Sunday, April 06, 2008

Sepi

Sudah dua bulan aku menjalani hidup di Bandung. Sudah dua bulan... dan aku masih saja hancur berantakan seperti ini.

Siang tadi, hampir dua jam aku menangis di pelukan suami. Setelah pekan yang berat minggu lalu, aku hanya ingin menghabiskan waktu bersamanya berlama-lama. Tapi apa daya, malam minggu kemarin aku ada undangan acara bersama teman-teman kuliah. Suamiku yang baik itu tentu menganjurkanku pergi --meskipun aku tahu dia sebenarnya ingin bersamaku-- agar aku punya waktu hang out bersama teman-teman.

Lebih parah lagi, waktu kami semakin berkurang karena suamiku harus pergi ke Jakarta Ahad sebelum dhuhur untuk bertolak ke Batam. Biasanya dia pergi dari Bandung setiap Senin pagi. Alhasil, aku merasa sedih sekali ketika dia harus pergi.

Dari seluruh orang di dunia ini, hanya suamiku-lah orang yang kuharap bisa benar-benar berada di sisiku. Sekeras apapun dia berusaha menghadirkan kawan buatku, entah itu pembantu atau mertua, hal itu tidak ada artinya dibanding kehadirannya. Siang tadi aku merasa sangat putus asa. Dia terus memelukku, menciumku, membelaiku, sambil berkata dia menyayangiku. Dia membujukku untuk berhenti menangis karena khawatir bayi kami terpengaruh.

Setiap hari aku selalu berusaha menghadirkan afirmasi:

I’ll be okay, I’ll be just fine

I’ll be okay, I’ll be just fine

Entah ke mana perginya semua itu. Melepasnya pergi setiap minggu seharusnya sudah menjadi kebiasaan. Tapi hari ini terasa begitu berat. Aku merasa masih harus menghabiskan lebih banyak waktu bersamanya. Aku merasa seharusnya dia tidak pergi secepat itu.

Happy parents make happy children. Tapi susah sekali merasa bahagia akhir-akhir ini. Ketika suamiku pergi siang tadi, aku mengiringinya dengan linangan air mata. Bahkan detik ini pun air mata ini belum juga kering.

Tiba-tiba aku merasa sangat sepi...

3 comments:

  1. iya bunda.. bunda yang tenang ya..
    biar kakak (:P) juga ntar gedenya jadi orang yang tenang juga bunda..

    mamaku dulu pas hamil aku.. hmm ini secret sih.. tapi emosi dan psikologisnya banyak bergejolak..trus jadinya aku paling emosional di antara adik2ku yang mamaku relatif tenang hamilnya.

    everythings gonna be OK dear..

    ReplyDelete
  2. Sebelumnya maaf jika komentar ini menyinggung perasaan Yustika.

    Aku perhatikan selama ini kamu sangat tergantung pada suamimu, seolah-olah di dunia ini hanya ada suamimu. Kalau hanya ditinggal sementara kamu seperti ini, gimana kalau kamu ditinggalkan selamanya?

    Bukankah lebih banyak nikmat yang Allah berikan padamu daripada sekedar cobaan kecil ini. Engkau memiliki keluarga yang baik, suami yang shalih, sudah punya rumah, sudah (akan) dikaruniai anak, ekonomi juga cukup, kurang apa sih? Banyak orang lain yang hidup di bawahmu.

    Saranku, perbanyak silaturahim dengan orang lain. Masih aktif ikut pengajian kan? Insya Allah bergaul dengan orang-orang shalih akan memperkuat iman kita. Jangan sampai kesedihan ini menjadikan kita termasuk golongan "yang berjatuhan di jalan dakwah" setelah menikah. Aku masih ingat lho, kamu dulu sering ngasih taushiyah yang menyejukkan di bukom Gamais. Sekarang? Kamu harus membuktikan bahwa kamu lebih dewasa.

    Ingat nasihat seorang ustadz berikut : "orang yang hatinya selalu bersama Allah, tidak akan merasa sedih dalam hidupnya".

    ReplyDelete
  3. Satu hal yang ulfah pelajari dalam hidup adalah betapa menjudge orang lain tanpa tahu kondisi mereka adalah hal yang semena-mena banget. Gimana caranya bisa menilai orang imannya baik dan benar itu gak masuk akal bagi gue pribadi... Allah kan juga bilang masuk surga itu berdasarkan ridho-Nya. Tau apa hamba kecil kayak kita tau apa yang Tuhan nilai benar dan salah. Kalau mazhab di dunia bisa ada banyak, gimana pemahaman kita terhadap agama juga pasti jauh lebih beragam toh?
    Allah memberi rasa emosi, sedih, marah, kecewa untuk kita bertumbuh kembang dari itu...

    Ah... capek...

    Teh Yustik! I'm on ur side!

    ulfahregar.multiply.com

    ReplyDelete