“Yus, hiks… Mnyedihkan… Tampaknya ada tanda2 Indonesia tdk msk final.” Begitu bunyi SMS yang saya dapat semalam, ketika Indonesia tertinggal 0-1 dari Malaysia pada menit ke-27 akibat gol pemain Malaysia, Amri Yahya. Mau tak mau saya ikut tertunduk lesu. Bagaimana tidak, sampai akhir babak pertama pertandingan semifinal kedua, skor masih bertahan 0-1 untuk kekalahan Indonesia.
Ditaklukkan Malaysia dengan skor 1-2 pada semifinal pertama di Stadion Senayan, Jakarta, siapapun akan mengakui bahwa kans Indonesia cukup kecil. Untuk bisa lolos ke final, paling tidak Indonesia harus menang dengan selisih dua gol pada semifinal kedua di Stadion Nasional Bukit Djalil, Malaysia. Bayangkan, selisih dua gol! Di kandang lawan, lagi! Akhirnya ketika pemain turun minum, saya segera mengambil wudhu untuk shalat isya sambil menyelipkan doa: semoga Indonesia lolos ke final! Ya, harus lolos ke final. Jika tidak, hal itu merupakan penurunan prestasi sebab sebelumnya Indonesia sudah dua kali berturut-turut masuk final Tiger Cup (2000 dan 2002), meskipun dua-duanya kalah dari Thailand.
Peter Withe, pelatih Indonesia --yang pada 2000 dan 2002 melatih Thailand-- memasang strategi yang sangat jitu pada babak kedua dengan memasukkan Kurniawan Dwi Yulianto menggantikan Ismed Sofyan. Dengan adanya empat penyerang --bayangkan, EMPAT!--, tentu permainan Indonesia menjadi jauh lebih menyerang. Formasi 3-4-1-2 berubah menjadi 4-4-2. Strategi ini berbuah manis. Pada menit ke-59, memanfaatkan kesalahan pemain belakang Malaysia, Kurniawan berhasil menyarangkan gol cantik.
Berhasil menyamakan skor, mental pemain Indonesia kian bersemangat, serangan Indonesia kian menekan lawan. Pada akhirnya, tiga gol tercipta dalam waktu sepuluh menit. Gol kedua Indonesia tercipta lewat sundulan telak Charis Yulianto, pemain inti PSM Makassar, menyambut tendangan sudut Boas Salossa. Gol ketiga --goal of the match, menurut saya-- lahir dari kerja sama yang sungguh apik dari Kurniawan dan Ilham Jayakesuma. Saat itu, Kurniawan yang dikepung dua pemain Malaysia --posisi yang sulit-- masih sempat mengontrol bola sebelum mengumpankannya pada Ilham. Dengan sedikit sentuhan, Ilham berhasil mengegolkannya. Saya bersorak sangat keras. Betapa tidak, final sudah di depan mata! Gol penutup Indonesia dipersembahkan oleh Boas Salossa yang berhasil menceploskan bola dengan amat tenang, setelah mengecoh pemain bertahan dan kiper Malaysia. Sontak saya bergembira. Indonesia lolos ke final!
Dari perjalanan panjang mengikuti turnamen Tiger Cup kali ini, Indonesia tercatat hanya satu kali kalah, yaitu saat dikalahkan oleh Malaysia pekan lalu. Sebelumnya, seri satu kali dengan skor 0-0 melawan Singapura, dan selebihnya selalu menang besar (3-0, 6-0, bahkan 8-0). Hmm, saya sungguh berharap banyak pada tim nasional kita kali ini. Ada beberapa pemain unik di tim kita: Hendro Kartiko, Ilham Jayakesuma, Kurniawan Dwi Yulianto, dan Boas Salossa.
