Kemarin pagi, saya keluar rumah pukul 04.45 selepas shubuh. Setelah sejenak menghirup udara pagi sambil menggigil diterpa hawa, saya mengeluarkan sepeda motor dengan hati-hati. Di luar benar-benar masih gelap. Baru kali itu saya keluar jam segitu. Seorang teman meminta tolong diantar ke bandara untuk mengejar pesawat pukul 05.30, itu alasannya. Malam sebelumnya berlalu tanpa tidur sedetik pun, tapi wajah sedikit lebih segar setelah dibasuh air wudhu dan dibelai angin fajar.
Sepanjang jalan menuju bandara, suasana teramat sepi. Kalaulah ada kendaraan lalu lalang, itu cuma satu dua. Jalanan gelap, sepi, dan dingin. Membuat saya bisa memacu motor kencang-kencang. Alhasil, kami sampai di bandara hanya dalam waktu 20 menit. Rekor nih, he he he...
Saya cuma sebentar di bandara. Hanya menurunkan teman. Lantas segera pulang, kembali menyusuri jalanan yang gelap, sepi, dan dingin. Dan entah mengapa, sambil memandangi semburat jingga di ufuk timur yang mulai nampak, saya termenung (eh, bisa dong, termenung di atas sepeda motor!). Saya berpikir, betapa indah hidup ini. Dan betapa sering saya mengeluh tentang hidup, terutama karena merasa nelangsa "terjebak" di sebuah jurusan yang tidak saya suka. Bahkan sering menyesali mengapa ketidaksukaan yang memuakkan itu datang terlambat, ketika sudah tiba masanya mengambil tugas akhir. Pergi begitu saja jelas tak mungkin, mengingat pengorbanan orang tua yang begitu besar, mengingat tinggal sedikit lagi semuanya berakhir. Oh, tapi mungkinkah tinggal sedikit lagi? Bagaimana jika yang "tinggal sedikit lagi" itu justru memakan waktu bertahun-tahun? Sementara bila studi ini diteruskan, saya tak yakin mampu menanggung kesedihan yang menggelegak akibat nilai-nilai yang ... (sensor). Jadi, bagaimana?
Lalu lintasan lain hadir. Meloncat dari tema akademis ke tema utama bangsa ini: Aceh. Saya terpikir tentang betapa banyaknya jumlah korban meninggal: 150.000 orang, yang setara dengan tiga kali jumlah penonton di Stadion Old Trafford, Manchester. Saya membayangkan orang-orang di stadion itu bergelimpangan, lalu jumlahnya dikali tiga. Tiba-tiba tersadar, ini sedang memikirkan Aceh atau sepak bola? Lho...
Kemudian pikiran serta merta terbang ke tema sepak bola: final Tiger Cup antara Indonesia dan Singapura. Hmm, saya tak tahu apa yang bakal terjadi. Singapura lawan yang berat. Tiga (atau empat?) pemainnya adalah pemain asing dari Nigeria dan Inggris, yang tentu skill-nya sudah lebih dari biasa. Ah, entahlah. Lalu pikiran terbang lagi ke tema-tema lain, sebelum akhirnya tersadar bahwa saya sudah sampai di dekat kios bunga Wastu Kencana. Terbersit keinginan untuk membeli bunga sebagai penghias ruangan.
Pada dasarnya, saya seorang penyuka bunga, bunga apa saja. Bahkan saya punya kebiasaan untuk memetik bunga di tempat-tempat mana saja yang saya kunjungi. Begitu sampai di kios terdekat, saya terpikir untuk membeli bunga mawar, bunga kesayangan saya. Sayangnya, ternyata harga mawar sangat mahal. Dengan enggan saya mengurungkan niat dan beralih ke bagian shrubs. Saya terpana melihat bunga putih dan bunga ungu yang menawan. Kebetulan harganya terjangkau. Maka tersenyumlah saya...
Akhirnya, saya tiba di kos dengan seikat bunga putih ungu di tangan. Betapa cantiknya. Tak henti-hentinya saya kagumi. Hmm, ternyata seikat bunga ini kembali menyadarkan saya tentang betapa indah hidup ini. Masalah akademik hanya akan menjadi sepenggal cerita yang segera selesai (semoga). Dan ketika saya keluar ke teras untuk mengambil koran yang tadi dilempar loper koran, saya memandangi ufuk timur sekali lagi. Semburat jingga itu sudah berubah menjadi lembut terang dunia. Semoga demikian pula halnya dengan asa saya, yang insya Allah kembali mekar seperti bunga putih ungu yang menunggu di kamar...
NB: Masih tersisa pula sedikit asa untuk tim nasional kesayangan, meski ternyata kalah di final pertama. Ayo dong, rebut Tiger Cup untuk pertama kalinya!
No comments:
Post a Comment