Sunday, November 30, 2014

Destinasi Batam-Singapura Hari I: Golden Prawn

Suatu hari di minggu pertama bulan November, suamiku mengabari kalau dia akan dinas ke Manado. Dengan semangat dia mengajakku dan anak-anak untuk ikut serta. Sedianya awal minggu itu setelah dinas di Surabaya hari Senin, kemudian dinas di Pontianak hari Selasa hingga Rabu, dia akan terbang untuk dinas di Manado pada Kamis sampai akhir pekan. Wah sudah terbayang segarnya laut Bunaken tempat kami akan snorkeling nanti. Namun seketika itu juga aku langsung terbayang repotnya traveling hanya bertiga dengan anak-anak untuk menyusul suami, plus memikirkan load pekerjaan di kantor yang bisa ditinggal atau tidak. Dengan segala kerepotan yang terbayang di benak, tak pelak ada ragu-ragu yang melintas sejenak. Apalagi suami masih menundaku untuk hunting tiket karena menunggu kepastian perjalanan dinas dari kantornya.

Sementara menunggu kepastian dari suami, aku berselancar di dunia maya dan bertanya ke beberapa orang untuk menyusun itinerary yang dirasa asyik untuk dilakukan di Manado. Rabu, 5 November, beberapa agenda sudah berhasil aku rencanakan dan aku sudah mulai hunting tiket. Tiba-tiba suami mengabari kalau dia tak jadi dinas ke Manado, malah disuruh dinas ke Batam. Suami menyuruhku untuk menyusul ke Batam dan bahkan merencanakan untuk menyeberang ke Singapura. Alasannya, dia ingin mengajak anak-anak merasakan pengalaman baru naik MRT, sekaligus menjajal paspor yang aku dan anak-anak peroleh di awal tahun.

Waw, kalang kabut deh. Dua hari lagi kami sudah harus terbang, itinerary belum disusun (jangankan itinerary, browsing saja belum dilakukan!), dan aku belum tentu mendapat izin atasan untuk bolos di hari Jumat. Suamiku menyanggupi untuk mengambil alih urusan hunting tiket. Ada rute langsung Bandung-Batam yang ditawarkan oleh Lion Air saat itu. Okelah, sedikit mengurangi beban, jadi aku bisa fokus untuk mencari informasi mengenai tempat-tempat main yang asyik di Singapura.

Alhamdulillah atasan memberi izin dengan mulus. Ketika konfirmasi ke suami, alangkah kagetnya aku karena ternyata suami salah memilih tanggal keberangkatan. Untung baru booking, belum dibayar. Dan untungnya aku ricek dulu, kalau tidak, bisa-bisa peristiwa Lombok terjadi lagi *geleng-geleng kepala*. Saat akan membeli tiket untuk kedua kalinya, ternyata tiket Bandung-Batam sudah terjual habis. Hiks, itu berarti kami harus berangkat dari Jakarta, meskipun kalau dihitung-hitung, tiketnya lebih murah (sudah termasuk tiket travel) dengan maskapai Garuda yang tentu lebih baik. Ya sudahlah, daripada tak bisa berangkat.

Jumat, 9 November 2014


Dari rumah, aku dan anak-anak berangkat dengan taksi. Travel Bandung-Soekarno Hatta yang membawa kami, berangkat tepat pukul 08.00. Tadinya aku deg-degan harus menempuh perjalanan yang cukup jauh dengan beberapa moda transportasi, hanya bertiga dengan anak-anak, tapi aku memberanikan diri. Alhamdulillah anak-anak sangat kooperatif. Mereka tidur cukup lama, dan ketika bangun kemudian asyik melihat-lihat pemandangan di luar jendela sambil mengudap. Satu hal yang paling kusyukuri adalah memiliki anak sulung seperti Hanif. Dia kakak yang sangat ngemong dan bertanggung jawab. Bisa menjaga adiknya dengan baik ketika kutinggal sebentar ke kamar mandi atau ketika check in di bandara. Sementara Dek Abi tipe yang suka keluyuran dan senang mengerjai kakaknya. Dia selalu berusaha kabur dari kakaknya sambil bertualang ke sana kemari memuaskan rasa ingin tahunya. Duh, resiko cuma pergi dengan anak-anak ya seperti ini deh, mesti cepat-cepat menyelesaikan urusan, tak bisa meleng, dan harus ekstra keras mengawasi dua anak laki-laki yang cukup aktif itu.

Menanti panggilan boarding

Kami sampai di Soekarno-Hatta sekitar pukul 12.00. Setelah check in, aku mengajak anak-anak makan siang dulu, karena pesawat kami baru berangkat pukul 14.10. Sambil menunggu, mereka asyik mengawasi kesibukan kegiatan di bandara dan melihat pesawat cukup dekat dari balik kaca. Wah, mereka senang sekali. Setelah panggilan boarding menggema, kami masuk ke pesawat dengan antusias. Lagi-lagi Dek Abi tak mau duduk sendiri, seperti biasa. Kami harus merelakan kursi-yang-dibayar-penuh itu kosong tak berpenumpang. Tak apalah, yang penting anak-anak tidak rewel. Mereka menikmati penerbangan, sementara bundanya yang takut terbang ini deg-degan sepanjang perjalanan :D

Di dalam pesawat

Setelah mendarat di Bandara Hang Nadim pukul 16.00 lebih, aku langsung mencari musholla dan mengontak suami. Rupanya suami baru bisa menjemput sejam kemudian. Tak apalah, daripada harus mencari taksi dan pergi ke hotel sendirian. Betapa leganya aku ketika melihat suami. Rasa waswas karena pergi cuma bertiga dengan anak-anak seketika lenyap sudah. Ah you really complete me. Setelah itu sopir kantor segera mengantar kami menuju Hotel Harris di Batam Center. Lokasinya tepat bersebelahan dengan pelabuhan Batam Center yang akan kami pakai sebagai tempat menyeberang ke Singapura esok paginya.

