Thursday, June 01, 2023

Persaingan Perempuan dan Rasa Insecure

Ilustrasi oleh Laura Callaghan

Hal paling berkesan dari masa kecilku yang ingin kuceritakan kali ini bukanlah sesuatu yang menyenangkan. Sepanjang ingatanku menjalani masa kecil sebagai perempuan, ada satu kata yang kerap membersamaiku saat itu: insecure. Mungkin aku bisa dibilang cukup cemerlang dalam hal prestasi, tapi sesungguhnya ada banyak hal yang membuatku merasa tidak aman. Aku sering merasa khawatir tidak memiliki teman. Saat kecil aku sungguh pemalu. Terhadap orang yang tak dikenal, aku cenderung menarik diri dan tertutup. Beberapa orang kawan yang cukup dekat denganku membuatku merasa ditinggalkan ketika akhirnya mereka dekat dan bersahabat akrab dengan kawan yang lain. Sebagai seorang gadis kecil, tidak memiliki teman dekat adalah sesuatu yang menyedihkan.

Beranjak remaja dan duduk di bangku sekolah unggulan, aku melihat teman-teman perempuan banyak yang membentuk geng. Tanpa sengaja aku terlibat akrab dengan salah satu geng di kelas. Peer pressure sangat terasa dalam interaksi sehari-hari. Aku dianggap gaul jika mengikuti standar mereka dan aku sering dicibir bila menolak ajakan hang out karena aku harus buru-buru pulang untuk menjaga adikku. Sampai suatu ketika aku didepak keluar dari geng itu dengan cara yang mungkin buat mereka biasa, tapi buatku terasa sangat menyakitkan. Hingga hari ini aku tidak tahu alasannya. Dugaanku: karena aku sering berbeda pendapat dan kerap menolak ajakan hang out mereka sehingga bagi mereka mungkin aku bukan teman yang asyik.

Peristiwa itu menorehkan luka teramat dalam, sampai-sampai aku bertekad untuk tak akan pernah lagi bersahabat dekat dengan sesama perempuan. Perjalanan mencari teman membawaku pada satu kesimpulan bahwa lebih baik sendirian daripada merasa tersakiti oleh sahabat. Maka ketika aku duduk di bangku SMA, aku mulai menyibukkan diri dengan kegiatan organisasi dan berteman dengan banyak teman laki-laki. Beberapa kali aku berpacaran dan merasa bisa menjalani hari-hari tanpa sahabat perempuan.

Kenangan-kenangan di masa lalu berperan besar membentuk kepribadianku, sebagai indikasi bahwa hal itu sangat menimbulkan kesan yang terbawa hingga dewasa. Hingga sekarang aku lebih nyaman bepergian seorang diri tanpa teman. Zaman kuliah aku sampai kenyang mendapat pertanyaan “Sendirian aja, Yus?” ketika pergi ke mana-mana. Bahkan saat ibu-ibu di kantor pergi beramai-ramai ke mal ketika jam istirahat, aku merasa lebih nyaman pergi sendiri dalam diam.

Setelah sekarang anak perempuanku menginjak kelas satu SD, ternyata dia menghadapi permasalahan yang sama. Dari beberapa curhatnya tersirat adanya persaingan antara sesama perempuan di kelasnya, baik dalam hal berteman maupun hal-hal lain. Aku cukup sedih waktu dia bercerita bahwa beberapa teman perempuannya mengejek gambarnya yang dianggap jelek sambil terkikik-kikik. Dalam hati aku membatin: ternyata komentar-komentar menjatuhkan itu memang sudah sering terlontar sejak para perempuan berusia dini. Kalau menilik teman-teman lelakinya, mereka cenderung lebih woles.

Melihat kenyataan hidup di sekeliling saat ini, sering sekali kita dapati perempuan satu dengan yang lain saling menjatuhkan. Di kalangan ibu-ibu, sudah jamak terjadi mom war dalam berbagai hal, mulai dari ASI versus susu formula, ibu bekerja versus ibu di rumah, melahirkan normal versus melahirkan C-section, dan masih banyak lagi. Seolah pengalaman masa kecilku belumlah cukup, aku merasa sangat lelah melihatnya.

Beberapa penelitian pernah dilakukan untuk meneliti persaingan di antara perempuan. Tinjauan literatur oleh Tracy Vaillancourt pada 2013 menemukan bahwa perempuan pada umumnya mengekspresikan agresi tidak langsung terhadap perempuan lain. Agresi tidak langsung tersebut merupakan kombinasi dari self-promotion untuk membuat diri mereka terlihat lebih menarik, serta merendahkan saingan dengan berkomentar tidak baik tentang perempuan lain. Wow banget ya :(

Ada dua teori utama yang menjelaskan alasan perempuan berkompetisi dengan sesamanya.

  1. Psikologi evolusioner, yang menggunakan teori seleksi alam untuk menjelaskan perilaku modern kita, mengatakan bahwa perempuan perlu melindungi diri mereka sendiri (baca: rahimnya) dari bahaya fisik. Jadi, agresi tidak langsung membuat perempuan merasa aman karena merendahkan perempuan lain merupakan salah satu cara untuk mengeliminasi saingan.
  2. Psikologi feminis mengatakan agresi tidak langsung para perempuan dilakukan untuk menginternalisasi patriarki. Seperti yang ditulis Noam Shpancer dalam Psychology Today, “As women come to consider being prized by men as their ultimate source of strength, worth, achievement and identity, they are compelled to battle other women for the prize.