Hendro Kartiko, siapa yang tak kenal? Pemain asal Jawa Timur ini sudah eksis sejak zamannya Aji Santoso dan Bejo Sugiantoro (rasanya sudah lama sekali, ya?). Di saat tim nasional didominasi wajah-wajah baru yang tak saya kenal, Hendro masih tercatat sebagai kiper terbaik. Hal itu jelas terbukti lewat penyelamatan-penyelamatannya yang gemilang, sehingga gawang Indonesia hanya kemasukan tiga gol sepanjang turnamen. Kontras dengan kiper gaek Hendro Kartiko, kita juga memiliki Boas Salossa. Anak muda asal Papua ini baru berusia 18 tahun! Namun, teknik individu dan teknik kerja sama yang dimilikinya sudah sangat tinggi. Ia seringkali melakukan tusukan dan penetrasi berbahaya ke daerah lawan. Maka tak heran, perannya membawa pengaruh besar bagi keberhasilan tim nasional sejauh ini.
Partner Boas di lini depan adalah Ilham Jayakesuma, yang juga memiliki karakter yang unik. Ilham biasanya diposisikan sebagai target man, tetapi bukan berarti ia hanya sekedar menanti umpan. Ia dengan rajin juga turut mengejar bola serta membuka ruang bagi pemain lain. Mengenai rajinnya Ilham ini, Peter Withe pernah berkomentar bahwa ia menyukai pemain tipe petarung yang tidak malas mengejar bola. Itulah sebabnya ia tidak memasukkan Bambang Pamungkas ke dalam tim nasional kali ini.
Pemain terakhir yang akan saya bahas adalah Kurniawan Dwi Yulianto, kelahiran Magelang, 13 Juli 1976. Bicara tentangnya berarti bicara tentang romantisme masa lalu. Ia pemain kesayangan saya sejak masih bergabung dengan PSM Makassar. Lima tahun lalu, ketika PSM Makassar bertandang melawan Pelita Solo, saya dengan bersemangat pergi ke Stadion Manahan, Solo untuk melihatnya. Ia sungguh pemain dengan talenta dan teknik yang bagus, bahkan Peter Withe pun mengakuinya. Kemampuannya itu antara lain diperoleh saat bermain di klub Sampdoria, Italia. Sering dianggap sebagai pemain yang sudah “habis” karena usianya yang sudah “tua” (zamannya sama dengan zaman Hendro), Kurniawan hampir tak masuk tim nasional. Ia dan Supriyono Salimin dipanggil masuk setelah Peter Withe mencoret Johan Prasetyo dan Suswanto karena tindakan indisipliner. Kehadiran pemain yang baru saja mengantarkan Persebaya menjuarai Liga Indonesia 2004 ini senantiasa membuat serangan Indonesia hidup. Meski masa kejayaannya sempat meredup, kecepatan dan kerja kerasnya di lapangan masih membuktikan bahwa ia layak dijadikan pilihan. Peran terbesarnya pada turnamen Tiger Cup kali ini terlihat pada semifinal kedua di Stadion Nasional Bukit Djalil, Malaysia semalam.
Menyaksikan pertandingan semalam, ada rasa haru membuncah, ada hikmah terpetik: bahwa tak pernah ada kata menyerah sebelum semuanya benar-benar berakhir. Dalam posisi yang berat karena harus menang dengan selisih minimal dua gol di kandang lawan, Indonesia malah berhasil unggul 4-1. Ini mengingatkan saya pada fenomena sepakbola yang lain, yaitu saat Manchester United menjuarai Liga Champion 1999. Saat itu, Bayern Muenchen unggul 1-0 hingga injury time, membuat setiap orang beranggapan bahwa gelar juara tinggal menunggu waktu habis untuk jatuh ke tangan Bayern Muenchen. Siapa menyangka, pada injury time tersebut, dalam tempo dua (atau tiga?) menit, Ole Gunnar Solkjaer dan Teddy Sheringham berhasil menyarangkan dua gol untuk membalikkan skor menjadi 2-1. Maka gelar juara Liga Champion 1999 pun jatuh ke tangan Manchester United, melengkapi gelar juara Premier League dan FA Cup.
Yah, sebuah teguran untuk saya, saya rasa. Bahwa tak pernah ada kata menyerah sebelum semuanya benar-benar berakhir. Maka seharusnya tak ada putus asa sebelum perjuangan mencapai titik penghabisan. Maka seharusnya tak ada leha-leha sebelum jiwa meninggalkan raga. Sesungguhnya istirahat itu nanti, saat tak ada lagi waktu di dunia. Teriring doa untuk kemenangan Indonesia di final Tiger Cup pada 8 dan 16 Januari mendatang. Selamat berjuang, tim nasional kebanggaan dan kesayanganku!