Golden Prawn


Selepas maghrib, aku mengusulkan untuk menjajal restoran seafood terkenal di Batam yang direkomendasikan oleh seorang teman. Namanya Golden Prawn, terletak di Bengkong Laut. Kami berkendara sekitar tiga puluh menit, diantar oleh sopir kantor. Bengkong Laut adalah wilayah Bengkong yang paling ujung. Dalam peta, wilayah Bengkong Laut sebenarnya dekat dengan daerah Batam Center, pusat kota. Namun, tidak ada jalan masuk lain selain masuk melewati jalanan Bengkong yang nyaris tanpa rambu lalu lintas. Posisinya akan berakhir jauh dari mana-mana. Meskipun jauh, wilayah Bengkong Laut ini tak pernah tak dianggap. Ribuan turis datang hampir setiap bulan. Masyarakat dari seluruh belahan Batam datang berkunjung. Alasannya untuk menikmati seafood, as simple as that.

Aku membaca di sini bahwa yang harus dilakukan begitu sampai di restoran ini adalah memesan. Abaikan sejenak pemandangan langit dan laut yang terhampar luas di kejauhan. Simpan hasrat melihat ikan sampai pelayan mencatat pesanan. Mengapa? Karena lama! Butuh waktu hingga tiga puluh menit untuk menunggu masakan jadi. Tergantung banyak tidaknya pesanan. Golden Prawn akan langsung menyediakan semua pesanan dalam satu waktu. Tidak satu per satu. Kelebihan ikan Golden Prawn terletak pada kesegaran ikannya. Ikan-ikan disimpan dalam keadaan hidup.

Ketika kami memasuki restoran, seorang pelayan sigap menyambut dan mengarahkan kami ke kolam-kolam kecil di bagian depan restoran tempat ikan hidup disimpan. Konon salah satu tips untuk menyantap hidangan lezat di sini dimulai dari pemilihan ikan, udang, kerang, dll. yang kita lakukan sendiri. So, datangi kolam-kolam kecil itu dan jangan hanya duduk menunggu ikan dipilihkan. Ikan yang ditangkap pelayan kemudian akan ditimbang, lalu kita memilih menu bagaimana ikan itu akan dimasak. Kita juga bisa meminta saran agar seafood yang kita minta sesuai dengan kebutuhan dan keinginan kita menikmatinya.

Memilih ikan

Sambil menunggu seafood dimasak, kami berjalan ke area restoran yang luas dan lapang untuk memilih tempat duduk. Kursi-kursi disusun mengelilingi meja bundar, 7-10 kursi untuk satu meja. Meja dan kursinya tidak terlalu bersih, mungkin jarang dilap kalau tidak dipakai pelanggan. Malam itu tidak terlalu ramai, hanya ada beberapa pengunjung di beberapa spot. Restoran ini mempunyai konsep terbuka dengan banyak bukaan menghadap laut, bangunannya dibuat mengapung dan di bawahnya ada kolam dengan banyak ikan. Saat itu angin laut bertiup kencang, aku sampai takut Dek Abi masuk angin.

Area restoran

Kami memesan tim ikan kerapu, udang galah goreng mentega, kerang asam manis, dan tumis brokoli. Porsi yang disajikan cukup besar, lebih dari cukup untuk kami berempat (ya iyalah, yang dua masih krucil). Rasanya lumayan enak. Sensasi asam-manis-pedas dalam kerang kuah nanas membuat air liur mengalir, tapi lezatnya udang galah mentega dan rasa bawang pada tumis brokolinya adalah yang paling juara dari menu malam itu. Meskipun enak, seafood di sini ternyata tidak terlalu wow. Membaca ulasan di internet kadang membuat ekspektasi membumbung. Well, buang ekspektasinya jauh-jauh ya, agak-agak di luar ekspektasi soalnya. Sewaktu kami makan, ada serombongan turis dari wilayah Asia Timur juga sedang makan di situ. Mereka tertawa dan bercakap heboh sekali. Terakhir setelah makan, mereka bahkan berkaraoke dan berdansa di atas panggung, menciptakan sedikit pertunjukan yang lumayan menarik hati anak-anak dan membuat kami cekikikan.

Tim ikan kerapu, udang galah goreng mentega, kerang asam manis, dan tumis brokoli

Seusai makan dan sedikit beristirahat karena kekenyangan, kami memutuskan untuk pulang ke hotel. Hari sudah malam dan anak-anak membutuhkan istirahat setelah seharian di perjalanan. Ketika kami membayar di kasir, ternyata harganya mahal sekali—untuk ukuran kami *langsung tersedak*. Harga yang cukup fantastis untuk rasa yang sedikit di atas rata-rata alias so-so, alias “cuma segitu aja”. Iya memang enak sih, tapi kalau harganya segitu, harusnya bisa lebih enak lagi *remas-remas struk pembayaran*.

Struk pembayaran

Sambil menunggu sopir datang menjemput, kami duduk-duduk di pintu masuk restoran. Saat itu aku baru sempat memperhatikan sekeliling: halaman parkir restoran ini cukup luas sehingga mampu menampung banyak kendaraan termasuk bus. Tempat ini juga menjual aneka suvenir dan camilan untuk dijadikan oleh-oleh. Satu tips baru yang kuperoleh setelah makan di sini adalah: sebaiknya kita menanyakan dulu harga menu saat penimbangan, agar kita bisa menyiapkan budget dan tidak terlalu kaget ketika membayar di kasir *heuuu*.

Sampai di hotel kami langsung membersihkan diri dan beristirahat. Siap-siap menjelajah Singapura esok hari :)

...bersambung...

Thursday, November 20, 2014

Brownies Panggang

Fun cooking akhir pekan lalu: membuat brownies panggang, dengan topping choco chip, keju, dan kacang almond.

Kebetulan ada Daffa, sepupu Hanif, yang sedang main ke rumah. Jadilah mereka seru-seruan berdua. Dapur berantakan, tapi acara memanggang brownies-nya berhasil. Coklat banget!



Resep Brownies


Bahan:
  • 150 gram butter
  • 250 gram cooking chocolate
  • 50 mL susu cair
  • 50 gram chocolate powder
  • 4 butir telur
  • 250 gram gula pasir
  • 100 gram terigu


Topping:
  • Choco chip
  • Keju (dipotong dadu)
  • Kacang almond (disangrai dulu)


Cara membuat:
  1. Lelehkan butter, campur susu cair, cooking chocolate, chocolate powder, lalu aduk (gambar 2).
  2. Kocok telur dan gula pasir sampai lepas / mengembang (gambar 3).
  3. Campur adonan cokelat dengan kocokan telur (gambar 4 dan 5).
  4. Ayak terigu. Tuang ke campuran adonan cokelat tadi (gambar 6).
  5. Tuang adonan ke dalam loyang yang sudah dialasi kertas roti dan dioles margarine (gambar 7). Oven setengah jam. Taruh topping (gambar 8), oven lagi sebentar.

