Tuesday, February 20, 2024

Ketegasan Pemimpin dan Kemandirian Bangsa

Tantangan Mamah Gajah Ngeblog bulan ini sungguh sulit bagiku. Bukan karena aku tak berniat merangkai kata, melainkan karena aku kurang tertarik dengan temanya. Ketidaktertarikan ini membuatku tidak bersemangat menulis, padahal biasanya aku selalu masuk ke dalam daftar penyetor tercepat. Akhirnya deadline hari terakhir pun tiba, mau tidak mau aku harus menulis karena aku tidak ingin ketinggalan tantangan.

Bicara soal politik dan pemilihan pemimpin adalah sesuatu yang tidak kusukai. Terlalu banyak konflik dan adu kepentingan yang memuakkan. Sudah banyak sekali kulihat hubungan silaturahmi jadi terputus gara-gara beda pilihan. Aku paham sekali hal ini, terutama karena keluarga suamiku selama ini terlibat aktif dalam politik dan pemilihan kepala desa.

Belum lagi jika bicara tentang politik uang dan penghalalan segala cara untuk menang. Atau janji-janji manis saat kampanye yang jauh lebih banyak omong kosongnya daripada realisasinya. Bisa dibilang aku skeptis dan hopeless dengan semua itu.

Maka inilah kali pertama aku memutuskan untuk golput setelah selama 23 tahun aku selalu menggunakan hak suaraku. Mohon maaf, kenyataan yang ada sekarang ini membuatku bersikap bodo amat.

Dengan perasaan yang hopeless, tidak mudah bagiku untuk bercerita tentang harapan untuk pemimpin Indonesia. Namun, ya sudah lah, mari kita coba saja. Entah bakal tercapai atau tidak, mudah-mudahan ada secercah harapan ke arah itu.

Pemimpin yang Memiliki Harga Diri

Aku sungguh berharap Indonesia punya pemimpin yang memiliki harga diri sehingga ia dengan kokoh menjaga martabat bangsa dan negara tanpa mudah disetir oleh kanan-kiri maupun pihak asing. Meskipun hal ini akan membuatnya berbenturan dengan negara-negara lain yang punya kepentingan, kurasa hal ini sangat krusial untuk menjaga sikap bangsa.

Salah satu yang sangat kuapresiasi belakangan ini adalah ketegasan pemerintah dalam keberpihakan terhadap Palestina. Aku salut sekali dengan kelantangan Menteri Luar Negeri, Ibu Retno Marsudi, menyuarakan hal itu di berbagai forum internasional, bahkan sampai walk out bila tak sejalan. Terlihat sekali bagaimana ketegasan pemerintah Indonesia dalam berpendapat dan mengambil posisi terhadap penindasan dan pendudukan Israel di Palestina. Seandainya sikap serupa juga ditunjukkan oleh pemerintah terhadap hal-hal lain.

PLTN dan Kemandirian Bangsa

Sebagai pekerja di bidang ketenaganukliran, aku berharap segera ada Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) dibangun di negara ini. Hingga saat ini, Indonesia belum memanfaatkan nuklir untuk memenuhi kebutuhan pasokan listrik. Padahal, Indonesia sudah punya nuklir sejak lebih dari 60 tahun lalu.

Selain untuk keperluan medis, industri, peternakan, pertanian, dan pangan, teknologi nuklir juga digunakan untuk memenuhi kebutuhan pasokan listrik. Saat ini ada lebih dari 400 PLTN yang beroperasi di 32 negara dan porsinya mencapai 10,1% energi di dunia. PLTN menjadi teknologi yang menjanjikan untuk mengatasi krisis listrik dunia.

Sebagai Energi Baru Terbarukan (EBT), PLTN memiliki beberapa keuntungan, di antaranya:

  • Emisi karbonnya rendah dan bisa dijadikan penopang pembangkitan listrik
  • Tidak bergantung pada cuaca seperti tenaga angin dan surya
  • Lifetime atau masa pakainya bisa mencapai 60 tahun
  • Tidak menghasilkan emisi gas rumah kaca
  • Hanya sedikit menghasilkan limbah padat
  • Tidak mencemari udara karena tidak menghasilkan gas berbahaya
  • Biaya bahan bakar rendah

Secara sumber daya alam untuk memenuhi pasokan bahan bakar nuklir, diperkirakan Indonesia memiliki 70.000 ton cadangan uranium dan 170.000 ton cadangan torium. Sebagian besar kandungan uranium terdapat di Kalimantan Barat, sedangkan sisanya tersebar di Papua, Bangka Belitung, dan Sulawesi Barat. Sebagian besar kandungan torium terdapat di Bangka Belitung, sedangkan sisanya berada di Kalimantan Barat.

Meskipun demikian, tidak dapat dipungkiri bahwa PLTN juga memiliki kelemahan seperti risiko kecelakaan nuklir serta menghasilkan limbah radioaktif yang waktu paruhnya dapat berlangsung hingga ratusan tahun. Sebagai pekerja nuklir yang bertugas di instalasi pengelolaan limbah radioaktif, ini “makanan”ku sehari-hari, hehehe.

Kelemahan lain dari PLTN adalah adanya penolakan dari masyarakat awam akibat ketidaktahuan mereka, atau akibat provokasi dari pihak-pihak yang tidak menyetujui dibangunnya PLTN di negeri ini. Pembangunan PLTN memang keputusan yang tidak populer, padahal PLTN dapat menjadi solusi untuk kemandirian bangsa dalam sektor energi dan solusi untuk mencapai nol emisi.