Ditaklukkan Malaysia dengan skor 1-2 pada semifinal pertama di Stadion Senayan, Jakarta, siapapun akan mengakui bahwa kans Indonesia cukup kecil. Untuk bisa lolos ke final, paling tidak Indonesia harus menang dengan selisih dua gol pada semifinal kedua di Stadion Nasional Bukit Djalil, Malaysia. Bayangkan, selisih dua gol! Di kandang lawan, lagi! Akhirnya ketika pemain turun minum, saya segera mengambil wudhu untuk shalat isya sambil menyelipkan doa: semoga Indonesia lolos ke final! Ya, harus lolos ke final. Jika tidak, hal itu merupakan penurunan prestasi sebab sebelumnya Indonesia sudah dua kali berturut-turut masuk final Tiger Cup (2000 dan 2002), meskipun dua-duanya kalah dari Thailand.
Peter Withe, pelatih Indonesia --yang pada 2000 dan 2002 melatih Thailand-- memasang strategi yang sangat jitu pada babak kedua dengan memasukkan Kurniawan Dwi Yulianto menggantikan Ismed Sofyan. Dengan adanya empat penyerang --bayangkan, EMPAT!--, tentu permainan Indonesia menjadi jauh lebih menyerang. Formasi 3-4-1-2 berubah menjadi 4-4-2. Strategi ini berbuah manis. Pada menit ke-59, memanfaatkan kesalahan pemain belakang Malaysia, Kurniawan berhasil menyarangkan gol cantik.
Berhasil menyamakan skor, mental pemain Indonesia kian bersemangat, serangan Indonesia kian menekan lawan. Pada akhirnya, tiga gol tercipta dalam waktu sepuluh menit. Gol kedua Indonesia tercipta lewat sundulan telak Charis Yulianto, pemain inti PSM Makassar, menyambut tendangan sudut Boas Salossa. Gol ketiga --goal of the match, menurut saya-- lahir dari kerja sama yang sungguh apik dari Kurniawan dan Ilham Jayakesuma. Saat itu, Kurniawan yang dikepung dua pemain Malaysia --posisi yang sulit-- masih sempat mengontrol bola sebelum mengumpankannya pada Ilham. Dengan sedikit sentuhan, Ilham berhasil mengegolkannya. Saya bersorak sangat keras. Betapa tidak, final sudah di depan mata! Gol penutup Indonesia dipersembahkan oleh Boas Salossa yang berhasil menceploskan bola dengan amat tenang, setelah mengecoh pemain bertahan dan kiper Malaysia. Sontak saya bergembira. Indonesia lolos ke final!
Dari perjalanan panjang mengikuti turnamen Tiger Cup kali ini, Indonesia tercatat hanya satu kali kalah, yaitu saat dikalahkan oleh Malaysia pekan lalu. Sebelumnya, seri satu kali dengan skor 0-0 melawan Singapura, dan selebihnya selalu menang besar (3-0, 6-0, bahkan 8-0). Hmm, saya sungguh berharap banyak pada tim nasional kita kali ini. Ada beberapa pemain unik di tim kita: Hendro Kartiko, Ilham Jayakesuma, Kurniawan Dwi Yulianto, dan Boas Salossa.
Hendro Kartiko, siapa yang tak kenal? Pemain asal Jawa Timur ini sudah eksis sejak zamannya Aji Santoso dan Bejo Sugiantoro (rasanya sudah lama sekali, ya?). Di saat tim nasional didominasi wajah-wajah baru yang tak saya kenal, Hendro masih tercatat sebagai kiper terbaik. Hal itu jelas terbukti lewat penyelamatan-penyelamatannya yang gemilang, sehingga gawang Indonesia hanya kemasukan tiga gol sepanjang turnamen. Kontras dengan kiper gaek Hendro Kartiko, kita juga memiliki Boas Salossa. Anak muda asal Papua ini baru berusia 18 tahun! Namun, teknik individu dan teknik kerja sama yang dimilikinya sudah sangat tinggi. Ia seringkali melakukan tusukan dan penetrasi berbahaya ke daerah lawan. Maka tak heran, perannya membawa pengaruh besar bagi keberhasilan tim nasional sejauh ini.
