sekali panas hanya karena badan kecapekan. Suhu badan yang tak kunjung turun --belakangan saya baru tahu kalau sempat mencapai angka 40-41 derajat celcius-- memaksa saya menjalani tes darah. Ternyata saya terkena demam berdarah dan harus menjalani rawat inap di rumah sakit.
Lega juga harus rawat inap di rumah sakit (lho??). Tak lain karena saya sudah merasa kewalahan terbaring tak berdaya di kamar kos selama empat hari. Rasa bersalah karena merepotkan teman-teman sekos juga membuat saya berpikir, lebih baik dirawat di rumah sakit saja. Belum lagi, akibat panas yang tinggi dan pusing yang luar biasa, saya susah tidur dan sering mengigau. Ah, betul-betul masa penuh cobaan...
Selalu ada hikmah yang dapat saya ambil. Terbaring di antara orang-orang sakit, saya betul-betul merasa bersyukur hanya terkena demam berdarah. Salah seorang pasien yang sekamar dengan saya adalah seorang nenek yang hanya bisa terbaring dengan mata terpejam selama berhari-hari, dengan alat-alat kesehatan mengelilingi beliau. Saya berpikir, keadaan saya jauh lebih baik. Saya akan segera sembuh dan segera keluar dari situ.
Hal lain yang betul-betul membuat saya terharu adalah perhatian yang saya dapat kala itu. Kasih yang tak henti-henti mengelilingi, dari keluarga dan dari teman-teman, membuat tujuh hari di rumah sakit terasa berwarna. Tawa dan doa dari mereka membuat saya merasa jauh lebih baik. Bahkan panas tinggi, bibir yang berdarah-darah, tangan kiri yang bengkak akibat darah yang membeku di selang infus --dan karenanya selang infus harus dipindah ke tangan kanan-- serta suntikan jarum setiap hari menjadi hal-hal yang tak terlalu merisaukan. Segala kasih dan perhatian itu membuat saya benar-benar merasa berharga.
Satu hal yang tak pernah saya lupakan adalah perasaan damai yang menyelimuti saya malam itu ketika terbaring di UGD, akibat mendengar lantunan merdu bacaan Al Qur’an dari kerai sebelah. Segala sakit dan penat menguap sudah...
(Tak tahu bagaimana harus membalas Papi, Mami, Mas Didik, dan seseorang yang dengan penuh kasih senantiasa menunggui di rumah sakit. Rasanya ucapan terima kasih tak akan pernah cukup...)
”Suhu apa ya?”
”Suhu AC-nya.”
”Lho, di sini kan nggak ada AC-nya, Mbak.”
Saya sering terkikik sendiri ketika mengingat dialog di atas, kala saya terbaring sendirian di Gedung Maria kamar 2311 Rumah Sakit Borromeus, 13 Juni 2005. Malam itu malam pertama saya di berada di ruangan itu, setelah sebelumnya terbaring satu setengah jam di UGD. Kakak laki-laki saya, satu-satunya keluarga yang mengurus saat itu, sedang pulang sebentar untuk bersiap bermalam di rumah sakit menemani saya.
Beberapa hari setelah UAS terakhir berakhir, selama empat hari badan saya panas tinggi. Semula saya berpikir hanya kecapekan biasa, karena sebelumnya saya sering sekali panas hanya karena badan kecapekan. Suhu badan yang tak kunjung turun --belakangan saya baru tahu kalau sempat mencapai angka 40-41 derajat celcius-- memaksa saya menjalani tes darah. Ternyata saya terkena demam berdarah dan harus menjalani rawat inap di rumah sakit.
Lega juga harus rawat inap di rumah sakit (lho??). Tak lain karena saya sudah merasa kewalahan terbaring tak berdaya di kamar kos selama empat hari. Rasa bersalah karena merepotkan teman-teman sekos juga membuat saya berpikir, lebih baik dirawat di rumah sakit saja. Belum lagi, akibat panas yang tinggi dan pusing yang luar biasa, saya susah tidur dan sering mengigau. Ah, betul-betul masa penuh cobaan...
Selalu ada hikmah yang dapat saya ambil. Terbaring di antara orang-orang sakit, saya betul-betul merasa bersyukur hanya terkena demam berdarah. Salah seorang pasien yang sekamar dengan saya adalah seorang nenek yang hanya bisa terbaring dengan mata terpejam selama berhari-hari, dengan alat-alat kesehatan mengelilingi beliau. Saya berpikir, keadaan saya jauh lebih baik. Saya akan segera sembuh dan segera keluar dari situ.
Hal lain yang betul-betul membuat saya terharu adalah perhatian yang saya dapat kala itu. Kasih yang tak henti-henti mengelilingi, dari keluarga dan dari teman-teman, membuat tujuh hari di rumah sakit terasa berwarna. Tawa dan doa dari mereka membuat saya merasa jauh lebih baik. Bahkan panas tinggi, bibir yang berdarah-darah, tangan kiri yang bengkak akibat darah yang membeku di selang infus --dan karenanya selang infus harus dipindah ke tangan kanan-- serta suntikan jarum setiap hari menjadi hal-hal yang tak terlalu merisaukan. Segala kasih dan perhatian itu membuat saya benar-benar merasa berharga.
Satu hal yang tak pernah saya lupakan adalah perasaan damai yang menyelimuti saya malam itu ketika terbaring di UGD, akibat mendengar lantunan merdu bacaan Al Qur’an dari kerai sebelah. Segala sakit dan penat menguap sudah...
(Tak tahu bagaimana harus membalas Papi, Mami, Mas Didik, dan seseorang yang dengan penuh kasih senantiasa menunggui di rumah sakit. Rasanya ucapan terima kasih tak akan pernah cukup...)
No comments:
Post a Comment