Tuesday, November 04, 2014

Destinasi Lombok Hari IV: City Tour

Minggu, 1 Juni 2014


Hari terakhir di Lombok akan diisi dengan city tour mengelilingi Kota Mataram, sebelum kami pulang ke Pulau Jawa. Pesawat kami sekeluarga yang menuju Bandung dijadwalkan pukul 17.40, sementara rombongan teman-teman Mas Catur akan pulang ke Jakarta dengan pesawat pukul 14.45. Pagi-pagi aku sudah bangun untuk membereskan jemuran kumuh di balkon dan menata koper serta bawaan. Sekitar pukul 09.00 kami sekeluarga sudah siap di lobi hotel untuk melakukan check out. Proses check out seluruh rombongan akhirnya selesai pukul 10.00, lalu kami menaiki bus dan city tour pun dimulai.

Bersiap mengikuti city tour

Bus meninggalkan halaman Hotel Santosa dan menorehkan tekad di hatiku bahwa kami akan kembali lagi ke Senggigi suatu hari nanti. Roda bus menggelinding di jalanan Senggigi ke arah selatan melewati Ampenan, menuju Mataram. Mataram adalah ibu kota Provinsi Nusa Tenggara Barat dan merupakan kota terbesar di provinsi ini. Secara administratif Kota Mataram terbagi atas enam kecamatan, yaitu Kecamatan Ampenan, Cakranegara, Mataram, Sandubaya, Selaparang dan Sekarbela dengan 50 kelurahan dan 297 lingkungan.

Mataram sebelumnya merupakan bagian dari Kabupaten Lombok Barat. Ibu kota Lombok Barat sendiri dipindahkan ke Gerung tahun 2000. Kota ini sebenarnya merupakan penggabungan dari empat kota yaitu Ampenan, Mataram, Cakranegara dan Bertais. Tempat-tempat tersebut dahulu merupakan kerajaan-kerajaan yang berdiri sendiri. Ampenan merupakan kota pelabuhan tua sementara Mataram adalah pusat pemerintahan dan kantor provinsi, Cakranegara adalah pusat komersial utama di pulau tersebut, serta Bertais merupakan pusat transportasi umum darat. Empat kecamatan tersebut terhubung oleh sebuah jalan utama yang membentang dari Jalan Ampenan di Ampenan ke Jalan Selaparang di Bertais.

Orang-orang Sasak adalah suku asli Lombok yang beragama Islam dan merupakan mayoritas penduduk Mataram, bersama dengan suku Bali yang beragama Hindu. Perpaduan budaya Sasak dan budaya Bali menghasilkan budaya yang unik. Pengaruh Bali di kota Mataram cukup terasa, di dalam kota kita menemukan banyak pura atau rumah-rumah orang Bali yang ada puranya. Penduduk etnis Bali terkonsentrasi di wilayah Cakranegara. Mataram juga menjadi rumah bagi orang-orang pendatang dari Cina, Tionghoa peranakan, juga sejumlah kecil orang Indonesia keturunan Arab-Yaman yang bermukim di kota pelabuhan Ampenan. Penduduk kota yang merupakan orang Sasak masih memegang kuat asal-usul dan budaya mereka. Keragaman etnis di Mataram adalah hasil dari sejarah kota yang panjang sejak masa Kerajaan Laeq Suwung yang pernah menguasai pulau tersebut. Mereka adalah orang-orang dari Jawa (Majapahit), pedagang dari Asia dan Timur Tengah, invasi kerajaan Karangasem Bali, serta pendudukan Belanda dan Jepang.

Kaos Exotic khas Lombok


Di Cakranegara, kami mampir di toko kaos khas Lombok. Namanya Kaos Exotic, semacam Kaos Dagadu di Jogja atau Kaos Joger di Bali. Letak tokonya ada di Komplek MGM Plaza, Jl. Chairil Anwar nomor 6. Toko ini menjual berbagai macam kreasi kaos khas Lombok dan berbagai macam cendera mata unik berlabel Lombok. Selain kaos, ada pula beberapa jenis pakaian batik, topi, serta sandal-sandal. Kami tidak terlalu tertarik berbelanja di sini, maka kami hanya melihat-lihat saja.

Sop Buntut R.M. Istana Rasa


Menjelang tengah hari, bus berhenti di sebuah rumah makan yang dari luar tampak sederhana. Sebelumnya Pak Masren, pemandu kami, memang sudah memberitahukan bahwa menu makan siang kali itu adalah sop buntut—yang seketika disambut gembira oleh suamiku karena merasa tidak terlalu cocok dengan makanan khas Lombok. Katanya sop buntut di tempat ini adalah yang paling enak dan cukup terkenal.

R.M. Istana Rasa yang tampak sederhana. Gambar diambil dari sini.

Rombongan melangkah satu-satu memasuki rumah makan yang terletak di Jl. Subak III nomor 21 itu. Letaknya masih di kawasan Cakranegara. Bangunannya tidak terlalu mewah, bahkan bisa dikata lebih mirip rumah tinggal yang kemudian dijadikan sebagai rumah makan. Lahan parkir saja tak punya, dan letaknya di jalan perumahan yang tidak terlalu lebar. Maka tak heran bila para tamu agak kesulitan memarkir kendaraan. Terbayang kan bagaimana dengan bus yang kami tumpangi. Pasti rumah makan ini memiliki sajian yang wow sekali hingga sebegitu terkenalnya.

Tak perlu menunggu lama, barisan mangkok berisi sop buntut segera disajikan hangat-hangat. Tampak begitu menggugah selera. Pada gigitan pertama aku langsung membatin: ini sop buntut paling enak yang pernah aku rasakan. Dagingnya empuk sekali, dalam sekali gigit langsung terlepas dari tulangnya. Jadi tak perlu repot-repot menggigit-gigit sambil menarik-narik tulang dengan tangan. Kuah coklatnya yang kental terasa nikmat, sampai habis aku menyeruputnya. Memang benar apa yang dikatakan orang: sop buntut R.M. Istana Rasa paling juara.

