Lagi-lagi, saya menemukan sebuah artikel menarik di halaman olahraga harian Kompas Jumat, 7 Januari 2005. Artikel yang ditulis oleh Anton Sanjoyo ini mengangkat wacana mengenai penggunaan teknologi canggih di lingkungan sepak bola. Berikut ini tulisan lengkapnya.
-----------------------------------------------------------
Sudah lewat setengah tahun sejak pertemuan saya dengan Joel Katz, seorang wartawan tua sarat pengalaman di arena Euro 2004 Portugal. Hari-hari ini, wajah renta penuh kerut Katz kembali mengusik bilik memori. Saya teringat kata-katanya: “Hanya sepak bola yang bisa membuat drama seperti ini. Sepak bola menjadi indah karena ada drama manusia di dalamnya,” ujar Katz saat menyaksikan partai Portugal melawan Belanda di babak semifinal.
Drama manusia karena sepak bola sangat manusiawi. Ada passion yang demikian menggelegak, ada pekik sorak, juga air mata. Barangkali hanya di sepak bola, manusia menemukan wujudnya yang paling dasar, tak pernah lepas dari kesalahan. Pada momen ini, bukan hanya pemain atau pelatih yang berbuat kesalahan, tetapi juga pengadil dan para asistennya.
Hari-hari ini, di lingkungan Liga Inggris, korps pengadil sedang mendapat sorotan tajam. Paling mutakhir adalah hujaman kritik kepada asisten wasit Rob Lewis, yang membantu wasit Mark Clattenburg saat memimpin partai Manchester United (MU) melawan Tottenham Hotspur, Selasa lalu di Old Trafford. Clattenburg tidak mengesahkan gol gelandang Spurs, Pedro Mendes, ke gawang Roy Carrol karena Lewis tidak melihat bola telah melewati garis gawang.
“Saya berada dalam jarak 25 yard (sekitar 25 meter--Red) dari gawang Carrol saat kejadian itu,” ujar Lewis. “Saya harus punya kemampuan lari secepat Linford Christie untuk melihat apakah bola melewati garis atau tidak,” lanjut asisten wasit asal Shrewsbury itu.
Beberapa hari sebelum insiden Old Trafford, wasit Mike Riley juga membuat blunder besar di Anfield, saat Liverpool menjamu Chelsea. Riley tidak memberikan hadiah penalti kepada Liverpool, padahal jelas-jelas gelandang Chelsea, Tiago Mendez, memukul bola dengan tangannya di kotak penalti. “Bola yang datang ke tangan Tiago,” ujar Riley.
Baik insiden Anfield maupun Old Trafford, keduanya diyakini memengaruhi hasil akhir. Chelsea akhirnya menang 1-0, sementara MU mendapat berkah dengan hasil imbang tanpa gol. Dengan demikian, dalam kasus Chelsea, sangat mungkin tiga nilai yang mereka dapat adalah bagian penting dari perjalanan mereka (kalau) kelak menjadi juara.
Dipicu insiden di dua stadion tadi, desakan lama agar teknologi media (video dan rekaman televisi) dipakai dalam pengambilan keputusan di lapangan, merebak kembali. Badan tertinggi sepak bola dunia, FIFA, bahkan merencanakan memakai bola yang dilengkapi microchip, untuk mendeteksi, apakah bola sudah melewati garis atau belum. Kabarnya, teknologi baru tersebut akan dipakai pada final Piala Liga Inggris mendatang.
Sejauh ini, wacana penggunaan teknologi canggih di lingkungan sepak bola, masih menjadi perdebatan sengit. Ada yang pro, tapi lebih banyak yang kontra.
Di Inggris kalangan yang kontra berpendapat, sepak bola akan kehilangan getar dan suspensnya jika teknologi, terutama teknologi rekaman gambar, terlalu merasuki permainan. Yang ekstrem menolak beranggapan, teknologi akan “membunuh” permainan sepak bola.
