Tahun ini adalah tahun ketujuh belas aku bekerja di bidang ketenaganukliran. Awalnya aku ditempatkan di bidang teknis yang berkaitan dengan jaringan komputer dan keamanan jaringan–sesuai latar belakang pendidikanku–sebagai sarana dukung dari core business instansi. Pada tahun kedelapan, aku pindah ke divisi quality assurance (QA) hingga sekarang.
Perempuan masih dianggap memiliki stigma ketika bekerja di bidang nuklir, terutama terkait dengan masalah kesuburan. Kekhawatiran mengenai hal ini pernah disampaikan oleh ibuku ketika aku mengutarakan keinginanku untuk masuk ke jurusan Teknik Nuklir dua puluh empat tahun yang lalu. Ketidaksetujuan beliau lantas membawaku mengambil jurusan Teknik Informatika dan Teknik Elektro. Siapa yang menyangka, setelah lulus kuliah aku malah bekerja di bidang ketenaganukliran. Kekhawatiran ibuku pun tak terbukti karena semenjak bekerja aku sempat hamil lima kali.
Sektor ketenaganukliran adalah bidang yang didominasi laki-laki dan kiprah perempuan untuk mengambil peran di bidang teknologi nuklir masih sangat minim. Meskipun ada kemajuan pelibatan perempuan dalam beberapa tahun terakhir, perempuan masih kurang terwakili dalam bidang ilmu pengetahuan, teknologi, rekayasa, dan matematika (science, technology, engineering, and mathematics atau STEM), termasuk di sektor nuklir. Kesenjangan gender ini memiliki pengaruh besar terhadap masa depan energi nuklir, yang memerlukan tenaga kerja yang kuat dan beragam untuk mendorong kinerja dan inovasi iptek nuklir.
Berdasarkan laporan dari Nuclear Energy Agency, perempuan berjumlah kurang dari 25% dari tenaga kerja nuklir secara keseluruhan. Padahal secara historis, perempuan memberikan kontribusi yang signifikan di bidang ini. Sebut saja Marie Curie, Lise Meitner, Katharine Way, dan Chien-Shiung Wu. Mereka adalah para pionir yang melakukan terobosan penting di bidang iptek nuklir.
Representasi perempuan dan laki-laki yang tidak berimbang dalam bidang nuklir, terutama di negara-negara berkembang yang memiliki tingkat ekonomi rendah, terjadi karena perempuan sebagai identitas gender marjinal sulit mendapat kesempatan mendalami STEM. Anggapan bahwa perempuan tidak perlu sekolah tinggi–yang penting tahu urusan dapur, kasur, dan sumur, kata para orang tua zaman dulu–tentu turut andil dalam hal itu.
Berbagai fakta menarik mengenai keterlibatan perempuan di bidang nuklir pernah disampaikan oleh beberapa pakar. H.E. Grata Endah Werdaningtyas, diplomat Indonesia untuk Jenewa, Swiss, pernah menyebutkan mengenai peran perempuan dalam nuklir dan keamanan internasional. Ketika perempuan hadir dalam upaya pembuatan kebijakan terkait perlucutan senjata, kebijakan tersebut cenderung lebih teruji dan berjalan dalam jangka waktu lama. Sementara Dr. Jeanne Francoise, seorang dosen Program Studi Hubungan Internasional dan pakar Warisan Pertahanan (Defense Heritage), menyatakan bahwa partisipasi perempuan sangat dibutuhkan dalam upaya diplomasi untuk mencegah penyalahgunaan nuklir karena hadirnya perempuan dapat memberi perspektif yang lebih seimbang.
Di bidang pekerjaanku sendiri saat ini sebagai QA, aku merasa keterlibatan perempuan memberikan peran yang cukup signifikan. Kerapian, ketelitian, dan kejelian yang merupakan kekuatan perempuan, menjadi amunisi penting untuk menjalankan tugas dan fungsi QA. Beberapa hal di antaranya adalah audit lapangan, pengawasan kepatuhan terhadap regulasi, dan pengelolaan sistem manajemen.
Oleh karena itu, kita harus memperluas kesempatan bagi perempuan dan mendorong semua pemangku kepentingan untuk memberikan perhatian dan pengakuan akan pentingnya eksistensi perempuan dalam berbagai sektor, terutama di bidang ketenaganukliran. Hal ini akan membuat perempuan lebih berdaya untuk meningkatkan kualitas hidupnya dan mengembangkan segala potensi sebagai motor penggerak sekaligus agen perubahan.
Keren teh Yustika ... Barakallah. Bekerja di bidang yang minim perempuan itu sesuatu banget ya Teh.
ReplyDeleteSalam semangat