Thursday, November 02, 2023

Perjalanan Bersama Keluarga

“The world is a book and those who do not travel read only one page.”       — St. Augustine

Salah satu hal yang membekas dalam ingatanku ketika aku kecil dulu adalah betapa seringnya Bapak dan Ibu mengajak aku dan saudara-saudaraku menempuh perjalanan. Biasanya perjalanan itu mengambil waktu ketika masa liburan karena di luar itu Bapak dan Ibu bekerja. Waktu libur mereka sebagai guru dan dosen lumayan sinkron dengan waktu liburan sekolah kami.

Jika destinasinya tidak terlalu jauh—hanya seputaran Solo dan Jawa Tengah—perjalanan ditempuh dengan mobil kami, Honda Civic krem keluaran tahun 90-an. Bapak duduk di belakang kemudi, di sampingnya kakak sulungku, lalu Ibu, aku, dan adikku di barisan belakang. Dengan mobil Honda Civic kami pernah menjelajahi jalur selatan menuju Bandung ketika mengantarkan kakak sulung pergi kuliah. Mobil second-hand yang dibeli Bapak itu sempat mogok di tanjakan Nagrek, membuat kami sekeluarga harus bermalam di bengkel setempat.

Jika destinasi bepergian berada di luar provinsi, kadang kami memilih moda transportasi kereta atau pesawat—meskipun yang terakhir ini bisa dibilang jarang sekali—misalnya ketika kami jalan-jalan ke Jakarta untuk menjemput Bapak dari Kanada.

Berbagai kisah perjalanan keluarga mengiringiku tumbuh dewasa sebagai kenangan yang mengasyikkan, hingga aku akhirnya memutuskan bahwa kelak kalau aku berkeluarga, kami harus membuat pos pengeluaran untuk jalan-jalan. Kebetulan suamiku tukang jalan juga, jadi klop sudah.

Mulai dari anak pertama masih kecil dan kami belum punya mobil sendiri, kami sudah menjelajahi Jawa Barat dengan mobil sewaan. Kebiasaan ini terus berlanjut hingga kini anakku empat, meskipun sempat vakum ketika pandemi.

Menjelajah Jawa Barat

Karena kami tinggal di Bandung, area yang paling mudah terjangkau tentunya Jawa Barat dan sekitarnya. Beberapa kali kami pergi ke Pangandaran ketika si sulung masih berusia di bawah setahun. Yang pertama mampir setelah mudik lebaran, yang kedua mampir setelah menghadiri undangan seorang teman di Tasikmalaya.

Ketika kami main ke rumah pengasuh si sulung di Sukabumi, kami juga melanjutkan perjalanan ke Taman Safari. Kami juga pernah ke Kawah Putih di Ciwidey, meskipun bau belerangnya membuatku sakit kepala dan ramainya pengunjung membuatku sedikit insecure. Ketika seorang teman menikah di Cirebon, kami mengambil kesempatan itu untuk main ke sana dan mencicipi nasi jamblang.

Salah satu kenangan tak terlupakan adalah ketika kami sedang bepergian ke Cianjur dan mendapat kesempatan untuk masuk ke Istana Cipanas. Biasanya hanya rombongan yang sudah mendapat izin resmi yang bisa masuk ke sana, kebetulan waktu itu kami “numpang” salah satu rombongan dan diizinkan berkeliling sebentar dengan pengawalan petugas. Dari Istana Cipanas kami melanjutkan perjalanan ke Taman Bunga Nusantara.

Menjelajah Luar Jawa Barat

Ketika mendapat undangan pernikahan seorang teman di Lampung pada November 2013, aku dan suami memutuskan untuk menghadirinya secara langsung dengan mengendarai mobil pribadi, sekaligus memperkenalkan anak pada moda transportasi kapal feri. Itulah kali pertama aku menginjakkan kaki di tanah Sumatera.

Anak-anak antusias sekali mendapat pengalaman naik kapal feri serta menyusuri Pantai Klara dan pantai Pulau Kelagian yang berair jernih dan berpasir putih laksana bedak. Ombaknya pun tidak terlalu besar sehingga aman untuk anak-anak.

