Enaknya diapaain yah?
Pernah baca... katanya kalo ada istri menolak untuk diajakin pafu-pafu ama suaminya, ntar si istri dijauhi ama malaikat sepanjang malam. Ga peduli istri kecapekan ngurus anak, atau kecapekan lembur kerja, atau ngantuk berat... tetep aja dijauhi ama malaikat kan ya?
Nah... kalo misalnya seorang suami nganggurin istrinya sepanjang malam, padahal istrinya sedang amat sangat berhasrat, trus gimana coba? Apakah suami bakal dikutuk juga ama malaikat sepanjang malam?
Ah kamu, jadilah istri yang baik. Udah tahu suami lagi kecapekan habis lembur, mbok ya pengertian dikit gitu lho ah.
Sou na no? Gitu kan ya.
Tetep aja istrinya yang disalahin.
Giliran istri yang menolak, sebagai balasannya istri dijauhi malaikat sepanjang malam.
Giliran suami yang menolak, istri harus bisa memahami.
Nani sore tte?
Sukoshi mo wakaranai.
Kalau kamu udah siap-siap mandi yang wangi, pake parfum kesukaannya, pake the most sexiest lingerie you have, trus sebagai gantinya, suami kamu bilang "Aduuuuuh. Gomen ne. Aku lagi capek banget ni. Lain kali aja ya."
Pada saat itu, apa yang ingin kamu lakukan?
Pastinya pengin nendang suami kamu sampe ruang tamu kan ya.
Makanya, kalau punya anak cewek, pastikan dia belajar taekwondo sejak usia dini.
Josei tte sa... kokoro gurai motte ru yo. Daijini shite kudasai.
*dikutip dari sini*
Memang, dunia ini milik laki-laki. Mari kita coba renungkan hubungan laki-laki dan perempuan dalam sebuah pernikahan. Pernikahan sejatinya adalah penyerahan ketaatan perempuan terhadap laki-laki, penyerahan diri perempuan untuk tunduk pada kekuasaan laki-laki.
Menjadi perempuan itu sungguh kompleks. Ketika seorang perempuan mengikatkan dirinya dalam pernikahan, jati dirinya sedikit demi sedikit terkikis. Apa yang dia lakukan selanjutnya adalah atas nama suami dan anak-anak. Keinginan pribadinya adalah nomor kesekian setelah kepentingan keluarga. Hal ini bagai sebuah keniscayaan, bahkan bila suaminya bukan tipe penuntut sekalipun *apalagi kalau suaminya tipe penuntut*.
Dengan kondisi yang seperti itu, perempuan rawan kehilangan ”diri”-nya. Keinginan pribadinya, kebahagiaannya, kesukaannya... lalu terkubur dalam upaya membahagiakan suami dan anak-anak, karena dia seolah punya ”tanggungan” untuk itu. Ini yang disebut Oprah Winfrey sebagai ”women who lose theirselves”.
Perempuan lantas tidak bisa menjadi dirinya sendiri. Selain keinginan pribadi dan kebahagiaan yang terpasung, dia juga tidak bebas mengekspresikan perasaan. Di depan suami dia dituntut untuk berwajah ceria, menyenangkan, seolah dunia baik-baik saja meski dia merasa letih dan sedih sekalipun. Kalau perasaan sedih diekspresikan, perempuan akan dituding tidak mampu berwajah menyenangkan buat suaminya, tidak memahami kelelahan suami setelah seharian bekerja. Kalau perasaan sedih disembunyikan, tentu perasaan tertekan lambat laun akan menjadi penyakit jiwa dan bisa merambat pada hal-hal yang tidak diinginkan. Tetap, perempuan yang akan disalahkan.
Wajar saja kalau di mana-mana akhirnya banyak perempuan yang mengalami kegamangan dalam memasuki pernikahan. Campur aduk antara ragu, takut, dan was-was. Orang awam sih bakal meyakininya sebagai sindrom umum yang dialami perempuan kebanyakan *mereka bilang itu hal biasa* padahal bisa jadi ini merupakan pertanda adanya ”ketidakberesan” dalam hubungan laki-laki dan perempuan.
Perempuan menjadi ragu apakah laki-laki yang akan mengikat komitmen dengan mereka adalah orang yang tepat untuk dicintai seumur hidup. Bayangkan jika seumur hidup dihabiskan dengan orang yang salah. *Para perempuan yang antipernikahan biasanya bilang, ”Yakin enggak, kamu bakal bisa mencintai satu orang aja sepanjang sisa hidupmu?”* Yah, pernikahan memang pertaruhan perempuan untuk menggadaikan dirinya pada laki-laki.
Kalau bicara hal ideal, pernikahan semestinya jadi ajang saling melengkapi, bukan ajang di mana harus ada yang menang dan yang kalah, yang benar atau yang salah. Tapi kenapa aku tetap merasa dunia ini milik laki-laki ya? Mereka sangat keras kepala untuk tidak kehilangan ego dan kekuasaan di depan perempuan.
Hi Yustika, ni air.. still remember? hehe.. dah lama sekali ya..
ReplyDeletebaca tulisanmu ini, air jadi inget kejadian di kantor ku kemaren..
lagi ngobs ama bapak2 di kantor (yah, secara kerjaan air kan jadi structure engineer, mayoritas bapak2 lah..) trus, air mengeluarkan statement "ko kayanya enak bgt ya jadi laki-laki,sementara kalo jadi perempuan lebih banyak harus ngalahnya".
well, air ngeluarin statement itu juga karena lagi membahas suatu masalah yg berhubungan dengan pernikahan.. trus, tau ga komentar bapak2 itu?? Beda-beda sih komentarnya, tapi intinya sih kurang lebih sama.. Ada yg bilang "wah, ini nih air, pikirannya dah teracuni pola pikir barat!!" atau ada lagi yg bilang "yah, itu kan privelege nya laki-laki air" (sambil cengengesan lagi.. halah..), bahkan ada yg bilang "kamu meragukan apa yg sudah Allah tetapkan bwat UmmatNya??"
ya ampun, beneran deh..agak sakit ni hati..
boleh ga sih, kita kaum perempuan mempertanyakan hal yg seperti itu? air ga pernah meragukan kalo DIA teramat menyayangi setiap hambaNya, tanpa memandang jenis kelaminnya apa.. air percaya banget kalo DIA tidak akan membuat keputusan yg merugikan salah satu pihak, iya kan??
jadi, Yus.. air setuju banget ama dirimu.. pikiran seperti milikmu itu masih menjadi minoritas di kalangan umum. Sepertinya laki-laki masih menggunakan hal-hal seperti "tulisan" yg kamu kutip itu, untuk kepentingannya..
hmm.. sedih juga nih..
Gak boleh gitu lho jeng...
ReplyDeleteKan ada lagunya:
Tidak semua laki-laki...
Hehehe.
Apasih yang dipikiran kami selain istri dan anak-anak kami. Bahkan kami sudah mematikan seluruh hidup kami untuk istri dan anak-anak kami. Tenang saja. Kami sebagai suami-suami sepakat dengan istri-istri untuk membangun keluarga yang berguna bagi nusa dan bangsa. Baik secara langsung maupun tidak langsung.
To Sahat:
ReplyDeletehahaha, iya iya...
tulisan ini kubuat menjelang nikah, penuh dengan kegamangan gitu deh...