Barusan aku nonton tayangan dokumenter National Geographic Special berjudul Raising USS Monitor. Keren banget. Tayangan ini mendokumentasikan pengangkatan artefak arkeologis dari bangkai kapal USS Monitor yang sudah terkubur selama 140 tahun di kedalaman 230 kaki di sekitar Tanjung Hatteras, Hampton Roads, Amerika Serikat. USS Monitor adalah sebuah kapal legendaris zaman Perang Saudara (Civil War) yang menjadi tonggak penting dalam sejarah Amerika.
Waktu itu, sekitar tahun 1860-an saat berkecamuknya Perang Saudara, pasukan Konfederasi membuat kapal besi pertama dalam sejarah Amerika yang diberi nama CSS Virginia. Hal ini membuat pemerintahan Lincoln geram dan merasa perlu membuat kapal yang lebih dahsyat untuk memenangkan pertempuran laut. Diarsiteki oleh engineer keturunan Swedia bernama J. Ericsson, pemerintahan Lincoln membuat kapal besi tercanggih pada zaman itu, bernama USS Monitor.
Dibuatnya kapal CSS Virginia dan USS Monitor menandai era baru pertempuran laut. Hancurnya kapal-kapal kayu kedua pihak oleh meriam kedua kapal tersebut akhirnya mempertemukan mereka dalam sebuah pertempuran laut penting. Mengapa penting? Karena pertempuran tersebut adalah pertempuran laut pertama antara kapal besi versus kapal besi. Pertempuran penting ini menandai perubahan sejarah kapal laut Amerika, bukan hanya masalah teknis, melainkan juga tentang strategi peperangan dan pertahanan laut. Pertempuran itu akhirnya berakhir setelah berjam-jam saling menembakkan meriam, tanpa diketahui siapa pemenang pastinya. Gambar di samping ini adalah ilustrasi pertempuran antara kedua kapal tersebut.
Pada tahun 1862, dalam sebuah badai besar di Tanjung Hatteras, sejarah USS Monitor berakhir dengan karamnya kapal tersebut. Sebagian besar awak kapal selamat, tetapi sebanyak 16 orang dinyatakan hilang. Seorang awak kapal menulis, ”USS Monitor is no more. Badai telah melakukan apa yang tidak bisa dilakukan oleh kapal musuh.”
Nah, tayangan dokumenter yang aku ceritakan di awal mengisahkan pengangkatan artefak yang merupakan bagian penting USS Monitor, yaitu menara meriamnya. Menara meriam ini dilapisi oleh delapan lapis pelat baja yang masing-masing berukuran satu inci. Sejumlah baling-baling dan beberapa bagian kapal telah diangkat dan dikonservasi beberapa tahun sebelumnya. Sekedar catatan, lokasi pasti USS Monitor ditemukan pada tahun 1970-an setelah bertahun-tahun para peneliti mencari-cari lokasi kapal ini di antara banyak bangkai kapal di Tanjung Hatteras.
Tim yang melakukan pengangkatan artefak menara meriam ini telah bekerja selama 41 hari, berlomba-lomba dengan badai dan arus laut yang kencang, sebelum akhirnya berhasil mengangkat menara meriam seberat 120 ton dari dasar laut. Alat yang digunakan dalam ekspedisi ini sangat mahal, berupa sebuah alat pengangkat berbentuk kaki laba-laba seberat 80 ton lebih. Tim melibatkan tenaga-tenaga ahli di bidangnya, termasuk penyelam-penyelam hebat dari AL Amerika.
Di dalam reruntuhan kapal dan menara meriam, ditemukan dua jenazah awak kapal yang ikut terkubur bersama karamnya kapal 140 tahun lalu. Dua jenazah ini selanjutnya akan dites DNA --karena itu dalam tim ini juga bergabung ahli forensik-- untuk proses identifikasi. Berlabuhnya kapal ekspedisi --yang mengangkut artefak menara meriam dan dua jenazah-- ini di Hampton Roads disambut dengan upacara militer dan tembakan meriam AL Amerika.
Hmm, jujur aku terkesan oleh tayangan ini. Inilah sebentuk nyata kisah tentang sebuah bangsa yang sangat menghargai sejarahnya. Bagaimana mereka berusaha mengkonservasi bagian dari sejarah agar bisa diwariskan kepada anak cucu, bagaimana mereka menghormati jenazah tentara yang sudah terkubur selama 140 tahun... mengapa bangsa kita tidak bisa mencontohnya?
Jadi teringat nasib kapal nasional kita --Pinisi, masih ingat namanya?-- yang karam beberapa tahun lalu dan tidak ada yang ambil peduli. Padahal kapal ini telah mengharumkan nama Indonesia dalam berbagai pelayaran ekshibisi tingkat internasional pada tahun 1990-an.