Dalam pandanganku, perempuan seharusnya saling mendukung satu sama lain. Seorang perempuan bisa memberdayakan perempuan lain dan hal itu tak akan pernah mengecilkan peran dan makna dirinya sendiri. Di dunia yang keras ini, kita harus memberangus kebencian, kecemburuan, atau perasaan iri antara sesama perempuan.

Sebuah penelitian oleh Harvard Business Review mengatakan bahwa perempuan yang memiliki inner circle sesama perempuan cenderung dapat menempati posisi eksekutif dengan otoritas yang lebih besar dan gaji yang lebih tinggi, bila dibandingkan dengan laki-laki yang memiliki inner circle yang sama. Hal ini dikarenakan perempuan yang memiliki hubungan dekat dengan kelompok perempuan yang mendukungnya, akan lebih mudah menghadapi berbagai rintangan melalui berbagi pengalaman dengan perempuan lain yang pernah menghadapi situasi dan kesulitan yang sama.

Andai saja sejak kecil kita diajari untuk saling mendukung satu sama lain sebagai perempuan, mungkin tidak perlu ada gadis-gadis lain yang mengalami nasib sama denganku. Tak perlu ada persaingan saling menjatuhkan, tak perlu ada perundungan, tak perlu adu debat meskipun berbeda pendapat.

Tulisan ini diikutsertakan dalam Tantangan Blogging Mamah Gajah Ngeblog bulan Juni yang bertema “Hal Berkesan di Masa Kecil (dan atau Masa Sekolah)”.

14 comments:

  1. Idem teh saya juga lebih suka berteman dgn cowo. Gak makan ati. Kalo sama cewe duh macam2 dan suka diada2kan..
    I feel u teh

    ReplyDelete
  2. inspring post! love it.

    ReplyDelete
  3. kayaknya ini deh tulisan terfavorit untuk tantangan kali ini

    ReplyDelete
  4. Teh ini relate banget :'( Pernah mengalami itu semua sampai di titik kesimpulan, aku bersyukur tinggal jauh di luar negeri. Jadi aku ga perlu berteman akrab dalam waktu yg lama. Soalnya temen yg dateng kan rata2 pelajar yg cuma 2 tahunan. Udah ga sanggup menghadapi drama2 pertemanan. Di rumah aja kadang masih suka ada drama 😆

    ReplyDelete
    Replies
    1. Waduuuuh, dirimu introvert kah? Aku masih merasa perlu sahabat cewek sih, tapi jadinya selektif banget sekarang

      Delete
  5. Hashtag womensupportwomen ini memang kampanye yang riil ya Teh Yustika. Memang seharusnya sesama perempuan tidak boleh saling menjatuhkan. Semoga seiring berjalannya waktu, optimis makin terimplementasikan.
    Tulisan yang very enlightening, Teh Yustika. :)

    ReplyDelete
  6. Saya pun pernah mengalami itu. Di tulisanku, masa kecilku yang mengahadapi teman-teman yang iri karena aku bisa pentas menari ketika TK. Teman-teman perempuan yang membentuk geng itu sudah ada sejak TK, ya orang-orangnya itu-itu juga. Ketika SMP, kebetulan kami satu sekolah lagi. Saya lebih menonjol lagi karena aktif di OSIS. Teman-teman yang iri dan menjauhi saya itu ternyata tidak bisa aktif berkegiatan seperti saya. Akhirnya, saya berkesimpulan, cuek aja. Sementara mereka menjauhi saya, masih ada teman lain yang bisa berteman dengan saya.
    Teman cowok, hmmm saya setuju. Akhirnya memang teman cowok yang bisa cocok. Namun ketika SMA, berteman dengan anak cowok malah menimbulkan fitnah. Saya dikira berpacaran. Dan karena teman cowok ada lebih dari satu, saya difitnah gonta ganti pacar. Ampun deh.
    Yah usut punya usut, sumber fitnah itu pun mulut-mulut perempuan yang tidak suka (atau bisa dibilang iri) dengan saya.
    Sendiri itu adalah solusi. “Sedirian aja?” Wkwkwk sama aja ya ternyata. Bahkan sampai ke undangan pernikahan pun saya berani sendiri aja. Bodo amat. Hahahaha

    ReplyDelete
  7. Tehh jadi inget aku juga pernah ngerasa hal yang sama.. Kayak sepertinya temen-temen yg satu gengku lebih deket satu sama lain dan aku outsider.. tp mungkin kalau jaman skr pikiranku itu kayak disebut ovt alias overthinking aja yah.. hehe.. jaman masih labil :D

    ReplyDelete
  8. Aku pernah juga ngalamin dimusuhi teman perempuan. Tapi alhamdulillah sama adik perempuan akur ... walau beda karakter.

    ReplyDelete
  9. Waduh ngeri juga ya. Aku dulu merasa terbully juga waktu kecil, tapi lebih ke fisik (temen mukul/jambak) bukan verbal. Baru tau kalau ada teori kompetisi antar wanita.

    Aku belajar banyak gimana perempuan saling mendukung di kantor. Ternyata dari hal-hal kecil semacam belajar make up bareng gitu bisa berasa banget empowermentnya

    ReplyDelete
  10. Sendiri itu memang kadang sangat diperlukan untuk kesehatan mental. Berimbang aja sih mungkin ya. Ada saatnya pengen rame-rame, tapi memang ada saatnya kita perlu waktu untuk sendiri dan berpikir jernih.

    ReplyDelete