”Gak po2. He3. Adik kecilku dah mau nikah...”
Begitu bunyi sms dari kakak lelakiku tersayang pada awal pekan ketiga Februari lalu, setelah sesaat sebelumnya aku bermellow-mellow padanya, bilang kangen pengen hang out bareng seperti tahun-tahun lampau saat kedekatan dengannya begitu nyata. Sekaligus bilang minta maaf padanya karena kedekatan itu menjadi seperti berabad jaraknya setelah Mas Catur hadir.
Kakakku itu Mas Didik namanya, berusia satu setengah tahun lebih tua dariku. Dia adalah anak tertua dan menjadi satu-satunya anak lelaki dalam keluarga. Pembawaannya tenang khas orang phlegmatis, humoris dan menceriakan lingkungan sekitar, supel dalam pergaulan, namun cenderung tertutup bila menyangkut masalah pribadi. Sebagai kakak dari dua adik yang semuanya perempuan, dia tipe orang yang sangat bertanggung jawab, tipe kakak yang penyayang dan sangat care sama adik-adiknya. Sebagai anak pun, dia tipe anak yang berbakti dan sangat penurut pada orang tua, pokoknya tipe anak yang diinginkan semua orang tua.
Namun jangan salah, meski dengan orang tua sangat penurut, bukan berarti dia seorang anak mami yang lembek. Justru di luar rumah dia sangat sangat supel, mudah bergaul, banyak kawan, dan sangat ”jantan”, hehehe. Nggak heran banyak teman perempuan yang sering curhat padanya atau minta tolong diantar-jemput ke mana-mana. Udah gitu, kakakku itu juga tipe gentleman lho (promosi, hihihi). Tipe lelaki yang kalau jalan selalu berusaha berada di sisi kanan perempuan untuk melindunginya dari arus lalu lintas, membukakannya pintu, mengantarnya pulang, dan seabrek sifat-sifat gentle lainnya. Tentu aku tahu persis karena aku udah mengalaminya sendiri tiap kali jalan sama dia. Tipe gentleman yang harus dicontoh tiap lelaki (bahkan Mas Catur sekalipun!).
Karena usia yang tidak berselisih jauh denganku, bisa dibilang kami tumbuh bersama. Semasa SMP dan SMA, kami juga kadang sampai pinjem-pinjeman baju, maklum waktu itu aku rada-rada tomboy. Kami menjadi sangat dekat setelah sama-sama kuliah di STT Telkom. Mungkin karena sama-sama jauh dari rumah dan sama-sama tinggal di Bandung, kami jadi sering banget curhat-curhatan dan pergi bareng ke mana-mana. Wis pokoknya hampir kayak pasangan setia, udah kayak orang pacaran, sampai temen-temen kami banyak yang nggak percaya kalau kami kakak-adik.
Setelah aku pindah kuliah ke ITB pun, kami masih dekat. Meski frekuensinya berkurang, kami masih pergi dan main bareng. Padahal jarak Bandung kota dan Dayeuhkolot nggak bisa dibilang dekat. Dia masih setia menyambangi kosku di Dago dan Sekeloa, mengantarku ke mana-mana, main bareng, pergi ke Majelis Percikan Iman bareng, dll.
Dulu aku sempat berpikir, saking dekatnya kami, apa jadinya kalau akhirnya dia kelak menikah dan ”meninggalkan” aku seorang diri. Pasti akan sedih dan sangat kehilangan rasanya. Membayangkannya saja aku udah ngerasa sedih. Eh, tak tahunya malah aku duluan yang ”mengkhianati”nya. Sejak kehadiran Mas Catur, sedikit demi sedikit semua berubah.
Akhir pekan yang biasanya selalu kuhabiskan bersama Mas Didik, lambat laun menghilang dan bergeser menjadi akhir pekan bersama Mas Catur. Kalau ada keperluan ke mana-mana, tanpa sadar aku jadi lebih mengandalkan Mas Catur untuk mengantarku. Hiks hiks, sekarang kalau mengingatnya, aku jadi merana, sedih sekali rasanya. Kenapa aku nggak menghabiskan lebih banyak waktu bersama kakakku tersayang selagi sempat? Kenapa tidak pernah terpikir bagaimana perasaannya selama ini?
Sekarang kalau kutanya, paling-paling dia cuma senyum-senyum saja sambil bilang ”nggak apa-apa” seperti petikan sms di atas. Duh, memang penyesalan itu datangnya selalu belakangan ya, tapi detik ini perasaanku tetap saja sedih dan merasa bersalah.
Meski di keluargaku kami jarang mengekspresikan rasa sayang lewat kata-kata, dalam hatiku aku selalu merasa ingin berkata bahwa aku sungguh menyayanginya. Dia kakak terbaik di dunia, yang selalu ada saat aku butuh, tak pernah henti untuk peduli *hiks hiks, kok mataku jadi berkaca-kaca*.
Kami memang masih dekat dan saling peduli, tapi tentu jauh berbeda dibanding dulu. Kini dia sudah bekerja di kota yang berlainan dan aku pun disibukkan dengan berbagai urusan. Aku tahu kata-kata saja tak akan pernah cukup untuk menebus kedekatan yang terurai, tapi sungguh... ingin sekali berucap maaf sekaligus berterima kasih padanya karena telah menjadi kakak terbaik di dunia. I LOVE YOU, BRO...
ho oh, kebiasaan orang2 indonesia, jawa khususnya..
ReplyDeletejarang mengungkapkan sayang dengan kata2, malah kadang ga pernah seumur idup..
padahal kata2 yang pengen diucapin 'cuma';
"i love u"
kadang jadi nyesel, terutama kalo orang itu udah meninggal dunia, hiks..pas nenekku meninggal aku ga sempet bilang "i love u" nyesel bgt..
nanti kalo berkeluarga pengen banyak2 ngomong "i love u" ahh..
*ngayal mode ON*
wah ak nangis bacanya. maklum, sejak dulu emang ak pengin punya kakak laki2 :)
ReplyDelete