Medio 2014, nebeng di acara reuni angkatan suami, kami sekeluarga bertolak ke Lombok. Perjalanan tiga hari dua malam yang berkesan karena kami disuguhi adat dan budaya yang begitu mengayakan. Kami menginap di Senggigi dan mengunjungi desa perajin gerabah di Banyumulek, desa perajin tenun di Sukarara, dusun adat Sade, lalu Pantai Kuta yang terkenal dengan legenda Putri Mandalika.

Kami juga menyeberang ke Gili Trawangan, dan itulah kali pertama anak-anak menjajal snorkeling. Awalnya takut, lama-lama keasyikan. Sayangnya terumbu karang di sana sudah banyak yang rusak waktu itu.

Pada September 2015, Ikatan Alumni ITB mengadakan acara besar berupa trip ke Belitung. Aku dan suami langsung mendaftar. Pesertanya ratusan, bus yang disewa cukup banyak, bahkan sampai booking satu pesawat sendiri. Banyak peserta yang tidak kami kenal, tetapi kami tak peduli. Yang penting perjalanan aman terkendali (karena ada EO-nya) dan biaya cukup reasonable, hehehe.

Destinasi wisatanya sih standar, ya, seperti napak tilas Laskar Pelangi, Museum Kata Andrea Hirata, Pulau Lengkuas, Pantai Tanjung Kelayang, Danau Kaolin, dan Pantai Tanjung Tinggi. Namun, perjalanan itu memberi pengalaman baru akan keindahan Pulau Belitung yang belum pernah kami kunjungi.

Sebagai pecinta kopi, aku juga mendapat pengalaman menyenangkan untuk berkenalan dengan kopi Manggar, kopi Robusta yang sejenis dengan kopi-kopi dari Bengkulu, Lampung, dan sekitarnya.

Pada Oktober 2018, keluarga kami akhirnya mewujudkan impian jalan-jalan ke Batu, Malang, dan Bromo sekaligus. Wisata ke Batu, sih, tentu saja ke destinasi impian anak-anak yaitu ke Jatim Park 1 dan Jatim Park 2, amusement park yang tak cukup dikelilingi dalam dua hari.

Perjalanan ke Bromo dimulai tengah malam ketika kami bertolak dari Malang. Sampai di Tosari, Pasuruan jam tiga pagi kami sempat berhenti sejenak untuk bersiap, lalu menuju puncak Penanjakan untuk menanti sunrise. Di sini anak-anak rewel karena mengantuk dan kedinginan, apalagi waktu itu Bromo sedang berangin kencang. Terpaksa kami berlindung di dalam warung sambil menikmati gorengan dan teh hangat.

Perjalanan dilanjutkan dengan berkendara di atas jip yang menderu-deru melewati lautan pasir, lalu berfoto di bukit teletubbies. Setelah itu aku dan suami mendaki ke kawah Bromo yang ratusan tangganya membuat lutut kami lemas gemetaran (hahaha), sambil diiringi badai pasir yang menjejalkan butiran pasir ke dalam tiap lekuk baju, sepatu, hidung hingga telinga. Perjalanan yang penuh kerempongan tapi pada akhirnya really worth it. Definitely a rocking trip!

Sebenarnya ada dua lagi perjalanan yang paling berkesan untuk kami sekeluarga, yaitu perjalanan ke Legoland, Malaysia dan perjalanan ke Italia selama sepuluh hari. Di Italia aku ditugaskan kantor untuk mengikuti training dan suamiku memutuskan agenda itu menjadi acara liburan keluarga dengan mengajak anak-anak ikut serta. Namun, sepertinya kisah ini akan kutulis terpisah saja, saking banyaknya yang ingin kuceritakan, hehehe.

Penutup

Perjalanan sering memberi kita jenak-jenak untuk perenungan, hal yang acapkali terlewat ketika kita berkejaran dengan rutinitas harian. Perjalanan juga sering memberi kita kesempatan untuk berdialog dengan diri kita sendiri, memberi kita waktu untuk mengenali diri sendiri lewat sodoran pengalaman baru di tempat asing yang belum pernah kita kunjungi.