Sop buntut yang endess banget. Gambar diambil dari sini.

Kalau kita browsing di internet, tidak banyak artikel yang mengulas kelezatan sop buntut di tempat ini. Meskipun tanpa promosi, rumah makan ini ramai pengunjung. Tak heran lah, sop buntutnya memang enak sekali. Si pemilik R.M. Istana Rasa, Ibu Melina, mengawali usaha kuliner ini dari kegemaran memasak. Meskipun tidak mengenyam pendidikan sekolah tata boga, Ibu Melina terus belajar hingga menemukan racikan yang pas untuk sop buntut.

Tahun 1999, ia memberanikan diri membuka usaha rumah makan yang diberi nama Istana Rasa. Sejak membuka usaha rumah makan, sop buntut buatannya ramai penggemar, terutama dari luar kota. Banyak artis dan tokoh terkenal hingga pembawa acara kuliner populer Bondan Winarno, pernah bertandang dan menikmati sop buntutnya. Sop buntut Istana Rasa dijamin halal, karena seluruh karyawan termasuk juru masaknya adalah muslim. Ibu Melina sendiri adalah seorang mualaf.

Jadi bagi Anda yang berkunjung ke Lombok, sempatkan deh singgah ke rumah makan ini. Sop buntutnya yang endess banget dijamin membuat ketagihan. Diam-diam aku mencatat dalam hati, selain Warung Menega, R.M. Istana Rasa adalah tempat yang wajib dikunjungi jika suatu hari nanti kami berkesempatan menginjak Lombok kembali.

Pulang!


Perjalanan kami hari itu berakhir di Bandara Lombok Praya. Kami sampai di bandara sekitar pukul 13.00 lebih. Terpaksa deh ikut itinerary rombongan—yang akan berangkat dengan pesawat pukul 14.45, meskipun pesawat kami sendiri baru akan take off empat jam kemudian. Sementara Mas Catur asyik bercengkerama dan berfoto dengan teman-temannya, aku mengedarkan pandangan ke sekeliling. Ruang tunggu bandara ini sangat mirip dengan mall. Ada banyak gerai toko dan cafe yang bisa dipakai untuk menghabiskan waktu. Suasananya tenang, nyaman, dan tidak terlalu ramai. Bangunannya lapang dan luas, anak-anak bisa berlari-lari riang demi membunuh bosan.

Bandara Lombok Raya yang mirip mall

Di bagian dalam ruang boarding, terdapat playground warna-warni. Ada arena panjatan dan perosotan, ada rumah-rumahan, juga ada meja kursi tempat anak-anak bisa bermain lego blok. Mereka antusias bermain di situ. Letaknya persis di pinggir jendela kaca besar yang menghadap landas pacu. Jadi kalau bosan bermain-main, kita bisa duduk-duduk sambil melihat pesawat. Sayangnya di ruang ini tidak terdapat AC. Meskipun ada bukaan ke arah ruang boarding yang ber-AC, tetap saja masih terasa panas. Anak-anak sampai berkeringat. Baru kali ini aku melihat ada playground di ruang tunggu bandara untuk mengakomodasi kebutuhan anak-anak bermain. Jempol deh untuk manajemen Bandara Lombok Praya yang cukup children friendly, meskipun akan lebih bagus lagi kalau fasilitas playground ditingkatkan.

Bermain di playground

Wings Air yang kami tumpangi mengudara tepat waktu dan mendarat di Denpasar untuk transit. Lion Air yang menuju Bandung ada di Gate 18 dan waktu transit mepet sekali. Setengah jam sebelum jadwal take off para penumpang masih menunggu bus jemputan yang akan membawa kami namun tak kunjung terlihat juga. Sebagian dari mereka—termasuk Mas Catur—sudah mulai marah-marah karena khawatir tertinggal pesawat. Beberapa kru maskapai mengarahkan kami untuk berjalan kaki menuju Gate 18 (Whattt??? Memangnya jaraknya dekat apa?). Sambil menggerutu akhirnya kami mulai berjalan kaki satu-satu. Untungnya di tengah jalan ada bus jemputan yang berhenti dan membawa kami semua. Fiuhhh...

Perjalanan Lombok-Denpasar menggunakan pesawat jenis ATR yang berkabin sempit.

Ketika kami sampai di Gate 18 lima belas menit sebelum jadwal take off, ternyata ada pengumuman kalau pesawat mengalami delay. Ah another dagelan. Tapi kami tak menggerutu lagi, mengingat saat berangkat kami “diselamatkan” oleh delay hehehe. Waktu menunggu kami habiskan untuk ke kamar kecil, selonjoran, juga mengudap. Anak-anak berlarian seperti biasa. Pukul 20.00 lebih, kami masuk ke dalam pesawat. Perjalanan berjalan lancar dan kami mendarat di Bandung dengan mulus. Liburan di Lombok usai sudah, menyisakan kenangan indah dan setumpuk pakaian kotor yang berlumur pasir pantai hehehe. Lombok, tunggu kami datang lagi yaa...

Sumber:
- http://id.wikipedia.org/wiki/Kota_Mataram
- http://indonesia.travel/id/destination/668/mataram-jantung-hati-lombok
- http://www.beautyofindonesia.com/berburu-oleh-oleh-khas-pulau-lombok/
- https://www.facebook.com/lalumara.s.wangsa/posts/10203212315335880:0

Baca juga:

Monday, November 03, 2014

Destinasi Lombok Hari III: Gili Trawangan dan Menega

Sabtu, 31 Mei 2014

Insert: Tiga gili yang menjadi objek wisata di Lombok

Pagi-pagi sekali aku bangun dengan antusias karena menyadari bahwa hari itu kami akan berwisata ke Gili Trawangan. Anak-anak masih tidur, jadi selepas subuh ketika matahari mulai sedikit terlihat, aku dan Mas Catur memutuskan untuk berjalan-jalan sejenak menyusuri Pantai Senggigi di belakang hotel, sekaligus mencari penjaja jasa henna untuk melukis tanganku yang satunya—karena hasil henna sebelumnya sangat memuaskan. Sayangnya hari masih terlalu pagi sehingga belum ada penjual berseliweran. Di pantai yang masih sepi itu, beberapa nelayan sedang menepi dan membongkar ikan hasil berlayar. Kami berjalan dengan santai dan leluasa—kesempatan untuk berduaan tanpa anak-anak, hihihi—menyusuri tepian pantai sampai mentok di bebatuan karang di barat daya, lalu berbelok menembus masuk ke area sebuah hotel lain untuk sampai di jalan raya Senggigi. Jalanan masih sangat sepi, dan kafe-kafe di pinggir jalan masih tertutup rapat.