Kembali ke poin yang kutulis di awal mengenai pentingnya Indonesia memiliki pemimpin yang tegas, akibat ketidakpopuleran PLTN–entah karena takut tidak mendapat dukungan rakyat, entah karena tunduk pada pihak-pihak yang tidak suka bila negara kita mandiri dalam hal energi–keputusan mengenai pembangunan PLTN selalu mengalami pasang surut.

Pada tahun 2006, pemerintah mengeluarkan Keputusan Presiden No. 5 tentang rencana memiliki empat PLTN pada tahun 2025. Direktur Jenderal IAEA saat itu, Mohamed ElBaradei, diundang ke Indonesia pada Desember 2006. Protes menolak PLTN terjadi di mana-mana, khususnya di Jepara sebagai lokasi yang direncanakan menjadi tapak dibangunnya PLTN, mulai awal 2007 dan meluas pada pertengahan tahun. Pemerintah akhirnya tidak melanjutkan rencana tersebut untuk meredam protes.

Pada Desember 2013, Indonesia berencana membangun PLTN tahun 2015 untuk memenuhi target kapasitas listrik pada tahun 2025 hingga 2050. Namun, hingga Desember 2015, ternyata pemerintah belum menetapkan tenaga nuklir sebagai salah satu cara untuk mencapai hal tersebut.

Menurut kabar terakhir, Direktur Jenderal Ketenagalistrikan Kementerian ESDM, Jisman Parada Hutajulu menyebutkan bahwa Indonesia akan mulai mengembangkan nuklir secara komersial mulai tahun 2032. Pembangunan PLTN tersebut termuat di dalam draf Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) Kebijakan Energi Nasional (RPP KEN). Anggota Dewan Energi Nasional (DEN), Herman Darnel menjelaskan dalam skenario tersebut, PLTN yang akan dibangun rencananya adalah PLTN skala kecil atau Small Modular Reactor (SMR).

Jika PLTN akan dibangun pada 2032, itu berarti keputusannya harus diketok palu saat ini. Pembangunan PLTN hingga beroperasi penuh rata-rata membutuhkan waktu 10-15 tahun lamanya dari awal kontrak pengerjaan. Keputusan final ada pada presiden dan anggota dewan, untuk selanjutnya membentuk badan yang bertugas mempersiapkan pembangunan PLTN.

Saat ini tim percepatan pembangunan PLTN atau Nuclear Energy Program Implementing Organization (NEPIO) telah dibentuk oleh pemerintah. Sekretaris Jenderal Dewan Energi Nasional, Djoko Siswanto, menyatakan bahwa adanya NEPIO, dukungan stakeholder, dan kebijakan pemerintah masuk ke dalam persyaratan yang diminta oleh International Atomic Energy Agency (IAEA) sebagai badan regulasi nuklir dunia.

Nah, sekarang kita tinggal menyaksikan akan seserius apa pemerintah merealisasikan rencana pembangunan PLTN ini. Akankah berubah-ubah terus dan mengalami penundaan berkali-kali seperti yang sudah terjadi di masa lalu, atau pemerintah akan gas pol mempercepat pembangunan PLTN?

Aku, sih, berharap pemimpin negeri ini bakal lebih tegas dalam mengambil keputusan terkait hal itu, ya. Entah jika pemimpin terpilih ragu-ragu memutuskan karena takut popularitasnya turun di mata masyarakat, atau terlalu disetir oleh pihak-pihak berkepentingan. Semoga tidak.

Tulisan ini diikutsertakan dalam Tantangan Blogging Mamah Gajah Ngeblog bulan Februari yang bertema “Harapan untuk Pemimpin Indonesia (Isu Meresahkan yang Diharapkan Bisa Diselesaikan Para Pimpinan)”.

4 comments:

  1. PLTN itu memang perlu disosialisasikan dengan baik di Indonesia. Indonesia perlu pemimpin yang berani untuk mengambil keputusan. Menurutku berani mengambil keputusan itu sangat sulit di Indonesia. Seperti sekarang Pak Jokowi akhirnya berani mengambil sejumlah keputusan yang sebenarnya sudah diwacanakan presiden sebelumnya saja, masih menghadapi pertentangan berat saat sudah jadi proyek.

    Kita memang perlu pemimpin yang bisa punya visi jauh ke depan dan kuat menghadapi mereka yang pandangannya hanya bisa melihat kondisi saat ini saja.

    ReplyDelete
  2. Aah tepat sekali dengan momen perubahan iklim yang saat ini sedang bumi alami, energi terbarukan sudah sepatutnya segera diaplikasikan dengan optimal. Bahkan Greta sudah woro-woro dengan lantang oerkara ini sejak dia masih kecil.

    Ditambah, uranium yang terkandung melimpah di negara kita, bisa banget nih seharusnya. Semoga ya Teh. Semoga Bapak Pemimpin akan fokus pada energi terbarukan. Demi Indonesia yang lebih baik dan bumi yang lebih nyaman.

    ReplyDelete
  3. Pertama-tama, selamat datang di club deadliners teh Yustika.hehehehe.

    Aku termasuk yang masih ngeri dengan PLTN karena kurangnya pemahaman tentang itu. Di sisi lain setuju bahwa kita sudah seharusnya melirik sumber daya alam lain sebelum yang ada sekarang dan tidak terbarui benar-benar habis. Semoga kebijakan PLTN bisa disusun dan diimplementasikan oleh pemimpin yang terpilih dengan baik ya teh

    ReplyDelete
  4. PLTN memang perlu sosialisasi di berbagai lapisan masyarakat rupanya. Supaya yang gak ngerti jadi ngerti.

    ReplyDelete