Seperti dulu waktu pertama kali bepergian dengan satu balita dan satu batita untuk menyusul suami ke Batam, dari yang awalnya ragu dan takut, menjadi tahu bahwa diri ini ternyata mampu mengatasi situasi dan kondisi.

Atau ketika pergi jauh ke Italia dengan semua anggota keluarga—termasuk infant 12 bulan yang belum pernah bepergian jauh melebihi Bandung-Solo—yang memaksaku mendobrak banyak kekhawatiran dan kenyamanan, dan ternyata bisa juga survive. Meskipun saat itu tentu kehadiran suami turut memberi andil. Bersamanya aku merasa mampu menaklukkan dunia karena kehadirannya sangat memberi rasa aman dan nyaman—terutama karena dia yang pegang duit wkwkwk.

Dalam sebuah buku antologi fiksi bertema perjalanan, aku pernah menulis: “Traveling is not about the destination, it’s about the journey itself. Traveling is not just about finding new things, it’s also about finding your true self.” Semata-mata karena demikianlah yang aku alami. Mendewasa bersama perjalanan.

Mungkin ini jugalah yang membuat aku dan suami senantiasa menjadwalkan agenda jalan-jalan, selain karena kami tukang jalan-jalan, banyak pembelajaran yang bisa diberikan ke anak-anak. Perjalanan membukakan mereka jendela dunia, memberikan mereka kemampuan untuk beradaptasi, memberi mereka kesempatan untuk belajar hal-hal baru mulai dari makanan, bangunan, moda transportasi, hingga interaksi dengan orang.

Sebagai orang yang sentimental dan cenderung mellow, aku sering membawa pulang barang-barang yang penuh kenangan, terutama ketika kenangan itu merupakan kenangan berharga yang belum tentu bisa dilakoni dua kali. Sesimpel kerang yang dipungut di pantai, atau selembar tiket masuk theme park, atau kantong kresek dari sebuah supermarket di Italia. Begitulah.

Perjalanan memang selalu meninggalkan momen-momen yang tak terlupakan. Benar kata seorang teman, kita selalu meninggalkan sekeping hati pada semua tempat yang pernah kita kunjungi.

Tulisan ini diikutsertakan dalam Tantangan Blogging Mamah Gajah Ngeblog bulan November yang bertema “Kegiatan Favorit Bersama Keluarga”.

6 comments:

  1. Bahagianya ya teh Tika bisa menjelajah bersama keluarga. Mirip deh sama Teteh, anakku itu suka barang kenangan he3 ...

    ReplyDelete
  2. Menyenangkan ya bisa melakukan perjalanan melukis kenangan bersama keluarga. Ditunggu cerita-cerita perjalanan lainnya.

    ReplyDelete
  3. Road trip bersama keluarga seru ya teh.. kayanya lain kali bisa diceritain tipsnya nih road trip sekeluarga

    ReplyDelete
  4. Inget jaman kecil dulu juga jalan bareng sama eyang dan sepupu-sepupu. Rame berdesakan di mobil tapi seruuu. Dan ya, tanjakan Nagreg yang ikonik sekaliii! 😁

    ReplyDelete
  5. Teh Yustika, luar biasa, Teteh memang seorang traveler sejati ya. Dari kecil hingga sekarang, sangat enjoy dan memaknai sebuah perjalanan. Technically, sudah keliling banyak sudut bumi Gusti Allah. Aaaa pengennya. Ndilalah, dikasi jodoh yang sama sama suka road trip pula ya Teh. Alhamdulillah, klop lah ehehe.

    Teh Yustika, Teh May, dan Teh Dewi Laily, adalah 3 Mamah MGN yang kuketahui suka dan rutin jalan-jalan😍

    "Bersamanya aku merasa mampu menaklukkan dunia karena kehadirannya sangat memberi rasa aman dan nyaman—..." eaa eaaa ini adalah definisi sebuah cinta sejati. 🥰

    ReplyDelete
  6. Wah menyenangkan sekali bisa jalan-jalan bersama keluarga ya. Tentunya bonding antara anggota keluarga makin erat jadinya.

    ReplyDelete