Jalan-jalan berdua selepas subuh

Jalanan Senggigi yang masih sepi dan kafe-kafe yang masih tutup

Selesai sarapan, rombongan berkumpul di bus pukul 10.00 WITA—terlambat satu jam dari seharusnya. Bus menyusuri jalan di pinggiran pantai sebelah barat Lombok selama 30 menit, dari Senggigi melewati Malimbu sampai akhirnya berhenti di pelabuhan Teluk Kodek. Dari pelabuhan ini, rombongan menyewa dua perahu untuk menyeberang ke Gili Trawangan. Perahu yang kami sewa merupakan perahu carteran yang akan membawa kami menyeberang pulang-pergi. Aku tak tahu berapa biayanya karena sudah diurus oleh pihak guide.

Selain pelabuhan Teluk Kodek, pelabuhan yang kerap dipakai untuk menyeberang ke Gili Trawangan adalah pelabuhan Bangsal. Berjarak sekitar 45 menit berkendara dari Senggigi, pelabuhan Bangsal merupakan pelabuhan penyeberangan reguler yang biasa digunakan oleh penduduk sekitar dari dan menuju Gili, baik Gili Meno, Gili Air maupun Gili Trawangan. Apabila kita menggunakan taksi, mereka tidak diizinkan masuk sampai ke pelabuhan, melainkan hanya sampai ke tempat sejenis terminal kecil yang disebut sebagai stasiun. Dari sini kita bisa meneruskan perjalanan menggunakan kereta kuda yang disebut cidomo. Jaraknya tidak terlalu jauh, mungkin hanya sekitar 200 meter, sehingga sejatinya bisa ditempuh hanya dengan berjalan kaki.

Pelabuhan Bangsal tidak terlihat seperti pelabuhan, hanya berupa bibir pantai dengan bangunan kecil dari kayu sebagai administratur sekaligus penjual tiket, serta beberapa kursi untuk menunggu. Perahu yang digunakan sebagai penyeberangan reguler, harga tiketnya Rp 10.000 per orang dan baru bisa berangkat apabila pembeli tiket sudah berjumlah 20 orang. Jadi biasanya kita harus menunggu beberapa menit bahkan beberapa puluh menit untuk bisa menyeberang. Petugas akan memberitahu melalui pengeras suara berapa orang lagi yang masih diperlukan untuk perahu bisa berjalan. Karena penyeberangan reguler ini juga digunakan oleh masyarakat setempat selain wisatawan, jangan heran bila di dalam perahu seringkali terdapat banyak barang bahkan binatang seperti ayam dalam keadaan hidup. Alternatif lainnya ialah dengan menggunakan speed boat carteran dengan biaya sekitar Rp 250.000-700.000. (sumber dari sini dan sini)

Walaupun murah, pelabuhan Bangsal adalah pelabuhan yang tidak aman (apalagi nyaman) untuk wisatawan khususnya wisatawan asing. Pelabuhan ini penuh dengan scam dan penipuan yang dilakukan oleh orang-orang setempat yang terjadi semenjak kita turun dari mobil. Berhati-hatilah selama berada di sini. Tips aman dan modus penipuan yang sering terjadi di pelabuhan Bangsal bisa dilihat di sini.

Gili Trawangan


Matahari bersinar cerah, barisan awan sesekali terlihat: cuaca yang sempurna untuk bermain di pantai. Perjalanan menyeberang ke Gili Trawangan kami tempuh dalam waktu 45 menit. Sepanjang perjalanan, Dek Abi menangis karena ingin menyusu. Sedih sih mendengar rengekannya, tapi entah mengapa Mas Catur melarangku menyusui Dek Abi di atas perahu, mungkin merasa tidak enak dengan teman-temannya yang lain. Gili Trawangan merupakan pulau terjauh dan terbesar di antara barisan tiga pulau selain Gili Meno dan Gili Air. Dibanding dua yang lain, ketinggian Gili Trawangan di atas permukaan laut cukup signifikan dan fasilitas pariwisatanya paling beragam. Dengan panjang 3 km dan lebar 2 km, pulau kecil ini berpopulasi 800 jiwa. Bagian paling padat penduduk adalah bagian timur pulau ini, di mana perahu dan speed boat dari Lombok banyak merapat.

Perjalanan menuju Gili Trawangan

Sesampai di Gili Trawangan, aku dan Hanif langsung menukar pakaian dengan baju renang. Sesaat kami masih bingung akan mengisi waktu dengan kegiatan apa (ragam aktivitas wisata yang bisa dilakukan di Gili Trawangan bisa diintip di sini), sementara beberapa orang dari rombongan sedang bernegosiasi harga dengan penjual jasa glass-bottom boat. Sejak dulu aku ingin sekali melakukan snorkeling, maka hal itu yang pertama kali akan kami lakukan. Awalnya kami memutuskan untuk snorkeling di sekitar pantai saja. Peralatan snorkeling bisa diperoleh dengan mudah dari persewaan yang tersebar di pinggir pantai, biayanya kalau tidak salah sekitar Rp 25.000. Namun ternyata, spot koral yang menarik tidak berada di bibir pantai, melainkan di perairan antara Gili Trawangan dan Gili Meno. Jasa perahu yang ditawarkan sekitar Rp 650.000-700.000, terlalu mahal kalau cuma diisi oleh kami sekeluarga. Maka kami segera mengejar rombongan yang sedianya akan naik glass-bottom boat—untung belum berangkat—dan menumpang perahu tersebut untuk melakukan snorkeling. Ada tujuh orang dalam perahu yang bersiap akan menceburkan diri ke laut dengan peralatan snorkeling.