Pandangan kalangan ini agak mengejutkan mengingat Inggris pernah sangat disakiti oleh ulah Diego Maradona di perempat final Piala Dunia 1986. Kala itu, kiper Peter Shilton diperdaya oleh “tangan Tuhan” Maradona, dan wasit Ali Bennaceur (Tunisia) bergeming mengesahkan gol itu. Dalam rekaman televisi jelas terlihat, Maradona meninju bola itu dan melesat masuk gawang Shilton.
Gol “tangan Tuhan” toh tetap menjadi gol yang sah, bahkan setelah Maradona mengakuinya sendiri. Orang Inggris, meski dongkol, akhirnya mengakui kekalahan mereka. Gol Maradona, dan kesalahan judgement Bennaceur, adalah bagian dari permainan itu sendiri. “It’s part of the game,” kata bek Inggris, Terry Butcher.
Butcher pasti benar. Dia tetap jengkel pada keculasan Maradona, namun mahfum bahwa wasit pun punya kelemahan. Dia bisa salah membuat keputusan, dan bahkan keputusannya menghancurkan harapan sebuah bangsa. Meski pahit buat Inggris, Butcher dan kawan-kawan akhirnya menerima kesalahan Bennaceur sebagai hal yang lumrah dan manusiawi.
Karena pemain dan wasit tak pernah luput dari kesalahan itulah yang membuat sepak bola tetap punya daya magisnya sendiri. Dengan asumsi, segala kesalahan tidak dikehendaki dan disengaja, sepak bola tetap menjadi olahraga paling populer, paling menghibur, karena semua usaha untuk memperbaiki kesalahan adalah juga atraksi tersendiri.
Maka hanya dalam sepak bola, dikotomi salah dan benar dalam keputusan wasit, atau perilaku pemain, selalu menjadi drama yang tak ada habisnya. Hanya di lapangan itu kita bisa melihat fair play dan sportivitas diperjuangkan dengan begitu gigihnya. Ingatlah bagaimana Robbie Fowler (saat masih bermain di Liverpool), menolak mengeksekusi tendangan penalti karena menganggap wasit salah memberikan hukuman kepada Arsenal.
Tanpa teknologi canggih yang terlalu mengintervensi, dan kelangsungan pertandingan sepenuhnya diserahkan kepada wasit, pertarungan sportivitas dan fair play, akhirnya menjadi suguhan yang punya dramanya sendiri di lapangan hijau. Lapangan sepak bola akhirnya menjadi laga kehidupan bagi para pelakunya sendiri, termasuk jutaan penonton yang nongkrong di depan layar televisi.
Maka, karena masih ada kesalahan manusia di dalamnya, sepak bola selalu punya getar dan gairah tak terperikan untuk dinikmati.
-----------------------------------------------------------
Komentar saya: Wah, wah. Ternyata bola inovasi terus bergulir. Dulu ide tentang dua wasit dalam satu lapangan, sekarang ide tentang penggunaan bola yang dilengkapi microchip. Saya rasa, tiap pecinta sejati sepak bola yang bercita rasa seni tinggi, (mungkin juga) termasuk saya, pasti akan kontra dengan penggunaan teknologi canggih yang terlalu mengintervensi. Ya, tentu saja. Nanti sepak bola malah jadi seperti teknik digital dong, hanya ada 0 dan 1, hanya ada benar dan salah. Biarkan wilayah abu-abu yang mengasyikkan itu tetap ada. Sepak bola kan bukan hanya sekedar sebuah permainan berebut dan menceploskan bola. Sepak bola punya jauh lebih banyak daripada itu, salah satunya adalah drama manusia. Completeness sepak bola yang bukan hanya sekedar sebuah cabang olahraga itulah yang membuat saya jatuh cinta pada sepak bola bertahun-tahun lalu, sejak saya berusia 14 tahun dan menyaksikan Manchester United lawan Liverpool untuk pertama kalinya. Dan yang pasti, kalau teknologi canggih terlalu mengintervensi sepak bola, kata teman saya, “Nanti nggak ada misuh-misuh-nya lagi!” He he he…
-----------------------------------------------------------
Sudah lewat setengah tahun sejak pertemuan saya dengan Joel Katz, seorang wartawan tua sarat pengalaman di arena Euro 2004 Portugal. Hari-hari ini, wajah renta penuh kerut Katz kembali mengusik bilik memori. Saya teringat kata-katanya: “Hanya sepak bola yang bisa membuat drama seperti ini. Sepak bola menjadi indah karena ada drama manusia di dalamnya,” ujar Katz saat menyaksikan partai Portugal melawan Belanda di babak semifinal.