Partner Boas di lini depan adalah Ilham Jayakesuma, yang juga memiliki karakter yang unik. Ilham biasanya diposisikan sebagai target man, tetapi bukan berarti ia hanya sekedar menanti umpan. Ia dengan rajin juga turut mengejar bola serta membuka ruang bagi pemain lain. Mengenai rajinnya Ilham ini, Peter Withe pernah berkomentar bahwa ia menyukai pemain tipe petarung yang tidak malas mengejar bola. Itulah sebabnya ia tidak memasukkan Bambang Pamungkas ke dalam tim nasional kali ini.
Pemain terakhir yang akan saya bahas adalah Kurniawan Dwi Yulianto, kelahiran Magelang, 13 Juli 1976. Bicara tentangnya berarti bicara tentang romantisme masa lalu. Ia pemain kesayangan saya sejak masih bergabung dengan PSM Makassar. Lima tahun lalu, ketika PSM Makassar bertandang melawan Pelita Solo, saya dengan bersemangat pergi ke Stadion Manahan, Solo untuk melihatnya. Ia sungguh pemain dengan talenta dan teknik yang bagus, bahkan Peter Withe pun mengakuinya. Kemampuannya itu antara lain diperoleh saat bermain di klub Sampdoria, Italia. Sering dianggap sebagai pemain yang sudah “habis” karena usianya yang sudah “tua” (zamannya sama dengan zaman Hendro), Kurniawan hampir tak masuk tim nasional. Ia dan Supriyono Salimin dipanggil masuk setelah Peter Withe mencoret Johan Prasetyo dan Suswanto karena tindakan indisipliner. Kehadiran pemain yang baru saja mengantarkan Persebaya menjuarai Liga Indonesia 2004 ini senantiasa membuat serangan Indonesia hidup. Meski masa kejayaannya sempat meredup, kecepatan dan kerja kerasnya di lapangan masih membuktikan bahwa ia layak dijadikan pilihan. Peran terbesarnya pada turnamen Tiger Cup kali ini terlihat pada semifinal kedua di Stadion Nasional Bukit Djalil, Malaysia semalam.
Menyaksikan pertandingan semalam, ada rasa haru membuncah, ada hikmah terpetik: bahwa tak pernah ada kata menyerah sebelum semuanya benar-benar berakhir. Dalam posisi yang berat karena harus menang dengan selisih minimal dua gol di kandang lawan, Indonesia malah berhasil unggul 4-1. Ini mengingatkan saya pada fenomena sepakbola yang lain, yaitu saat Manchester United menjuarai Liga Champion 1999. Saat itu, Bayern Muenchen unggul 1-0 hingga injury time, membuat setiap orang beranggapan bahwa gelar juara tinggal menunggu waktu habis untuk jatuh ke tangan Bayern Muenchen. Siapa menyangka, pada injury time tersebut, dalam tempo dua (atau tiga?) menit, Ole Gunnar Solkjaer dan Teddy Sheringham berhasil menyarangkan dua gol untuk membalikkan skor menjadi 2-1. Maka gelar juara Liga Champion 1999 pun jatuh ke tangan Manchester United, melengkapi gelar juara Premier League dan FA Cup.
Yah, sebuah teguran untuk saya, saya rasa. Bahwa tak pernah ada kata menyerah sebelum semuanya benar-benar berakhir. Maka seharusnya tak ada putus asa sebelum perjuangan mencapai titik penghabisan. Maka seharusnya tak ada leha-leha sebelum jiwa meninggalkan raga. Sesungguhnya istirahat itu nanti, saat tak ada lagi waktu di dunia. Teriring doa untuk kemenangan Indonesia di final Tiger Cup pada 8 dan 16 Januari mendatang. Selamat berjuang, tim nasional kebanggaan dan kesayanganku!
"saya bersorak sangat keras"
ReplyDeletemmmm.. ternyata... :)
mudah-mudahan masih bisa mengulanginya dua kali lagi.
:)