Setelah beberapa menit bertolak dari pantai, perahu berhenti di spot yang katanya memiliki keindahan pemandangan bawah laut. Kami sempat kecewa karena koral-koral itu tak seindah yang kami bayangkan, bahkan banyak yang sudah mati. Tapi beberapa jenis ikan yang berseliweran cukup membuat anak-anak di dalam perahu memekik riang. Aku segera memakai pelampung dan menceburkan diri dari arah belakang perahu. Sekedar info, aku belum pernah melakukan snorkeling sebelumnya, jadi aku tidak tahu bagaimana menggunakan snorkel, sekaligus belum bisa membayangkan snorkeling itu seperti apa. Meskipun bisa berenang, tak urung kepanikan melanda ketika badan ini sudah tercelup ke air sepenuhnya. Panik karena kaki menjejak-jejak tanpa bisa merasakan dasar, dan panik karena mulai menelan air laut dari alat snorkel yang tak terpasang sempurna. Kulihat tukang perahunya sedikit menahan tawa ketika melihat kepanikanku. Uh, memalukan sekali.

Di atas glass-bottom boat

Tukang perahu itu jelas bukan pemandu atau instruktur selam. Salah satu dari mereka cuma memberi petunjuk pemakaian ala kadarnya. Lalu demi melihatku yang masih panik, dia menyuruh salah satu temannya untuk menjadi guide-ku dalam melakukan snorkeling. Setelah beradaptasi sejenak dengan kondisi badan terapung yang bergoyangan ke sana kemari karena ombak, aku membetulkan pemakaian snorkel dan beberapa kali berlatih bernapas dengan snorkel. Setelah itu aku merasa lebih mantap dan mulai mengayuh kaki dan tangan untuk menjauhi perahu menuju titik-titik yang diarahkan oleh guide. Alhamdulillah masker selam yang kupakai cukup bagus, jadi pas menempel ke wajah dan cukup kedap air melindungi mata dan hidung. Namun aku memilih untuk tidak menggunakan kaki katak, daripada nanti panik lagi karena belum terbiasa. Lagipula aku merasa lebih bebas bergerak bila kakiku polos, meskipun sebenarnya kaki katak (sirip selam) itu berfungsi untuk menambah daya dorong pada kaki. Sedikit informasi tentang apa itu snorkeling dan apa saja peralatannya, bisa dilihat di sini.

Snorkeling

Tak berapa lama kemudian, Mas Catur dan teman-temannya menyusul. Satu demi satu mulai berceburan dari lambung perahu dan berenang kian kemari. Aku yang sudah keenakan snorkeling lalu menoleh ke belakang, rupanya aku berenang cukup jauh dari perahu. Perahu berhenti sekitar 30-45 menit menunggu orang-orang yang sedang snorkeling, sementara rombongan yang lain menikmati pemandangan ikan dan koral dari balik jendela kaca yang tertanam di dasar perahu. Setelah naik ke perahu, aku berjemur di atap perahu sepanjang perjalanan merapat kembali ke bibir pantai Gili Trawangan. Dan rupanya bukan hanya aku, beberapa orang dari rombongan juga mengalami mabuk laut. Aku turun dengan sempoyongan lalu langsung terduduk lemas di pasir sambil merasa mual. Olala..

Setelah itu kami menuju ke tempat di mana sebelumnya kami meninggalkan Dek Abi dan eyangnya bermain pasir. Rupanya mereka sudah tidak di sana, maka kami bersegera menuju Juku Marlin, restoran sederhana yang menjadi base camp rombongan. Setelah membersihkan diri, kami menyantap makan siang dengan menu khas Lombok: ayam taliwang dan plecing kangkung. Rasanya cukup standar, alias biasa-biasa saja. Sambil makan, aku mengedarkan pandangan ke sekeliling pantai. Banyak sekali turis bule di sini. Jalanan di sini sudah cukup bagus, bukan aspal tapi sudah diperkeras dengan semen. Kendaraan bermotor dilarang keras beroperasi. Sebagai gantinya, alat transportasi yang digunakan adalah sepeda dan cidomo. Kanan kiri jalan utama dipenuhi dengan restoran yang berjejer. Banyak di antaranya menawarkan menu western. Aku melihat ada kedai es krim (home-made gelato) yang membuatku mencecap air liur—es krim adalah sesuatu yang tepat untuk siang yang panas seperti saat itu, sayangnya aku tak sempat mencicipi.

Setelah makan siang, Mas Catur dan anak-anak mengelilingi pulau dengan cidomo. Ketika aku berjalan menuju masjid, sekali lagi aku melayangkan pandangan ke sekeliling. Ada banyak persewaan alat snorkeling, alat diving, juga persewaan sepeda yang bisa dimanfaatkan untuk menghabiskan waktu. Aku juga melihat beberapa penginapan yang tampak cozy. Sepertinya asyik juga menginap dan merasakan suasana malam di pulau ini. Masjid yang dibangun di Gili Trawangan ini rupanya cukup besar. Bangunannya baru dan pembangunannya belum selesai sempurna. Meskipun demikian, ruangan shalat sudah bisa dipakai. Ketika aku leyeh-leyeh sebentar seusai shalat, eyangnya anak-anak ternyata datang memanggil untuk bersiap pulang. Astaga, cepat sekali waktu berlalu, aku bahkan belum berkesempatan jalan-jalan keliling pulau. Ya beginilah minusnya ikut rombongan, segala sesuatu harus tunduk pada itinerary, tak bisa jalan suka-suka :(

Pemandangan di Gili Trawangan

Perjalanan menyeberang kembali ke Pulau Lombok berjalan lebih lambat daripada ketika kami berangkat, karena hari sudah sore dan ombak mulai besar. Seringkali air ombak menciprat masuk perahu dan membasahi penumpang yang duduk di depan. Perahu terayun-ayun cukup hebat hingga membuat Dek Abi ketakutan. Kali ini dia tidak menangis kencang, hanya sedikit memekik dalam pelukan. Rupanya perjalanan ini lumayan menegangkan baginya. Setelah tiba kembali di pelabuhan Teluk Kodek, aku mengikuti langkah Mas Catur menuju sebuah warung yang ramai dipenuhi tukang ojek. Sambil menunggu perahu yang satunya merapat, kami memesan mie instan, teh manis hangat, kopi, serta mengudap kacang goreng dan keripik.

