Sudah lewat beberapa waktu lamanya sejak aku membuat keputusan penting itu. Tadinya aku pergi dengan kepala tegak atas dasar keyakinan mantap tentang sebuah pilihan hidup. Meskipun kini kalau aku mencoba jujur pada diri sendiri, aku bisa bilang kalau waktu itu aku juga pergi karena sebuah luka akibat kekecewaan dan ketidakpercayaan.
Aku tidak bisa menjadi diriku sendiri. Aku harus bersedia menerima orang lain memutuskan apa yang harus kulakukan. Aku membiarkan orang lain mendominasi jalan pikiranku. Kreativitasku dibatasi. Keinginanku tak pernah menemukan muaranya. Aku harus menekan batin atas nama keikhlasan dan atas nama ”yang lebih tahu”.
Aku muak. Aku letih. Aku bosan dengan kepalsuan bertopeng senyum. Aku capek dengan campur tangan urusan orang atas nama Tuhan. Maka aku pergi. Itu sebabnya.
Sekarang aku merasa jadi orang jahat. Jengah dengan prasangka dan pandang menuduh. Terkadang hati ini rindu, tapi luka itu lebih membuatku mundur.
[mode sedih]
Aku tidak bisa menjadi diriku sendiri. Aku harus bersedia menerima orang lain memutuskan apa yang harus kulakukan. Aku membiarkan orang lain mendominasi jalan pikiranku. Kreativitasku dibatasi. Keinginanku tak pernah menemukan muaranya. Aku harus menekan batin atas nama keikhlasan dan atas nama ”yang lebih tahu”.
Aku muak. Aku letih. Aku bosan dengan kepalsuan bertopeng senyum. Aku capek dengan campur tangan urusan orang atas nama Tuhan. Maka aku pergi. Itu sebabnya.
Sekarang aku merasa jadi orang jahat. Jengah dengan prasangka dan pandang menuduh. Terkadang hati ini rindu, tapi luka itu lebih membuatku mundur.
[mode sedih]
No comments:
Post a Comment