Drama manusia karena sepak bola sangat manusiawi. Ada passion yang demikian menggelegak, ada pekik sorak, juga air mata. Barangkali hanya di sepak bola, manusia menemukan wujudnya yang paling dasar, tak pernah lepas dari kesalahan. Pada momen ini, bukan hanya pemain atau pelatih yang berbuat kesalahan, tetapi juga pengadil dan para asistennya.
Hari-hari ini, di lingkungan Liga Inggris, korps pengadil sedang mendapat sorotan tajam. Paling mutakhir adalah hujaman kritik kepada asisten wasit Rob Lewis, yang membantu wasit Mark Clattenburg saat memimpin partai Manchester United (MU) melawan Tottenham Hotspur, Selasa lalu di Old Trafford. Clattenburg tidak mengesahkan gol gelandang Spurs, Pedro Mendes, ke gawang Roy Carrol karena Lewis tidak melihat bola telah melewati garis gawang.
“Saya berada dalam jarak 25 yard (sekitar 25 meter--Red) dari gawang Carrol saat kejadian itu,” ujar Lewis. “Saya harus punya kemampuan lari secepat Linford Christie untuk melihat apakah bola melewati garis atau tidak,” lanjut asisten wasit asal Shrewsbury itu.
Beberapa hari sebelum insiden Old Trafford, wasit Mike Riley juga membuat blunder besar di Anfield, saat Liverpool menjamu Chelsea. Riley tidak memberikan hadiah penalti kepada Liverpool, padahal jelas-jelas gelandang Chelsea, Tiago Mendez, memukul bola dengan tangannya di kotak penalti. “Bola yang datang ke tangan Tiago,” ujar Riley.
Baik insiden Anfield maupun Old Trafford, keduanya diyakini memengaruhi hasil akhir. Chelsea akhirnya menang 1-0, sementara MU mendapat berkah dengan hasil imbang tanpa gol. Dengan demikian, dalam kasus Chelsea, sangat mungkin tiga nilai yang mereka dapat adalah bagian penting dari perjalanan mereka (kalau) kelak menjadi juara.
Dipicu insiden di dua stadion tadi, desakan lama agar teknologi media (video dan rekaman televisi) dipakai dalam pengambilan keputusan di lapangan, merebak kembali. Badan tertinggi sepak bola dunia, FIFA, bahkan merencanakan memakai bola yang dilengkapi microchip, untuk mendeteksi, apakah bola sudah melewati garis atau belum. Kabarnya, teknologi baru tersebut akan dipakai pada final Piala Liga Inggris mendatang.
Sejauh ini, wacana penggunaan teknologi canggih di lingkungan sepak bola, masih menjadi perdebatan sengit. Ada yang pro, tapi lebih banyak yang kontra.
Di Inggris kalangan yang kontra berpendapat, sepak bola akan kehilangan getar dan suspensnya jika teknologi, terutama teknologi rekaman gambar, terlalu merasuki permainan. Yang ekstrem menolak beranggapan, teknologi akan “membunuh” permainan sepak bola.
