Tuesday, July 05, 2005

Seorang Istri

Membaca rubrik Sosok pada Harian Kompas 29 Juni 2005, saya merasa terharu. Rasa itu lalu membawa saya pada perenungan panjang tentang makna seorang istri bagi suaminya.

Rubrik itu bercerita tentang Soekanto SA (75), seorang penulis cerita anak legendaris di negeri ini. Namanya langsung mengingatkan kita pada Si Kuncung, majalah anak pada akhir tahun 1950-an sampai pertengahan tahun 1970-an. Selain bercerita tentang hidupnya sebagai penulis cerita anak, ia juga sedikit berkisah tentang Surtiningsih, almarhumah istrinya, yang meninggal 3 Mei lalu dalam usia 67 tahun.

”Saya ini ’selamat’ karena ’digembala’ Ibu,” ujarnya, tersenyum. ”Dia keras, disiplin, dan tak bisa ditawar dalam prinsip. Rapor anak boleh merah, tetapi tidak akhlaknya. Dia sangat peka terhadap penderitaan orang lain dan selalu memberi contoh bertindak kepada kami.” Ia terdiam. Lalu memandang lurus tamunya dan berkata, ”Kita bicara hal-hal yang menyenangkan saja ya...”

Santi WE, satu dari lima putrinya, mengatakan bahwa tidak mudah bagi ayahnya ditinggal sang ibu. Bagi Soekanto, Surtiningsih bukan sekedar istri dan ibu dari sembilan anak mereka. Di dalam diri almarhumah, Soekanto yang memiliki ijazah sarjana di bidang keuangan negara menemukan kekuatan untuk menjalani hidupnya sebagai penulis. Surtiningsih juga dikenal sebagai penulis cerita anak pada zamannya.

”Kami bersyukur dengan hidup yang sangat sederhana sehingga, alhamdulillah, semua anak kami hidup produktif. Mereka rukun, saling mengasihi, saling membantu,” sambungnya. Itulah kebanggaannya, kebahagiaannya. Harapannya ke depan sangat bersahaja, seperti perjalanan hidupnya. ”Mudah-mudahan akhir hidup saya dipandang-Nya sebagai akhir yang baik. Saya boleh bertemu lagi dengan kekasih dan pendukung saya sepanjang hidup, istri saya,” tuturnya.

Ingin benar saya menjadi istri semacam itu. Menjadi pendukung utama suami, menjadi kekasih sepanjang hidup, dalam suka dan duka. Saling menguatkan, melengkapi, dan bahu-membahu dalam menghadapi hidup. Saling menjaga kasih, kehangatan, dan kebersamaan sampai usia senja. Kala hidup disayang dan dibutuhkan, kala tiada dirindukan. Agaknya, pepatah ”di belakang seorang laki-laki hebat selalu ada perempuan hebat” menjadi begitu benilai maknanya.

(Pfff, menulis tulisan ini benar-benar membuat mata saya berkaca-kaca...)

2 comments:

  1. Saya jadi turut berkaca-kaca membaca tulisan kamu. Hubungan seperti itu sangat indah. Ngga kebayang bagaimana rasanya kehilangan belahan jiwa...

    Miss u

    ReplyDelete