Sayup-sayup aku mendengar nyanyian dari masa kanakku, ”Nenek moyangku orang pelaut...”
Waktu itu, sekitar tahun 1860-an saat berkecamuknya Perang Saudara, pasukan Konfederasi membuat kapal besi pertama dalam sejarah Amerika yang diberi nama CSS Virginia. Hal ini membuat pemerintahan Lincoln geram dan merasa perlu membuat kapal yang lebih dahsyat untuk memenangkan pertempuran laut. Diarsiteki oleh engineer keturunan Swedia bernama J. Ericsson, pemerintahan Lincoln membuat kapal besi tercanggih pada zaman itu, bernama USS Monitor.
Dibuatnya kapal CSS Virginia dan USS Monitor menandai era baru pertempuran laut. Hancurnya kapal-kapal kayu kedua pihak oleh meriam kedua kapal tersebut akhirnya mempertemukan mereka dalam sebuah pertempuran laut penting. Mengapa penting? Karena pertempuran tersebut adalah pertempuran laut pertama antara kapal besi versus kapal besi. Pertempuran penting ini menandai perubahan sejarah kapal laut Amerika, bukan hanya masalah teknis, melainkan juga tentang strategi peperangan dan pertahanan laut. Pertempuran itu akhirnya berakhir setelah berjam-jam saling menembakkan meriam, tanpa diketahui siapa pemenang pastinya. Gambar di samping ini adalah ilustrasi pertempuran antara kedua kapal tersebut.
Pada tahun 1862, dalam sebuah badai besar di Tanjung Hatteras, sejarah USS Monitor berakhir dengan karamnya kapal tersebut. Sebagian besar awak kapal selamat, tetapi sebanyak 16 orang dinyatakan hilang. Seorang awak kapal menulis, ”USS Monitor is no more. Badai telah melakukan apa yang tidak bisa dilakukan oleh kapal musuh.”
Nah, tayangan dokumenter yang aku ceritakan di awal mengisahkan pengangkatan artefak yang merupakan bagian penting USS Monitor, yaitu menara meriamnya. Menara meriam ini dilapisi oleh delapan lapis pelat baja yang masing-masing berukuran satu inci. Sejumlah baling-baling dan beberapa bagian kapal telah diangkat dan dikonservasi beberapa tahun sebelumnya. Sekedar catatan, lokasi pasti USS Monitor ditemukan pada tahun 1970-an setelah bertahun-tahun para peneliti mencari-cari lokasi kapal ini di antara banyak bangkai kapal di Tanjung Hatteras.
Tim yang melakukan pengangkatan artefak menara meriam ini telah bekerja selama 41 hari, berlomba-lomba dengan badai dan arus laut yang kencang, sebelum akhirnya berhasil mengangkat menara meriam seberat 120 ton dari dasar laut. Alat yang digunakan dalam ekspedisi ini sangat mahal, berupa sebuah alat pengangkat berbentuk kaki laba-laba seberat 80 ton lebih. Tim melibatkan tenaga-tenaga ahli di bidangnya, termasuk penyelam-penyelam hebat dari AL Amerika.
Di dalam reruntuhan kapal dan menara meriam, ditemukan dua jenazah awak kapal yang ikut terkubur bersama karamnya kapal 140 tahun lalu. Dua jenazah ini selanjutnya akan dites DNA --karena itu dalam tim ini juga bergabung ahli forensik-- untuk proses identifikasi. Berlabuhnya kapal ekspedisi --yang mengangkut artefak menara meriam dan dua jenazah-- ini di Hampton Roads disambut dengan upacara militer dan tembakan meriam AL Amerika.
Hmm, jujur aku terkesan oleh tayangan ini. Inilah sebentuk nyata kisah tentang sebuah bangsa yang sangat menghargai sejarahnya. Bagaimana mereka berusaha mengkonservasi bagian dari sejarah agar bisa diwariskan kepada anak cucu, bagaimana mereka menghormati jenazah tentara yang sudah terkubur selama 140 tahun... mengapa bangsa kita tidak bisa mencontohnya?
Jadi teringat nasib kapal nasional kita --Pinisi, masih ingat namanya?-- yang karam beberapa tahun lalu dan tidak ada yang ambil peduli. Padahal kapal ini telah mengharumkan nama Indonesia dalam berbagai pelayaran ekshibisi tingkat internasional pada tahun 1990-an.
Sayup-sayup aku mendengar nyanyian dari masa kanakku, ”Nenek moyangku orang pelaut...”
No comments:
Post a Comment