Bukit Malimbu


Dalam perjalanan kembali ke Senggigi, kami berhenti di puncak Bukit Malimbu. Di puncak bukit kita bisa menikmati indahnya pemandangan laut dan pantai dari atas, karena di sinilah spot atau angle terbaik untuk menikmati Pantai Malimbu, Pantai Satangi, Gunung Agung, tiga gili di seberang lautan, dan momen matahari terbenam. Spot yang sering dijadikan sebagai stop over ini merupakan sebuah tikungan pinggir jalan yang berada di puncak bukit yang langsung menghadap ke laut, sekitar 15 menit dari kawasan Senggigi. Tepi bukit ini jurangnya cukup dalam, sehingga terdapat pagar yang menyerupai pagar jembatan yang dibangun untuk keselamatan pengunjung. Di sekitar situ juga terdapat area parkir yang cukup memadai untuk beberapa kendaraan.

Keindahan Pantai Malimbu yang berkarang dengan ombaknya yang bergulung-gulung dan hamparan pasir putih yang terbentang di hadapan akan terlihat indah dari atas bukit. Wisatawan banyak yang berdecak kagum ketika berkunjung ke tempat ini. Pada pagi hari, pemandangan pantai yang memantulkan cahaya matahari akan terlihat jelas, menyebabkan birunya laut Malimbu semakin terang dan menarik. Pada sore hari, ada pemandangan sunset yang menawan yang menyebabkan jumlah pengunjung berada pada tingkat tertingginya, sehingga tidak jarang orang sampai rela parkir di bahu jalan. Setelah turun dari bus, aku, Mas Catur, dan Hanif segera menuju ke pagar jembatan. Garis Pantai Senggigi yang panjang terlihat jelas dengan mata telanjang. Lautan biru dengan gradasi warna pun terlihat cantik. Sengatan cahaya matahari yang terik itu tak mampu mengurungkan niat kami untuk panas-panasan meresapi kecantikan Bukit Malimbu dan berfoto-foto sejenak.

Berfoto di puncak Bukit Malimbu

Tak berapa lama kemudian, bus kembali melaju menuju Ampenan. Di perjalanan kami melewati Pura Batu Bolong yang terletak di wilayah Senggigi, sekitar 12 kilometer dari Kota Mataram. Arus lalu lintas yang melewati kompleks pura di pinggir pantai ini agak tersendat karena saat itu masyarakat Hindu di wilayah Lombok Barat sedang mengadakan peribadatan di situ. Pura ini disebut Batu Bolong karena terletak di atas batu hitam yang memiliki lubang di tengah. Dengan posisinya yang menjorok ke laut, Pura Batu Bolong memiliki suasana keindahan tersendiri. Tempat suci umat Hindu ini sekilas akan mengingatkan kita pada Pura Tanah Lot yang ada di Bali, bangunan ibadah yang terletak di bibir pantai dengan posisi menjorok ke laut. Pura yang berhadapan langsung dengan Selat Lombok dan Gunung Agung Bali ini juga memiliki pemandangan sunset yang indah.

Keberadaan Pura Batu Bolong secara langsung memiliki makna tradisi yang bersentuhan dengan kehidupan masyarakat Hindu di Lombok yang diwariskan oleh budaya Bali. Walaupun ada kedekatan secara historis-geografis, namun masyarakat Hindu setempat tetap melekatkan makna tradisi di dalamnya. Kemiripan makna tradisi dengan yang ada di Bali terlihat dari jenis-jenis pelinggih yang dibangun di pura ini. Uniknya, saat lebaran tiba, umat muslim di Lombok akan datang beramai-ramai ke pantai di depan pura. Mereka beramai-ramai menikmati opor ayam, ketupat, ayam taliwang, serta serundeng. Inilah bukti nyata kerukunan antara umat Islam dan Hindu yang menunjukkan bahwa mereka dapat hidup berdampingan secara harmonis. (sumber dari sini)

Pura Batu Bolong

Pemandu wisata kemudian menawarkan dua opsi pemberhentian, antara tempat penjualan mutiara atau tempat penjualan oleh-oleh. Mayoritas rombongan sontak memilih tempat penjualan oleh-oleh hahaha. Mungkin mereka sudah bosan dengan penjaja mutiara yang banyak mereka lihat dua hari terakhir ini, atau memang ingin memborong oleh-oleh untuk sanak-saudara. Pusat oleh-oleh yang kami masuki tak terlalu besar, hanya seluas satu unit ruko, namun letaknya sangat strategis di pinggir jalan utama Ampenan yang menghubungkan Senggigi dengan Mataram. Oleh-oleh yang dijual berupa makanan khas Lombok, beberapa di antaranya sebenarnya ada juga di daerah lain dengan nama yang berbeda. Aku hanya tertarik membeli makanan yang belum pernah aku jumpai, di antaranya adalah keripik ikan hiu yang belakangan setelah dimakan, terasa alot sekali hahaha.

Makan Malam di Warung Menega


Setelah puas membeli oleh-oleh, bus melaju menuju tempat kami akan makan malam di pinggir Pantai Batu Layar. Tempat itu bernama Warung Menega, yang merupakan cabang dari Kafe Menega yang ada di Jimbaran, Bali, yang sempat terkena ledakan bom Bali II. Warung Menega terletak di Jl. Raya Senggigi nomor 6, Lombok Barat.

Ketika kami masuk, kami diarahkan berjalan menuju ke bagian belakang restoran. Meja dan kursi yang disiapkan untuk rombongan kami terletak di bibir pantai, di atas hamparan pasir pantai yang lembut. Saat itu menjelang maghrib, lilin-lilin kecil di atas meja sudah dinyalakan. Hmm, aku langsung membayangkan candle light dinner yang romantis. Langit tampak cerah, angin bertiup tak terlalu kencang, suasana yang pas untuk makan malam di luar ruangan.

Setelah memilih kursi dan meletakkan tas di sana, aku segera menyusul Hanif yang sudah menghambur ke garis air begitu kami datang tadi. Dek Abi digandeng ayahnya sedang menyusuri pasir yang menurun landai ke arah tepi pantai. Aku tercengang. Sunset yang menjelang saat itu terlihat indah sekali. Sambil menikmati suasana, aku mengamati sekeliling: Hanif yang kembali mengotori bajunya dengan pasir dan air, Dek Abi yang takut-takut terkena ombak, serta mentari jingga yang bersiap menyusup ke peraduan di penghujung cakrawala. Ah indahnya.