Pandangan kalangan ini agak mengejutkan mengingat Inggris pernah sangat disakiti oleh ulah Diego Maradona di perempat final Piala Dunia 1986. Kala itu, kiper Peter Shilton diperdaya oleh “tangan Tuhan” Maradona, dan wasit Ali Bennaceur (Tunisia) bergeming mengesahkan gol itu. Dalam rekaman televisi jelas terlihat, Maradona meninju bola itu dan melesat masuk gawang Shilton.
Gol “tangan Tuhan” toh tetap menjadi gol yang sah, bahkan setelah Maradona mengakuinya sendiri. Orang Inggris, meski dongkol, akhirnya mengakui kekalahan mereka. Gol Maradona, dan kesalahan judgement Bennaceur, adalah bagian dari permainan itu sendiri. “It’s part of the game,” kata bek Inggris, Terry Butcher.
Butcher pasti benar. Dia tetap jengkel pada keculasan Maradona, namun mahfum bahwa wasit pun punya kelemahan. Dia bisa salah membuat keputusan, dan bahkan keputusannya menghancurkan harapan sebuah bangsa. Meski pahit buat Inggris, Butcher dan kawan-kawan akhirnya menerima kesalahan Bennaceur sebagai hal yang lumrah dan manusiawi.
Karena pemain dan wasit tak pernah luput dari kesalahan itulah yang membuat sepak bola tetap punya daya magisnya sendiri. Dengan asumsi, segala kesalahan tidak dikehendaki dan disengaja, sepak bola tetap menjadi olahraga paling populer, paling menghibur, karena semua usaha untuk memperbaiki kesalahan adalah juga atraksi tersendiri.
Maka hanya dalam sepak bola, dikotomi salah dan benar dalam keputusan wasit, atau perilaku pemain, selalu menjadi drama yang tak ada habisnya. Hanya di lapangan itu kita bisa melihat fair play dan sportivitas diperjuangkan dengan begitu gigihnya. Ingatlah bagaimana Robbie Fowler (saat masih bermain di Liverpool), menolak mengeksekusi tendangan penalti karena menganggap wasit salah memberikan hukuman kepada Arsenal.
Tanpa teknologi canggih yang terlalu mengintervensi, dan kelangsungan pertandingan sepenuhnya diserahkan kepada wasit, pertarungan sportivitas dan fair play, akhirnya menjadi suguhan yang punya dramanya sendiri di lapangan hijau. Lapangan sepak bola akhirnya menjadi laga kehidupan bagi para pelakunya sendiri, termasuk jutaan penonton yang nongkrong di depan layar televisi.
Maka, karena masih ada kesalahan manusia di dalamnya, sepak bola selalu punya getar dan gairah tak terperikan untuk dinikmati.
-----------------------------------------------------------
Komentar saya: Wah, wah. Ternyata bola inovasi terus bergulir. Dulu ide tentang dua wasit dalam satu lapangan, sekarang ide tentang penggunaan bola yang dilengkapi microchip. Saya rasa, tiap pecinta sejati sepak bola yang bercita rasa seni tinggi, (mungkin juga) termasuk saya, pasti akan kontra dengan penggunaan teknologi canggih yang terlalu mengintervensi. Ya, tentu saja. Nanti sepak bola malah jadi seperti teknik digital dong, hanya ada 0 dan 1, hanya ada benar dan salah. Biarkan wilayah abu-abu yang mengasyikkan itu tetap ada. Sepak bola kan bukan hanya sekedar sebuah permainan berebut dan menceploskan bola. Sepak bola punya jauh lebih banyak daripada itu, salah satunya adalah drama manusia. Completeness sepak bola yang bukan hanya sekedar sebuah cabang olahraga itulah yang membuat saya jatuh cinta pada sepak bola bertahun-tahun lalu, sejak saya berusia 14 tahun dan menyaksikan Manchester United lawan Liverpool untuk pertama kalinya. Dan yang pasti, kalau teknologi canggih terlalu mengintervensi sepak bola, kata teman saya, “Nanti nggak ada misuh-misuh-nya lagi!” He he he…
No comments:
Post a Comment