Mencermati hasil pertandingan antara Indonesia melawan Singapura pada final pertama di Stadion Gelora Bung Karno, Senayan, hari Sabtu lalu, mungkin ada pertanyaan mengemuka: bukankah formasi Indonesia saat itu sama dengan saat Indonesia menggebuk Malaysaia 4-1? Lantas mengapa Indonesia malah kalah telak 1-3?
Tentu jawabnya simpel: karena kondisinya memang berbeda. Saat Indonesia melawan Malaysia pada semifinal kedua dulu, kita berada dalam kondisi sulit: kemasukan satu gol padahal harus menang dengan selisih minimal dua gol. Kita tak punya pilihan lain selain tampil habis-habisan menyerang. Itu sebabnya Kurniawan dimasukkan pada babak kedua sehingga jumlah pemain bertipe menyerang ada empat orang, ditambah dengan Boas, Ilham, dan Elie Aiboy.
Waktu itu, status Kurniawan yang masuk pada babak kedua juga punya pengaruh tersendiri. Ia sudah mengamati jalannya pertandingan selama babak pertama, sehingga ia tahu benar bagaimana karakter, taktik, dan tipe permainan yang dikembangkan lawan. Maka saat ia mendapat instruksi pelatih untuk terjun, ia sudah siap dengan counter taktik untuk mengoyak konsentrasi pertahanan lawan. Lahirlah gol pertama yang membangkitkan semangat pemain Indonesia, dan menyusullah gol demi gol yang dihasilkan dari goyahnya pertahanan lawan.
Saat Indonesia melawan Singapura, Kurniawan dimainkan sejak awal dengan maksud sama: habis-habisan menyerang dan mengegolkan sebanyak-banyaknya. Padahal pemain bertahan Singapura jauh lebih tangguh, dan mungkin itu yang luput dari perhatian. Mereka jago duel-duel atas, mereka juga disiplin dalam bertahan dan mengawal pemain-pemain kita. Itu sebabnya penyerang-penyerang kita mati kutu dan frustrasi berusaha menembus lawan. Apalagi kita sebelumnya juga sudah dikejutkan dengan gol dari Daniel Bennet pada menit ke-2. Bertambah frustasilah pemain-pemain kita.
Tidak tampilnya Ismed Sofyan juga membawa catatan tersendiri. Indonesia lemah dalam bertahan. Pemain-pemain kita terlalu asyik menyerang dan sering terlambat turun. Ilham yang seharusnya berkonsentrasi di depan malah sering berlari-lari turun membantu pertahanan, sehingga Kurniawan tidak cukup mendapat pasokan bola. Maka kekosongan terjadi di mana-mana, membuat penyerang Singapura, terutama Agu Casmir, dapat dengan mudah mempermainkan dan menceploskan bola. Dan seperti yang sudah dapat diduga, mental pemain-pemain kita langsung turun. Semakin turun ketika Boas ditarik karena cedera, dan semakin turun lagi ketika Mauly Lessy diganjar kartu merah akibat akumulasi kartu kuning. Sudah tidak mungkin rasanya mengejar Singapura. Bahkan saya terkejut dengan gol Mahyadi pada injury time. Ternyata masih bisa mengegolkan juga. He he he, jahat ya saya...
Berbekal pengalaman final pertama, saya rasa Peter Withe harus menerapkan taktik baru yang lebih jitu. Tidak bisa tampilnya Mauly Lessy dan Charis Yulianto (akibat akumulasi kartu pada dua pertandingan berbeda) cukup membuat saya ketar-ketir membayangkan tidak solidnya pertahanan Indonesia. Pertahanan kita yang kemarin sudah diobrak-abrik lawan kini makin bertambah lemah. Masih ditambah kondisi Boas yang belum pasti bisa tampil di final kedua. Lantas bagaimana?
Saya tak tahu. Saya bukan Peter Withe. Saya cuma penonton. Analisis di atas juga bukan analisis jago, cuma berdasarkan pengalaman menonton selama ini. Maka sah-sah saja kalau sebagai penonton, saya masih berharap pada tim nasional kita, meski langkah yang menanti di depan bukanlah pekerjaan enteng...
No comments:
Post a Comment