Sunset dan suasana di Warung Menega

Setelah membantu Hanif membasuh diri, aku menuju meja karena aroma masakan sudah menggoda iman. Konon kabarnya aneka seafood di sini dipilih langsung sebelum diolah, tapi karena kami menggunakan jasa agen perjalanan, pemilihan menu sudah dilakukan oleh mereka. Seafood yang dipesan dimasak di atas tungku yang terbuat dari batok kelapa, dibakar dengan sabut kelapa, sehingga memberikan sensasi aroma yang berbeda dengan seafood kebanyakan. Kenikmatan seafood bakar Menega memang disebut-sebut memiliki nilai di atas rata-rata.

Seafood mentah yang disediakan untuk dipilih pengunjung semuanya dalam keadaan segar. Lobster, kerang, cumi, dan udang semuanya masih hidup sampai sesaat sebelum diolah, sehingga memiliki cita rasa manis dan segar, tanpa bau amis. Harga yang diberikan sesuai dengan berat seafood yang dipesan. Layaknya restoran di Lombok pada umumnya, Menega juga menyajikan plecing kangkung sebagai sayur andalan.

Setiap orang dari rombongan mendapatkan sepiring plecing kangkung dan sepiring seafood bakar yang terdiri atas ikan, sate cumi, dan udang galah. Nasinya diambil dari bakul, satu bakul untuk 2-3 orang. Yang paling menarik dari Warung Menega adalah sambalnya yang luar biasa nikmat. Plecing kangkungnya bahkan yang terenak di antara beberapa plecing kangkung yang aku makan beberapa hari terakhir. Seafood bakarnya juga nikmat sekali: perfectly succulent, smoky, sweet and spicy at the same time, kata salah satu blog perjalanan.

Menu di Warung Menega. Gambar didapat dari sini dan sini.

Selesai makan, rombongan tidak langsung pulang. Mas Catur dan teman-teman seangkatannya asyik mengenang masa lalu, sementara aku dan anak-anak bermain-main di lingkungan restoran. Aku sempat pula menengok dagangan yang digelar oleh penjaja mutiara di sekitar restoran, tapi tidak ada yang menarik hatiku. Khawatir palsu juga sih, mengingat harganya jauh lebih murah dibanding perhiasan mutiara yang aku beli di toko pada hari sebelumnya. Setelah mengobrol hampir tiga jam, Pak Masren—pemandu wisata kami—mengingatkan kami untuk segera bersiap menuju hotel untuk beristirahat. Keesokan hari sebelum kami pergi ke bandara, agen perjalanan berencana akan membawa kami mengunjungi Mataram untuk city tour. Oleh sebab itu, kami sebaiknya segera kembali ke hotel dan tidak tidur terlalu malam.

Dengan perut kenyang, kami pun kembali ke hotel. Namun aku tak bisa segera leyeh-leyeh di kasur. Baju kotor yang basah hari itu ada banyak sekali. Semuanya berlumur pasir pantai yang meskipun dibilas berulang kali, tetap saja bandel menempel. Setelah membilas baju-baju itu di kamar mandi hotel, aku menjemurnya dengan cara menyampir-nyampirkan di pagar balkon kamar hotel. Untunglah balkon kamar kami menghadap ke taman yang sepi, jadi aku tak perlu khawatir bakal ada orang yang melihat jemuran jorok itu. Berasa kumuh karena disampir-sampirkan di pagar, hihihi.

...bersambung...

Catatan: Foto-foto lengkap ada di sini (di-set “friends only”).

Baca juga:

Saturday, November 01, 2014

Fruitcake

Fun cooking hari ini: membuat fruitcake, dengan isian kurma dan kacang almond. Ini edisi perdana baking dengan oven. Setelah hampir setahun lalu membeli oven dan cuma ngejogrok manis dalam plastik, hari ini aku berhasil melawan malas dan akhirnya merambah dapur.

Yang mengenalku dengan baik, pasti tahu bahwa masuk dapur itu adalah suatu perjuangan berat *lebay hahaha*. Untuk sementara, slogan "I'm not good at cooking so I stop doing it" ini terpatahkan. Hanif membantu jadi asisten di dapur.


Fruitcake identik dengan taburan buah kering (sukade) di dalamnya. Rasa sukade yang manis membuat fruitcake menjadi nikmat. Kita juga bisa mengganti sukade dengan kurma cincang. Selain lebih nikmat, kandungan kurma menyehatkan, apalagi jika dipadukan dengan kacang almond.


Resep Fruitcake


Bahan:
  • 200 gram tepung terigu untuk cake
  • 25 gram tepung maizena
  • 25 gram susu bubuk low fat (aku menggunakan susu cair, entah berapa mL, lupa tidak diukur :p)
  • 200 gram mentega
  • 75 gram gula palem
  • 75 gram gula pasir
  • 4 butir telur ukuran sedang
  • 1 sdt kayu manis
  • 1 sdt baking powder
  • 3 sdm madu
  • 100 gram kurma, cincang kasar
  • 50 gram almond, sangrai, cincang kasar


Cara membuat:
  1. Campurkan mentega, gula palem dan gula pasir, kocok hingga lembut dan mengembang. Tambahkan telur satu per satu berselingan dengan tepung terigu yang sudah diayak. Kocok kembali hingga rata dan benar-benar mengembang.
  2. Masukkan sisa tepung terigu, maizena, susu bubuk, kayu manis, baking powder dan madu. Aduk hingga adonan larut dan tercampur rata.
  3. Tuangkan campuran kurma dan almond ke dalam adonan.
  4. Oles margarin pada loyang berukuran 20x20x4, tuangkan adonan kemudian oven kurang lebih 60 menit hingga matang.
  5. Angkat cake, dan potong sesuai selera. Sajikan dengan secangkir teh madu.


Komen tentang hasil:
Aroma kayu manisnya harum sekali. Manisnya pas, tidak giyung atau kemanisan. Isian kacang almond membuat sensasi renyah pada kue yang lembut. Yummy!