Tuesday, July 05, 2005

Kampung Halaman

Pulang, kenangan, dan kerinduan. Tiga kata tak terpisahkan yang senantiasa mendesak-desak ruang rasa tiap kali kembali ke suatu tempat yang kita anggap rumah. Karena tiga kata itu pula yang membedakan pengembaraan dan keberlabuhan, kelelahan dan kenyamanan, keterasingan dan kebersamaan.

Hari-hari ini ketika saya berkesempatan mengitari kota Solo kembali, ada sebongkah rasa haru membuncah. Solo masih sedamai yang dulu. Solo masih tetap menjadi kota yang tak pernah tidur, dengan banyaknya warung hik --warung gerobak sederhana yang buka malam hari-- bertebaran di seantero kota. Di situ orang-orang berkumpul melepas penat sehari sambil bertukar pikiran, bercanda, dan wedangan, juga sesekali mencomot kikil goreng atau tempe bacem.

Solo juga masih sebersahaja yang dulu. Meskipun resto-resto beken semacam Pizza Hut atau McDonald mulai membuka gerai-gerai baru, orang-orang masih suka pergi beramai-ramai ke warung lesehan di pinggir-pinggir jalan. Di Solo, beberapa warung pinggir jalan malah lebih beken dibanding resto-resto beken, seperti warung tenda sepanjang Kota Barat, warung susu segar asli Boyolali, warung jagung bakar di depan Kantor Pos Besar, warung masakan ayam di Purwosari, warung nasi liwet di bilangan Keprabon, warung hik Mbok Gerok di depan Ursulin, atau warung hik Pak Kumis di Manahan. Orang-orang harus berebut tempat dan mengantri lama kalau ingin bersantap di tempat-tempat itu.

Bicara tentang Solo juga berarti bicara tentang sejarah panjang sebuah kota. Mulai dari kerajaan Mataram yang terbagi dua menjadi Keraton Yogyakarta dan Keraton Surakarta (Solo) lewat perjanjian Giyanti, sampai terbaginya Keraton Surakarta menjadi Keraton Kasunanan dan Keraton Mangkunegaran. Bangunan-bangunan tua bersejarah beserta ritual adat kejawaan seolah menjadi budaya yang tak terpisahkan dari desah nafas masyarakat Solo.

Desing-desing akrab bahasa Jawa medhok yang selama ini asing di ranah Sunda, dapat dengan mudah saya ditemui di berbagai penjuru kota Solo. Kesopanan dan kehalusan bahasa yang menjadi ciri orang Solo selalu membuat saya merindukan kota ini habis-habisan. Bukan merupakan hal yang aneh lagi ketika seorang sopir angkot atau sopir bis kota berbahasa krama kepada penumpangnya. Sapaan-sapaan seperti “Badhe tindak pundi, Mbak?” atau “Mandhap mriki, Mbak?” menjadi biasa bertebaran di dalam angkot dan bis kota. Bahkan kemarin saya masih tercengang-cengang ketika membayar angkot, kakek tua yang menyopirinya tersenyum mengangguk sambil berkata, “Nggih. Maturnuwun, Mbak.

Sayangnya, tidak selamanya Solo bersikap stagnan. Kerinduan saya pada kota ini sedikit menipis kala menyadari adanya perubahan-perubahan signifikan. Solo jadi seperti kehilangan karakteristik khasnya: pusat-pusat perbelanjaan megah dibangun di sana sini; gaya hidup masyarakat lambat laun telah menggeliat menjadi lebih konsumtif dan borjuis; sikap masyarakat yang cenderung nrima mulai berubah menjadi lebih egois, semau gue, dan sulit diatur (masih ingat bagaimana Solo luluh lantak saat kerusuhan Mei 1998?); jumlah sepeda motor mulai tersisih oleh banyaknya mobil berseliweran akibat gengsi yang berlebihan; atau yang paling menyedihkan, lunturnya kebanggaan berbahasa Jawa di kalangan generasi muda (terutama usia pelajar). Saya sering geleng-geleng kepala menyaksikan mereka lebih merasa akrab berbincang dengan bahasa Indonesia. Tak ada salahnya memang, tapi kalau lantas mereka mulai meninggalkan bahasa Jawa sama sekali, pasti ada yang salah dengan “kejawaannya”. Jangankan berbahasa krama kepada orang tua, berbicara Jawa dengan teman sebaya saja mereka masih terbata-bata. Ck… ck…

Yah, berubah atau tidak berubah, Solo masih tetap kota kelahiran saya. Meskipun kedamaian dan kebersahajaan sedikit demi sedikit mulai terkikis, saya berharap masih ada nilai-nilai adiluhung bertahan dari generasi ke generasi. Saya tahu Solo tidak berubah sendirian. Mungkin demikian juga halnya dengan kota-kota lain di tanah Jawa yang dulu tampak sangat proletar dan tradisional. Berpuluh-puluh tahun ke depan saat Solo (mungkin sudah) kehilangan wajah aslinya, saya akan tetap punya kenangan manis tentang kejawaan, kedamaian, dan kebersahajaan kota ini. Dan kenangan itu pulalah yang akan selalu membawa saya menjejakkan kaki kembali di kota ini.

1 comment:

  1. wah betul itu... saya dari solo dan menginginkan solo bisa jadi seperti jepang...
    yang meski kuat dibidang industri dan terus menerus membangun, tapi tak meninggalkan adat dan kebudayaannya...

    ReplyDelete